.
Begitu pula para sahabat beliau yang semata-mata menjadikan ucapan dan kehidupan beliau sebagai panutan dalam kehidupan mereka. Oleh sebab itu tidak heran jika Nabi sendiri telah mengemukakan betapa tingginya kedudukan para sahabat ini, sebagaimana sabdanya: “Para sahabatku itu bagaikan bintang. Siapa pun diantara mereka yang kamu ikuti, niscaya kamu mendapatkan petunjuk” [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 41].
.
Mereka merupakan orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi dan telah dijamin surga oleh Allah. Keimanan mereka yang kuat itulah yang menjadikan mereka ikhlas karena Allah, meninggalkan dunia, selalu mengharap ridla Allah dan ampunan-Nya, kukuh menghadapi berbagai ujian dan tidak tertipu oleh hawa nafsu mereka [Taufik Damas dan M. Abidun, Sahabat Muhammad: kisah cinta dan pergulatan iman genersi awal, (Jakarta: Zaman, 2014), hlm. 380].
.
Kecintaan dan kesetiaan mereka kepada Rasullah dapat dilihat dari perilaku akhlak yang baik dan utama. Mereka tidak pernah menentang Rasullah dan tidak mengeraskan suara mereka ketika mereka bersama dengan Rasulullah. Mereka mendengarkan setiap ucapan dan khutbahnya secara seksama, berlomba-lomba menjalankan perintahnya dan bergegas melayaninya ketika dibutuhkan [Taufik Damas dan M. Abidun, Sahabat Muhammad: kisah cinta dan pergulatan iman genersi awal, (Jakarta: Zaman, 2014), hlm. 384]. Oleh karena itulah, segala ucapan serta kehidupan Rasulullah menjadi cerminan dalam kehidupan mereka.
.
Dalam hal kesederhanaan dan menjauhi hal yang bersifat duniawi, misalnya kehidupan sahabat Abu Bakar al Shiddiq dan Umar bin Khattab yang digambarkan Muawiyyah bin Abi Sofyan dalam perkataannya:Adapun Abu Bakar, Ia tidak sedikit pun menginginkan dunia dan dunia juga tidak ingin datang menghampirinya. Sedangkan Umar, dunia datang menghampirinya namun ia tidak menginginkannya, adapun kita bergelimang dalam kenikmatan dunia. [Abu Ihsan al Atsari, Bidayah wan Nihayah Masa Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 177].Begitu pula dalam hal beribadah, sebagaimana contohnya tentang ketekuan sahabat Utsman bin Affan dalam hal beribadah. Telah diriwayatkan dari berbagai jalur bahwa beliau pernah shalat dengan membaca semua al Quran pada satu rakaat di kamar al Aswad pada musim Haji [Abu Ihsan al Atsari, Bidayah wan Nihayah Masa Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 177]. Kehidupan mereka yang demikian itulah yang selanjutnya menjadi tuntunan khususnya bagi kaum sufi.
.
B. Kehidupan Bertasawuf Rasulullah dan Para Sahabat
Secara tekstual memang tidak ditemukan ketentuan tentang pelaksanaan tasawuf bagi umat Islam, namun kegiatan tasawuf sebenarnya telah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. sebelum diangkat menjadi rasul, ia telah berulang kali pergi ke Gua Hira dengan tujuan selain untuk mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat kota Mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaaan dan penyembahan berhala, juga untuk merenungi hakekat kebenaran sejati [Alwan Khoiri, dan kawan-kawan, Akhlak/Tasawuf…, hlm. 35].
.
Perilaku kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai material dan nilai-nilai yang bersifat duniawi, seperti mencari kekayaan pribadi, akan tetapi bertumpu pada nilai-nilai ibadah untuk mencari keridlaan Allah swt., kemuliaan akhlak, ketaatan, ketaqwaan serta ketawadluanlah yang ada dalam kehidupan mereka.
.
