-->

Tugas Akhlak Tasawuf Masa Klasik - Rasulullah dan Para Sahabat Part 4

Tidak ada komentar

Tugas Akhlak Tasawuf Masa Klasik - Rasulullah dan Para Sahabat Part 4
Masih di Bab II terkait "Kehidupan Rasulullah dan Para Sahabat". Berikut kelanjutannya Tugas Akhlak Tasawuf Masa Klasik - Rasulullah dan Para Sahabat Part 3:
.
Ibn Katsir dalam kitabnya, Bidayah wan Nihayah, menggambarkan sosok Umar bin Khattab sebagai orang yang sangat tawadlu’ kepada Allah. Kehidupan dan maknanya sangat sederhana. Beliau terkenal sangat tegas dalam urusan agama Allah, selalu menambal bajunya dengan kulit, membawa ember di atas kedua pundaknya, dengan wibawanya yang sangat besar, selalu mengendarai keledai tanpa pelana, jarang tertawa dan tidak pernah bergurau dengan sispapun. Cincinnya bertuliskan sebuah kata-kata “Cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu hai Umar” [Abu Ihsan al Atsari, Bidayah wan Nihayah Masa Khulafaur Rasyidin…, hlm. 176].
.
Dalam komentarnya tentang peneledanan para sufi terhadap Umar bin Khattab, al Yhusi menulis:
Dalam berbagai hal para sufi banyak meneladani Umar. Diantaranya ialah upayanya dengan memakai pakaian bertambalan,sikapnya yang garang, tindakannya dalam meninggalkan (shubhat), kekeramatan yang dimilikinya, ketegarannya terhadap yang salah ketika kebenaran telah tampak, ketinggahuannya dalam menegakkan kebenaran,tindakannya dalam menyamaratakan hak-hak orang yang dekat ataupun jauh, dan keteguhannya dalam berpegang pada ketaatan yang paling berat. [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 49].
Dalam hal berprinsip pernah beliau dicela dan dikatakan kepadanya, “Alangkah baik jika engkau memakan makanan yang bergizi tentu akan membantumu lebih kuat membela kebenaran”. Maka Umar berkata:
Sesungguhnya aku telah meninggalkan kedua sahabatku (yakni Rasulullah dan Abu Bakar) dalam keadaan tegar (tidak terpengaruh dengan dunia). Maka jika aku tidak mengikuti ketegaran mereka, aku takut tidak akan mengejar kedudukan mereka. [Abu Ihsan al Atsari, Bidayah wan Nihayah Masa Khulafaur Rasyidin…, hlm. 177].
Menarik mengutip ucapan Thalhah bin Abdullah:
Umar bukanlah orang yang pertama-tama masuk Islam, dan bukan pula orang yang paling dahulu berhijrah. Tapi dialah orang yang paling kurang perhatian nya terhadap masalah duniawi dan paling besar perhatiannya terhadap masalah akhirat diantara kami. [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 49].
Umar bin Khattab mempunyai jiwa yang bersih dan kesucian kerohanian yang begitu tinggi. Rasulullah saw pernah berkata tentang dirinya, “Tuhan Allah telah meletakkan kebenaran diujung lidah Umar dan hatinya.” [Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya..., hlm. 31]. Kezuhudan, keikhlasan, dan keadilan Umar tersebutlah yang dianggap oleh kaum sufi sebagai imam yang besar sekali yang melebihi imam lainnya.
  • c. Usman bin Affan
Usman bin Affan, merupakan sahabat Rasulullah yang gemar membaca Al Qur’an. Al Quran tak pernah terlepas dari sentuhan tangannya. Pada masa beliaulah yang menyalin dan membukukan kumpulan Quran yang dikumpulkan pada masa Abu Bakar menjadi Mushaful-Iman. Pernah beliau berkata: “Ini adalah surat yang dikirimkan Tuhanku. Tidaklah layak bagi seorang hamba bilamana datang sepucuk surat dari yang dipertuannya akan melalaikan surat itu.”
.
Artinya selain dibaca, Al Quran juga harus diamalkan, dipraktekkan, dilaksanakan isi-isinya. Bukan hanya semata bacaan saja. Diceritakan dalam Qamar Kailany yang merupakan bukti bahwa Usman bin Affan tidak pernah melepaskan Quran dari tangannya, bahkan disaat beliau menghembuskan nafas terakhirnya saat beliau dibunuh di dalam rumahnya sendiri.
Dalam kehidupan Usman bin Affan penuh dengan pengabdian setiap waktu, bahkan Kitabullah senantiasa berada di tangannya dan demikan juga sewaktu beliau meninggal dunia ditemukan Kitabullah diantara kedua tangannya. (Qamar Kailany: 19) [Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf…, hlm. 55].
Dalam penggembengan terhadap dirinya sendiri diriwayatkan bahwa dia membawa sendiri beberapa ikat kayu dari kebunnya, padahal dia mempuyai beberapa budak. Ketika ditanyakan padanya mengapa tidak dia suruh saja budak budaknya membawanya, jawabanya: “Aku bisa membawanya sendiri”. Hal ini menunjukkan betapa dia tidak pernah lupa untuk menempa dirirnya sendiri. bahkan dia tidak tenang dengan harta yang berhasil dikumpulkannya, berbeda dengan yang lain-lain. Mengenai kehidupannya yang asketis, diriwayatkan bahwa mendermawankan hartanya lebih dia sukai daripada menumpukkannya.
.
Dia yang membeli sumur seorang Yahudi yang melarang kaum Muslimin menimba air di sumur itu, sehingga Rasulullah saw. pun bersabda: “Betapa besar pengorbanan Utsman. Apa pula yang akan dilakukannya setelah ini?” Utsman menjelaskan, bagi harta mempunyai fungsi sosial, sebagaimana katanya: “Andai saja aku tidak khawatir bahwa dalam Islam terdapat lobang yang dapat kututup dengan harta ini, pasti aku tidak akan mengumpulkannya.”[Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 50].
  • d. Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib, kesederhanaannya patut untuk dijadikan suri teladan. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun tidak kurang ketinggian hidup kerohaniannya. Seorang sahabat, keponakan serta menantu Rasulullah yang menjadi khalifah keempat ini dalam tugas-tugasnya yang besar dan mulia, menyebabkan beliau tidak peduli dengan pakaian yang dikenakannya. Pernah beliau menggunakan pakaian robek yang kemudian dijahitnya sendiri.
.
Pernah orang menanyakan, “Mengapa sampai begini ya Amirul mukminin?” Beliau menjawab, “Untuk menghusyukkan hati dan menjadi teladan bagi orang yang beriman.” [Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf…, hlm. 56]. Kesederhanaan beliau lainnya ialah pernah beliau hanya memakan tiga biji buah kurma dalam sehari selama sebulan.
.
Sementara itu dalam pandangan para sufi, secara khusus Ali bin Abi Thalib mempunyai kedudukan tinggi. Karena menurut Ibnu Unaiyah, Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat Nabi yang paling zahid. Imam Syafií pun memandangnya sebagai asketis besar. Pernah suatu ketika beliau berkata kepada Umar bin Khattab:
Seandainya engkau akan menemui seoarang sahabat, tamballah bajumu, perbaiki sandalmu, ciutkan harapanmu, dan makanlah tidak sampai kenyang.
Kemudian mengenai pembianaan dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib telah berkata:
Äku ini bagaikan seorang pengembalasekumpulan kambing. Setiap hari bagian yang sebelahnya kukumpulkan bagian yang sebelah lainnya bertebaran. [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 52].

Komentar