-->

AL QUR’AN SEBAGAI ILMU KEHAKIMAN - Mengenai Permasalahan Sidang Jessica (Kelas: Khairul Anam)

Tidak ada komentar

AL QUR’AN SEBAGAI ILMU KEHAKIMAN - Mengenai Permasalahan Sidang Jessica (Kelas: Khairul Anam)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “AL QUR’AN SEBAGAI ILMU KEHAKIMAN - Mengenai Permasalahan Sidang Jessica” ini. Tidak lupa shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun kita mulai dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benerang seperti saat ini.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Qur’an dan Hadis oleh dosen pengampu Bapak Khoirul Anam. Diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai bahan pengacuan tentang pentingnya isi Al-Qur’an dan Hadis bagi umat Islam. Termasuk mengenai persoalan hubungan kehidupan sehari-hari antara manusia dengan manusia. Terutama mengenai permasalahan kasus Jessica yang terjadi akhir-akhir ini.

Makalah ini bisa terselesaikan tak lepas dari berbagai dorongan yang telah mendukung dan tak lupa pula kepada dosen pengampu mata kuliah ini, kami sangat berterima kasih kepada Bapak Khoirul Anam, yang telah memberikan amanat ini, dan telah kami kerjakan dengan kemampuan yang kami miliki. Dan dengan waktu yang seadanya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, keterbatasan waktu pengerjaan dan lain sebagainya. Karena itu sudah sepantasnya kalau saran-saran dan kritik-kritik dapat saya terima sebanyak mungkin. Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk serta bimbingan yang diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri.
Yogjakarta, November 2016


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti apa yang telah kita ketahui sendiri, bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantara Malaikat Jibril AS secara berangsur-angsur, berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas atas petunjuk tersebut serta sebagai pembeda antara yang haq dan bathil agar bisa membebaskan manusia dari kesesatan menuju jalan yang lurus.

Kita tahu bahwa hukum islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah hukum islam mencermikan konsep yang berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat, dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut permasalahan duniawi saja. Sedangkan hukum islam adalah perintah Allah SWT yang mengatur kehidupan umat Islam dalam aspek peribadahan, ritual, politik maupun hukum.

Makalah ini mencakup mengenai permasalahan yang saat ini sedang ramai-ramainya dibicarakan oleh publik, yaitu mengenai kasus Jessica. Dalam kasus Jessica ini terdapat kejanggalan mengenai keadilan, kesaksian, dan kehakiman, maka perlu adanya sesuatu yang dapat menyingkap kejanggalan tersebut. Maka makalah ini dibuat guna mengetahui fungsi Al Qur’an yang di dalamnya terdapat isi mengenai keadilan, kesaksian dan kehakiman.


B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana yang terjadi dengan persidangan kasus Jessica?
  2. Bagaimana pendapat ahli hukum mengenai proses persidangan kasus Jessica?
  3. Bagaimana isi Al Qur’an yang mengatur tentang permasalahan kehakiman?


C. Tujuan

  1. Untuk mengetahui persidangan kasus Jessica.
  2. Untuk mengetahui pendapat para ahli hukum mengenai proses persidangan kasus Jessica. Untuk mengetahui isi Al Qur’an yang mengatur tentang permasalahan kehakiman.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kasus Persidangan Jessica

1. Kronologi Sidang Jessica
Kasus persidangan Jessica bermula pada tanggal 6 Januari 2016, yaitu berawal dari kematian Mirna Salihin. Penyebab kematian Mirna, menurut tim forensik dari Polda Metro Jaya, menyatakan bahwa Mirna meninggal karena terdapat zat korosif pada lambung Mirna.

Pada tanggal 11 Januari 2016, kepolisian menggelarkan prarekonstruksi. Hasil dari prarekonstruksi tersebut yaitu terdapat kejanggalan mengenai kopi yang diminum oleh Mirna. Kata Hani, seorang sahabat dari Mirna dan saksi yang melihat langsung kematian Mirna, mengatakan bahwa sebelum Mirna meninggal, Mirna mengatakan bahwa kopinya sangat aneh. Setelah prarekonstruksi, kepolisian kemudian mengambil beberapa alat bukti dari Restoran Olivier, yaitu kamera CCTV dan beberapa peralatan yang digunakan untuk menyeduh kopi Vietnam yang telah diminum oleh Mirna.

