-->

Cakrabuana/Walungsungsang - Sejarah Islam di Asia & Eropa (Sulasman & Suparman)

Tidak ada komentar

Buku Sejarah Islam di Asia & Eropa
Sejarah Islam di Asia & Eropa.
Pangeran Cakrabuana atau Walungsungsang merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam yang berlokasi di Tatar Pasundan, atau mungkin bisa kita kenal dengan Sunda maupun Jawa Barat. Penulis membaca salah satu karya dari Dr. H. Sulasman, M.Hum. dan Suparman, M.Ag. dalam buku mereka yang berjudul Sejarah Islam di Asia & Eropa. Berikut ulasannya mengenai Pangeran Cakrabuana dalam buku tersebut:
.

Asal-Usul

Walungsungsang adalah anak Prabu Siliwangi dengan istrinya, Nyai Subang Larang. Nyai Subang Larang sebelum menjadi istri (permaisuri) Prabu Siliwangi adalah seorang muslim yang tinggal di Pondok Pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Hasanuddin. Dan pondok tersebut merupakan pesantren pertama yang didirikan di Karawang.
.
Walungsungsang dan adiknya, Nyai Lara Santang lebih memilih untuk menganut agama ibunya daripada milik ayahnya, Prabu Siliwangi, yang beragama Sanghiyang. Dalam cerita Babad Cirebon, ayahnya tidak mengizinkan mereka berdua, maka dari itu mereka berdua lebih memilih untuk tidak tinggal di Istana dan berkelana untuk mencari ilmu tentang agama Islam. Saat itu Walungsungsang menggunakan nama samarannya yaitu Ki Samadullah. Beberapa tempat sudah mereka kunjungi, dan kemudian Walungsungsang dengan gurunya, Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukiman baru untuk orang-orang yang beragama Islam. Ki Gedeng Alang Alang menjadi kepala rumah tangganya (kuwu; Sunda) sedangkan Walungsungsang adalah wakilnya dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi. Selain itu Walungsungsang juga mendirikan sebuah masjid yang ia beri nama Sang Tajug Jalagrhan, yang juga merupakan masjid pertama di Tatar Sunda.
.
Walungsungsang juga pernah ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji bersama adiknya, Nyai Lara Santang. Disana Nyai Lara Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah yang merupakan seorang penguasa (sultan) Kota Mesir. Sedangkan Walungsungsang tinggal disana selama tiga bulan untuk belajar ilmu dari empat Mazhab, yaitu: Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Ia juga belajar tasawuf dengan Haji Bayanullah.
.
Walungsungsang kembali ke Cirebon. Ia mendapat kabar bahwa kakek dari ibunya telah meninggal dunia. Kakeknya meninggalkan wasiat untuk dirinya dan juga memberikan Tahta kekuasaan di Mertasinga (Nagari Singapura) untuk dirinya. Akan tetapi Walungsungsang menolak untuk mengambil tahta itu. Ia lebih memilih membangun sebuah keraton di Cirebon dengan corak Islam. Nama Keraton itu adalah Keraton Pakungwati, dan keraton itu merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri di tatar Sunda. Mendengar itu, Prabu Siliwangi menjadi senang dan bangga terhadap Walungsungsang. Ia kemudian mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik Pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Hal itu menyimpulkan bahwa sebenarnya Prabu Siliwangi itu bukanlah anti-Islam.
.

