-->

Tugas Akhlak Tasawuf Masa Klasik - Rasulullah dan Para Sahabat Part 1

Tidak ada komentar

http://alquran-on.blogspot.co.id/2016/07/kisah-teladan-jenazah-yang-membaca-al.html
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang memang dari awalnya diturunkan, diterima, dan diamalkan oleh masyarakat urban di Mekkah dan di Madinah [Simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 15]. Di bawah bimbingan langsung Rasulullah saw, Islam berhasil memperagakan pemahaman, penghayatan dan pengamalan Islam yang benar-benar murni dan segar sehingga terbentuk suatu umat yang baru dan menjadi khairu ummat pada waktu itu.
.
Keistimewaan dalam Islam adalah karena Islam memiliki sejarah yang jelas semenjak diturunkannya wahyu pertama hingga menjadi agama yang sempurna dan utuh sebelum Rasulullah saw wafat. Sebagaimana dalam surah al Maidah ayat (3), artinya:
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhoi Islam itu jadi agama bagimu.
Jadi Islam sebagai agama telah sempurna dan sebagaimana bunyi ayat diatas sebelum Rasulullah wafat. Dan pengamalannya telah secara nyata dicontohkan oleh Nabi dan sahabat-sahabat beliau yang saleh-saleh [Simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 16-17].
.
Salah satu yang dapat diteladani Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya ialah akhlak dan tasawuf mereka. Apalagi hal-hal yang dilakukan oleh Rasulullah, jelas hal tersebut adalah sunnah, yang apabila dilaksanakan akan mendapatkan pahala yang berlimpah. Syariah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan erat. Hal ini dikarenakan bahwa keduanya merupakan perwujudan dari kesadaran iman yang mendalam.
.
Syariah adalah cerminan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriyah, sedang kan tasawuf adalah cerminan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniyah. Baik aspek lahir maupun aspek batin keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Al-Hujwiri berkata bahwa aspek lahir tanpa aspek batin adalah kemunafikan, sebaliknya, aspek batin tanpa aspek lahir adalah bi’dah [Alwan Khoiri, dkk., Akhlak/Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA, 2005), hlm. 183].
.
Maka dari itu, jarak antara tasawuf dan bi’dah amatlah jauh. Tasawuf adalah media temporal dan media tahapan-tahapan pengobatan psikis yang dibutuhkan sewaktu-waktu untuk mendirikan suatu bangunan yang kokoh. Sedangkan bi’dah adalah keinginan-keinginan yang dimaksud itu sendiri, dibuat guna mendapatkan nilai yang lebih dalam beribadah kepada Allah, serta bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah [Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syar’i: kritik atas kritik, (Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah, 2003)].
.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Memaknai Kehidupan Rasulullah dan Para Sahabat