Pada tanggal 12 Januari 2016, kepolisian menggeledah rumah Jessica. Pada hari tersebut polisi tidak menemukan apa-apa. Setelah melakukan penggeledahan terhadap rumah Jessica, kepolisian menyatakan bahwa Jessica merupakan saksi yang potensial, dalam artian saksi yang sangat berpengaruh untuk mengungkap penyebab kematian Mirna. Alasan dari kepolisian adalah, dikarenakan Jessica-lah yang memesan kopi Mirna. Dan Jessica juga datang lebih awal dari perjanjian yang ia buat dengan Mirna, Vera dan Hani.

Setelah penggeledahan terhadap rumah Jessica, media massa sudah heboh dan menyatakan bahwa Jessica adalah tersangka utamanya. Hal ini menyebabkan Jessica menjadi depresi sebelum digelarnya perkara ini.

Kepolisian telah mengekspose semua hasil dari penyidikan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tetapi ditolak oleh Kejati, karena dianggap masih kurang lengkap. Dapat diterima ketika kepolisian mengekspose untuk kedua kalinya ke Kejati dan kemudian mereka mengaku mendapatkan hasil yang signifikan dan akan segera menggelar perkara.

Setelah ekpos kedua, kepolisian langsung melakukan gelar perkara pada hari Jumat, tanggal 29 Januari 2016, pada pukul 23.00 WIB, penyidik menetapkan Jessica menjadi tersangka pembunuhan Mirna.

Setelah menetapkan Jessica menjadi tersangka kasus pembunuhan Mirna, penyidik mencari Jessica. Jessica tertangkap saat berada di sebuah Hotel Neo, di kawasan Mangga Dua pada hari Sabtu, tanggal 30 Januari 2016, pada pukul 01.45 WIB. Penyidik memeriksa Jessica kurang lebih selama 12 jam. Kemudian Jessica ditahan selama 20 hari. Keputusan penahanan diambil kepolisian karena mereka khawatir Jessica akan melarikan diri, mengulang perbuatannya atau menghilangkan alat bukti.

Kepolisian menjerat Jessica dengan Pasal 340 pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana. Berdasarkan pasal itu, Jessica harus menghadapi ancaman pidana penjara minimal selama lima tahun dan maksimal selama 20 tahun atau hukuman mati[1].

2. Hasil Sidang Jessica
Pada tanggal 5 Oktober 2016, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, jaksa menyatakan bahwa alat bukti yang berupa keterangan saksi, ahli, dan terdakwa, diperoleh fakta-fakta hukum yang tidak bisa disangkal[2].

Pada tanggal 27 Oktober 2016, Jessica divonis 20 tahun penjara. Alasan hakim memvonis Jessica adalah karena sebelum ke Indonesia Jessica berkelakuan buruk atau agresif terhadap orang-orang yang disekitarnya. Dan juga dikarenakan Jessica sakit hati karena Mirna memberikan solusi untuk segera memutuskan hubungan antara Jessica dengan Petrik, mantan pacar dari Jessica. Maka Jessica melakukan pertemuan dengan Mirna dua kali. Pertemuan pertama antara Jessica dan Mirna beserta suaminya. Kemudian pada pertemuan yang kedua diadakan di Restoran atau Kafe Olivier beserta Hani dan Vera. Dan Hakim menganggap air mata Jessica adalah palsu atau hanya pura-pura saja[3].
[1] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160201085309-12-107972/kronologi-kasus-mirna-hingga-penahanan-jessica/.
[2] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161005_indonesia_tuntutan_jessica.
[3] http://tv.liputan6.com/read/2638590/barometer-pekan-ini-vonis-penjara-untuk-jessica.



B. Pendapat Ahli Hukum Mengenai Persidangan Kasus Jessica

Menurut ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir mengatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara seharusnya hakim mencari dahulu penyebab kematian Mirna, setelah itu cara bagaimana Mirna bisa mati, dan kemudian baru siapa yang melakukan hal tersebut. Tetapi menurutnya dalam persidangan Jessica justru terbalik dan hal ini memaknai bahwa persidangan Jessica sudah tidak sesuai dengan etika persidangan[4].