Latar Belakang Lingkungan Sosial

Pangeran Cakrabuana adalah seorang putra mahkota, yang artinya dirinya adalah orang yang akan menggantikan ayahnya kelak. Sebagai pewaris tahta kerajaan Prabu Siliwangi, Pangeran Cakrabuana dipersiapkan secara dini. Kemampuan, kebudayaan, dan ketrampilannya akan diasah, seperti: berburu, ilmu keprajuritan, ilmu tata negara, adat-istiadat keraton, tata krama, dan pengenalan wilayah-wilayah kerajaan.
.
Keraton tempatnya tinggal merupakan penganut ajaran Sanghyang, yang merupakan akulturasi dari Hindu, Budha, dan kepercayaan lokal Sunda. Pangeran Cakrabuana diperkenalkan budaya dan adat-istiadat Sanghyang, tradisi yang berlandaskan ajaran Purbastiti Purbajati Sunda yang merupakan pokok utama ajaran hidup yang dipegang oleh masyarkat Sunda saat itu. Kerajaan Sunda, baik Galuh maupun Pakuan Pajajaran mempunyai landasan utama dalam menentukan kebijakan kehidupan bernegara. Seperti Pancasila yang merupakan dasar negara, landasan itu dituangkan ke dalam Sanghyang Siksa Kanda ng’ Karesian. Di dalamnya terdapat pembukaan, “Sanghyang desa kerta kundangon urang raya”, yang berarti: “Sanghyang sepuluh tindakan, untuk dijadikan pegangan masyarakat”. Isinya meliputi: “anak berbakti kepada bapak, istri berbakti kepada suami, rakyat berbakti kepada majikan, murid berbakti kepada guru, petani berbakti kepada Wado, Wado berbakti kepada Mantri, Mantri berbakti kepada nu Nangganan, nu Nangganan berbakti kepada raja, raja berbakti kepada Dewata, Dewata berbakti kepada Hyang.”
.
Tetapi Nyi Mas Subang Larang sebagai ibu dan lulusan pondok pesantren mengajarkan kepada Pangeran Cakrabuana dan adik-adiknya ajaran-ajaran Islam secara diam-diam. Alhasil didikan ibunya itu berhasil dengan apa yang telah terjadi saat ini. Pangeran Cakrabuana menjadi salah satu tokoh Islamisasi di Tatar Pasundan.
.

Latar Belakang Budaya

Pangeran Cakrabuana dilahirkan dan dibesarkan di Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran dimana dasar kerajaan itu adalah ajaran Sanghyang. Norma-norma dan aturan-aturan berkiblat pada kehidupan keraton. Baik etika berbusana, berkomunikasi, bertutur kata, tingkah laku, sikap, dan lain-lainnya harus sesuai dengan norma-norma dan aturan-aturan keraton.
.
Pangeran Cakrabuana sendiri dapat melihat dan merasakannya sendiri disaat ia tinggal bersama kerabatnya di keraton dan tinggal bersama kakeknya, Ki Gedheng Tapa, bahwa toleransi dan persamaan hak lebih terasa saat ia tinggal bersama kakeknya. Maka dari itu ia merelakan semua kekayaannya, kerajaan yang seharusnya diberikan kepadanya, dan kedudukan yang akan diraihnya. Ia lebih mengutamakan kesederhanaan daripada kehidupan yang bersifat hedonistis.
.

Pandangan Hidup Pangeran Cakrabuana

Pangeran Cakrabuana yang terbiasa dengan kehidupan ajaran Sanghyang telah mendapatkan petunjuk dari ibunya yang mengajarkannya ajaran-ajaran Islam. Membentengi anak-anaknya dari ajaran Hindu-Budha yang merupakan ajaran dari leluhurnya, yang merupakan ajaran yang bukan dari langit.
.