Sikap-sikap seperti zuhud (tidak mementingkan kehidupan duniawi), qonaaah (menerima apa adanya adanya apa), taat (senantiasa menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya), istiqomah (tetap konsisten dalam hal kebaikan dan ibadah), mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada dirinya dan makhluk lainnya) serta ubudiyah (mengabdikan diri kepada Allah) tersebut yang kemudian diikuti oleh kaum sufi dan menjadi sikap hidup mereka pula [Alwan Khoiri, dan kawan-kawan, Akhlak/Tasawuf…, hlm. 36].
.
Dari perilaku kehidupan Rasullah dan para sahabatnya tersebut telah menggambarkan asal dari pokok ajaran tasawuf. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ajaran tasawuf itu adalah mencari jalan untuk mencapai kesempurnaan kehidupan rohani. Untuk mencapai kesempurnaan tersebut memang tidak mudah, karena sering memerlukan proses yang cukup panjang [Alwan Khoiri, dan kawan-kawan, Akhlak/Tasawuf…, hlm. 36].
.
- Kehidupan Rasulullah
.
Apa yang dilakukan Rasulullah di dalam Gua Hira merupakan cahaya pertama dan utama untuk tasawuf. Dan itu juga merupakan benih pertama bagi kehidupan rohaniyah yang disebut dengan ilham atau renungan rohaniah [Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara: IAIN Sumatera Utara, 1981/1982), hlm. 44].
.
Beliau pergi ke gua untuk menyisihkan dirinya, memutuskan hubungannya dengan masyarakat di sekitarnya untuk beberapa hari pada tiap-tiap bulan Ramadhan, bertahun-tahun sebelum beliau menjadi Pesuruh Allah [Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), hlm. 21].
.
Beliau pergi sendirian di Gua Hira. Bersemedi berhari-hari, bermalam-malam, berzikir terus-menerus, mengingat kepada Allah [Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1976), hlm. 29].
.
Beliau mengkonsentrasikan segenap pikirannya dan merenungkan perasaannya terkait alam yang terbentang luas di tempat yang lepas dan bebas, menggugahkan hatinya untuk merasakan kebesaran dan keagungan Allah SWT. Disanalah beliau mendapatkan hidayah, membersihkan hati dan mensucikan jiwa dari noda-noda penyakit yang biasanya menghinggapi hati. Beliau memperoleh ilmu-ilmu atau pandangan-pandangan yang sangat berguna untuk masa depan umat manusia. Momen itulah yang membedakan beliau dari manusia biasa. Momen itulah yang menjadi pertama dan utama bagi tasawuf [Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf…, hlm. 44-45].
.
Bila Ramadhan sudah habis, beliau akan turun ke bawah dengan pendirian dan jiwa yang semakin kuat. Dan ketika Ramadhan datang lagi, beliau akan kembali ke Gua Hira. Seperti itulah rutinitas beliau bertahun-tahun. Bersemedi, menyisihkan diri, berzikir, dan mengagungkan Allah karena limpahan rahmat yang diberikan-Nya [Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), hlm. 21].
.
Disana beliau melatih diri, mengasah jiwanya, berfikir, memperhatikan keadaan alam dan susunannya, memperhatikan segala-galanya dengan mata hatinya [Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1976), hlm. 31].
.
Hilanglah keragu-raguan, dan datanglah keyakinan. Dapat dibedakan mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang terang dan mana yang gelap. Datanglah cahaya, merupalah malaikat di hadapan matanya. Dialah Malaikat Jibril, yang kadang-kadang dinamai Ruhul Amin, dan kadang-kadang dinamai Namus [Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), hlm. 21].
.