Pada dasarnya tasawuf merupakan moral, moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Kenapa? Sebab semua hukum Islam berdasarkan landasan moral [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 10].
.
Dalam al Quran sendiri terdapat banyak ayat yang mengemukakan tentang moral yang menjadi benih-benih tasawuf. Dan dalam al Quran pula yang mengemukakan hal-hal yang mendorong manusia agar hidup saleh, taqwa kepada Allah, menghindari dunia beserta perhiasannya, memandang rendah hal hal yang duniawi dan memandang tinggi kehidupan akhirat [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 57].
.
Sebagaimana ayat berikut yang mengisyaratkan kefanaan dunia dan perlunya menahan darinya karena kehidupan dunia merupakan sebuah permainan yang tidak kekal, melalaikan dan bersifat menipu, dalam firman Allah, yang artinya:
Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanya permainan serta melalaikan, hias-hiasan, megah-megahan diantara kamu dan bangga-banggaan tentang banyak harta ataupun anak, seperti hujan, yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, lalu tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menguning sampai terus nanti hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab keras dan ampunan Allah maupun keridlaan-Nya, sementara kehidupan dunia ini tidak lain hanya kesenangan yang menipu. (QS al Hadid: 20) [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 59].
Serta firman Allah, yang artinya:
Adapun orang-orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka dia itu, sungguh neraka tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka dari itu, sungguh surga tempat tinggal(nya). (QS an Nazi’at: 37-41) [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 59].
Selain itu terdapat pula ayat ayat yang memuji hamba hamba Allah yang senang menghadapkan diri kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surah as Sajadah ayat 15 hingga 16, yang artinya:
Sesungguhnya orang orang yang beriman kepada ayat ayat Kami itu ialah orang orang yang ketika diperingatkan dengan ayat ayata (Kami), mereka tersungkur (dalam) sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sementara mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sementara mereka menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS as Sajadah: 15-16) [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 60].
Jika melihat beberapa ayat di atas maka tidak heran jika dalam riwayat-riwayat menyatakan tentang kehidupan Rasulullah yang begitu sangat sederhana hingga menggambarkan Nabi seperti sosok yang miskin dan tidak memiliki harta kekayaan apapun. Bahkan Nabi pun mengajak ummatnya untuk menjauhi kelezatan dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Sebagaimana sabdanya:
Jauhilah kelezatan hidup di dunia, Allah akan mencintaimu. Dan jauhilah apa yang ada di tangan orang banyak, orang-orang akan mencintaimu”. Serta dalam sabdanya: ”Apabila engkau melihat seseorang yang menjauhi hal-hal yang duniawi, dekatilah dia, sebab dia memberikan hikmah. [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 45].
Dalam hal ini Rasulullah memang selalu mewajibkan diri tetap dalam keadaan sederhana, pembatasan diri dalam makan maupun minum serta banyak dalam beribadah. Keadaan ini berlangsung sampai turunnya cegahan di dalam al Quran dalam firman-Nya:
Thaha! Kami tidak menurunkan al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah. (QS Thaha: 1-2).
Oleh sebab itu kehidupan sederhana Nabi tersebut memang atas dasar kehendak beliau sendiri. Dr. Muhammad Husain Haikal dalam karyanya, Hayatu Muhammad, menulis:
Kesederhanaan atau keidak-inginannya terhadap dunia ini bukanlah semacam kesederhanaan demi kesederhanaan. Bahkan keduanya bukanlah semacam kewajiaban agama. Maksud Muhammad saw. ialah beliau ingin memberi suri teladan bagi manusia tentang ketangguhan yang tidak mengenal lemah. Selain itu, agar membuat orang yang berkepribadian seperti itu tidak diperbudak kekayaan, kekuasaan, atau yang lainnya yang membuat hal-hal selain Allah menjadi berkuasa. [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 41].
Kemudian dalam hal keluhuran akhlak beliau yang tinggi, tidak syak lagi bahwa beliau merupakan tipe yang paling ideal yang dapat dijadikan suri tauladan yang baik bagi ummat Muslim termasuk pula bagi para kaum sufi, sebagaimana dalam firman Allah, yang artinya:
Sesunggunya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi yang mengharap (rahmat) Allah serta (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. (QS al Ahzab: 21) [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 45].
Serta dalam firman Allah, yang artinya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti luhur. (al Qalam: 4).
Berhubungan dalam hal ini pula suatu ketika Aisyah ra ditanya tentang akhlak beliau, jawabnya:
Akhlak Rasulullah adalah al Quran. Allah ridla bersama keridlaan beliau, dan (Dia) niscaya marah bersama kemarahan beliau. [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 42].
Ali bin Abi Thalib pun pernah berkata:
Beliau adalah orang yang paling lapang dada, kata-katanya paling bisa dipercaya, tata kramanya paling halus, dan keluarganya adalah yang paling mulia. Beliau selalu bergaul, bersenda gurau dan berbincang-bincang dengan para sahabatnya. Bahkan beliau sangat menyayangi anak-anak kecil, selalu memenuhi undangan orang yang mengundangnya, selalu mengunjungi orang sakit dan selalu menerima permintaan maaf. [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 43].
Serta akhlak ini merupakan misi utama beliau, bahwa beliau diutus ke dunia tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhak manusia. Sebagaimana dalam hadits shahih diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi saw berasabda: ”Innamaa bu ‘itstu li utammimaa makaarimal akhlaaq”. Artinya: Sesungguhnya aku diutus ke dunia, semata mata untuk menyempurnakan akhlak. (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Hakim) [Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013), hlm. 4].
.
Selain itu beliau juga merupakan sesorang yang sangat tekun dan kuat dalam hal beribadah, yang di dalamnya tidak terlepas dari isak tangis dengan memohon ampun kepada Allah sebanyak-banyaknya. Padahal sudah jelas bahwa beliau merupakan seorang yang maksum yang tidak memilki dosa. Mengenai betapa kuatnya beliau beribadah, telah diriwaayatkan bahwa Aisyah ra berkata kepada beliausewaktu dilihatnya beliau begitu lama mengerjakan shalat malam, sehingga kedua telapak kaki beliau melepuh:
Wahai Rasulullah, mengapa ini kau lakukan, bukankah Allah telah mengampuni segala dosamu, baik yang lalu maupun yang akan datang?
Rasulullah menjawab:
Tidakkah aku bersenang menjadi hamba yang bersyukur?
Beliau sendiri selalu beri’tikaf di masjid, sebagaimana yang Aisyah riwayatkan pula: “Dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan, sampai beliau meninggal dunia, beliau selalu beri’tikaf di masjid setelah beliau meninggal dunia, isteri-isterinya pun selalu beri’tikaf” [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 41].

Komentar