Peranan-Peranan Pangeran Cakrabuana

Ada beberapa cerita saat Pangeran Cakrabuana meninggalkan Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran dan memilih untuk mengembara. Cerita versi pertama mengatakan bahwa Pangeran Cakrabuana pergi dari keraton dan mengembara di karenakan amanat ibunya sebelum meninggal untuk mengasah ilmu agamanya di Pesantren Syekh Quro dan Syekh Nurul Jati. Versi kedua berasal dari Babad Cirebon yang menceritakan bahwa Pangeran Cakrabuana pergi dikarenakan tidak mendapat ijin oleh Prabu Siliwangi untuk menganut agama Islam. Ia diusir oleh ayahnya yang menurutnya tidak sesuai dengan Sanghyang Siksa Kanda ng’ Reya (Sanghyang sepuluh tindakan untuk dijadikan pegangan masyarakat).
.
Setelah mengembara, Pangeran Cakrabuana beserta istri (Indang Geulis) dan adiknya (Nyi Mas Subang Larang) pergi menemui kakeknya, Ki Gendheng Tapa, di Keraton Singapura. Disana Pangeran Cakrabuana menikmati kesederhanaannya.
.
Tiga bulan sudah bersama kakeknya, Pangeran Cakrabuana dan adiknya, Nyi Mas Lara Santang, berguru kepada Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurul Jati untuk memperdalam kembali agama Islam. Syekh Nur Jati adalah orang Arab. Ia sangat kesulitan berdakwah karena saat itu ajaran Hindu-Budha sangat kental. Syekh Nur Jari dan Pangeran Cakrabuana berusaha menyusun strategi agar Islam dapat diterima oleh masyarakat.
.
Salah satu startegi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana adalah pada saat Ki Gedheng Alang Alang meninggal dunia. Pangeran Cakrabuana hendak memandikan jenazah beliau dan kemudian menguburkannya sesuai dengan ajaran Islam. Ia mengajak para tetangga untuk membantunya. Akan tetapi banyak tetangga yang tidak ikut serta karena caranya adalah dengan Islam. Pangeran Cakrabuana memiliki ide. Ia memberikan imbalan uang sebesar 35 sen dan nasi sebungkus dengan pepes ikan per orang, yang apabila mereka membantu menyucikan dan mengubur Ki Gedheng Alang Alang secara Islam. Banyak yang mau karena menginginkan imbalan itu. Setelah beberapa lama jenazah dilihat kembali. Apa yang dirasakan para tetangga saat itu adalah heran dan takjub karena jenazah Ki Gedheng Alang Alang sudah tidak ada, hanya tertinggal kain mori putih saja. Aromanya pun juga wangi. Di saat itulah Pangeran Cakrabuana berkata, “Barang siapa orang yang mati Islam niscaya seperti demikian itu lebih sempurna pati-nya pula, yang turut membantu niscaya mendapat berkah orang yang Islam.” Berbondong-bondonglah para tetangga yang belum Islam karena tertarik dengan ajaran agama itu.
.
Cara menyebarkan lain dari Pangeran Cakrabuana ialah dengan mendirikan sebuah langgar atau mushala. Tempat yang selalu dilaksanakannya shalat lima waktu bersama-sama (berjamaah), yang kemudian dilanjutkan dengan tadarus bersama, untuk mengajarkan Al Qur’an kepada orang-orang dan anak-anak, dan juga mengajarkan tentang ajaran Islam seperti: tauhid, tajwid, akhlak, kitab sapinah, dan sebagainya.
.
Dan yang terakhir adalah dengan mendirikan pemukiman masyarakat muslim di Cirebon. Dan kemudian diberi nama dengan desa Cirebon. Disini banyak hikmah yang dapat diambil, seperti kesederhanaan yang dapat membahagiakan, hidup saling membantu satu sama lain, dan lain sebagainya. Di sinilah Pangeran Walungsungsang mendapat gelar sebagai pangraksa bumi, yang artinya adalah pengurus kehidupan masyarakat disana. Seperti mengurus dalam bidang pertanian, perikanan, yang menata dan memelihara pemukiman, dan yang mengatur perekonomian. Untuk itulah panggilannya menjadi Ki Cakra Bumi atau Ki Cakra Buana.
.
  • Pesan yang dapat diambil:
Sungguh hebat agama ini. Islamisasi di Indonesia, terutama di wilayah Jawa Barat, sebagaimana yang tertulis dalam buku Sejarah Islam di Asia & Eropa bahwa Islam datang ke Jawa Barat bukan karena penjajahan atau paksaan dari orang lain. Melainkan Islam datang karena kemauan akan penganutnya. Pangeran Cakrabuana misalnya. Ia bisa hidup mewah, megah, dan berhura-hura. Akan tetapi ia sadar bahwa hidup ini hanya sementara. Maka dari itu ia memilih jalan Islam daripada menjadi putra mahkota.
.
Selanjutnya ia memberikan contoh teladan untuk para tetangganya yang mulanya non-Islam. Membuat mereka mau mempejari Islam karena isi ajarannya, bukan karena pedang atau serangan. Membuat para tetangga berbondong-bondong bersyahadat. Maka dari itu, bagi kita yang sudah mengenal Islam pada zaman modern ini, jangan kalah untuk tetap bersemangat dalam beribadah maupun beramal.
  • SumberReferensi|SejarahIslamdiAsia&Eropa|Dr.H.Sulasman,M.Hum.|Suparman,M.Ag.|PustakaSetia|Bandung|CetakanPertama|2013|Hal.337sampai351|

Komentar