Setelah Nabi Muhammad turun dari Gua Hira dan kembali ke Mekkah, beliau langsung menemui istrinya, Khadijah, dan menyampaikan semua hal yang terjadi padanya di Gua Hira. Mendengarkan hal tersebut, Khadijah langsung membawa Rasulullah kepada pamannya yang alim dan mengetahui kitab-kitab dan riwayat Nabi-Nabi yang dahulu, yaitu: Warakah bin Naufal. “Itulah Namus! Yang datang kepada Musa dan nabi-nabi lainnya.”, kata Warakah.
.
Namus itulah yang datang kepada Musa di Bukit Thursina ketika Musa bertapa disana selama 40 hari. Namus Itulah yang memberikan kabar kepada Maryam bahwa beliau akan mengandung puteranya, Isa Almasih. Dan Namus itulah yang datang kepada Muhammad, menjadikan beliau sebagai utusan Allah. Itulah permulaan hidup baru bagi Muhammad, dan itulah cahaya terang bagi umat di dunia. Bermula dari bersemedi di Gua Hira [Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), hlm. 22].
.
Nabi ketika bersemedi di Gua Hira hanya membawa sedikit persediaan makan dan minum. Menurut penyelidikan ahli-ahli kebatinan yang sudah sepuh, baik dari segi rahasia gaib maupun dari kecerdasan otak berfikir, semuanya sependapat bahwa untuk menjernihkan pandangan jiwa rohani hendaknya makan dikurangi. Terlalu banyak makan dapat menimbulkan rasa kantuk dan buncit di perut dan berat badan. Hawa badan atau uap yang naik ke otak dapat menyebabkan otak tidak bergerak lagi [Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), hlm. 22-23].
.
Sebelumnya Allah telah mendidik dan menempa jiwa Rasulullah dengan sebaik-baiknya. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kehidupan Rasulullah sewaktu kecil sudah diliputi duka dan penuh dengan cobaan-cobaan. Bahkan ketika beliau belum lahir, masih di dalam kandungan ibunya, Rasulullah sudah diberikan cobaan, yaitu meninggalnya ayahnya. Pada usia enam tahun, beliau sudah menjadi yatim-piatu. Ibunya meninggal waktu itu [Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf…, hlm. 45].
.
Setelah menjadi utusan Allah, Nabi Muhammad meneruskan kezuhudannya. Cara hidup beliau sangat sederhana. Pakaiannya sederhana, makanannya hanya sepotong roti saja dan meminum seteguk air. Sebaliknya, hal yang beliau banyakkan adalah ibadahnya. Beliau banyakkan sholat malamnya:Rasulullah beribadat tahajutt hingga bengkak dua tumit kakinya, dan Aisyah berkata kepadanya: ‘kenapa engkau perbuat ini ya Rasulullah? Padahal Allah SWT telah mengampuni kesalahan mu, baik yang terdahulu maupun yang kemudian?’ Maka Rasulullah menjawab: ‘Apakah saya tidak akan suka menjadi seorang hamba yang bersyukur?’ (HR Bukhari dan Muslim).Bahkan beliau sering menangis ketika sholat. Pada suatu hari datanglah Jibril kepada Nabi Muhammad menyampaikan salam Allah dan bertanya “Manakah yang engkau sukai ya Muhammad, menjadi seorang Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman atau menjadi Nabi yang miskin seperti Nabi Ayyub?” Lalu beliau menjawab, “Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari. Jika kenyang, aku bersyukur pada Tuhan. Jika lapar, aku bersabar atas cobaan Tuhanku.” Kehidupan yang demikianlah yang beliau anjurkan kepada umatnya. Rasulullah bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan zuhudlah pada yang ada ditangan manusia, supaya manusiapun cinta akan engkau.” (HR Ibnu Majah, Tabrani, dan Baihaqi).
Apabila Tuhan menghendaki seseorang hambanya menjadi orang baik. Diberinyalah faham akan rahasia-rahasia agama, ditimbulkannya rasa zuhud terhadap dunia dan diberinya anugerah dapat memandang yang ghaib dan cela dirinya sendiri. (HR Baihaqi) [Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1976), hlm. 30].