Menurut ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Edward Omar Syarif Hiariej, yang juga memberikan keterangan saksi ahli dalam sidang Jessica ini, menurutnya hakim boleh memutuskan perkara tanpa adanya bukti yang langsung atau direct evidence. Karena dalam hukum pembuktian terdapat dua, yaitu bukti langsung atau direct evidence dan bukti tidak langsung atau circumstantial evidence. Hakim boleh memutuskan suatu perkara hanya dengan circumstantial evidence. Circumstantial evidence bisa didapatkan dari surat, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa. Dari keterangan-keterangan di dalam persidangan, majelis hakim dapat memutuskan perkara[5].

Menurut pakar hukum dari Universitas Al Azhar, Suparji, kelemahan mengenai alat bukti menandakan bahwa aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan masih kurang terkoordinasi dalam membuktikan bahwa Jessica adalah pembunuh Mirna. Beliau menganggap bahwa penyidik kurang profesional dalam melakukan penyidikan[6].

Menurut Reza Indagri, seorang ahli psikologi forensik menyatakan bahwa Mirna merupakan bagian dari pembunuhan profesional tetapi salah sasaran. Maksudnya adalah pembunuh bertujuan membunuh seseorang yang penting yang terdapat pada Restoran atau Kafe Olivier tetapi justru salah sasaran dan mengakibatkan Mirna lah yang menjadi korban. Alasannya adalah karena Mirna hanya orang biasa dengan status yang biasa saja, sedangkan racun sianida dengan berat 15 gram bertujuan untuk membunuh orang biasa saja dianggap sangat tidak mungkin bagi Reza[7].

Menurut Hotman Paris, pengacara yang terkenal, menyatakan para ahli hukum, doktor dan profesor hukum kenapa diam saja, padahal terdapat kejanggalan mengenai berkas perkara yang dikembalikan lima kali oleh kejaksaan terhadap penyidik karena berkas kurang lengkap atau P-19. Kemudian jaksa menetapkan P-21 atau berkas sudah lengkap tetapi tanpa penambahan bukti apapun. Hal ini dikarenakan agar Jessica tidak habis masa penahanannya. Beliau juga membandingkan hukum yang berada di Indonesia dengan hukum Amerika Serikat. Di Amerika keterangan dari seorang ahli tidak mempengaruhi putusan hakim dalam memutuskan perkara, walaupun ahli itu sangat ahli sekali. Alasannya adalah karena keterangan ahli itu masih bersifat praduga, bisa saja atau mungkin[8].

Menurut pakar hukum dari Universitas Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan mengutip prinsip yang berlaku dalam hukum pidana berlaku prinsip "ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat". Yang artinya, “beban pembuktian ada pada yang mendakwa, bukan pada yang menyangkal.” Pohan berpendapat bahwa saat ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya berhasil membuktikan bahwa Jessica memiliki alasan untuk membunuh Mirna tetapi masih lemah dalam alat bukti dan saksi. Menurutnya sebab kematian Mirna masih saja diperdebatkan apalagi mencari siapa pembunuhnya pasti kesulitan[9].

Sejumlah advokat yang tergabung dalam Kantor Pendidikan Advokat Pengacara Indonesia (KAPINDO) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI) melaporkan tiga hakim yang menangani perkara Jessica Kumala Wongso ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Salah satu perwakilan dari mereka, Bahriansyah menyatakan terdapat kelakuan hakim yang tidak mengenakkan terhadap terdakwa. Ia juga menganggap bahwa hakim telah melakukan penyerangan terhadap kehormatan profesi advokat. Ia juga menyatakan bahwa pihaknya juga melaporkan tindakan hakim yang melanggar kode etik kepada Komisi Yudisial (KY)[10].
[4] https://m.tempo.co/read/news/2016/10/27/064815692/vonis-jessica-ahli-hukum-ini-meragukan-keputusan-hakim
[5]http://megapolitan.kompas.com/read/2016/08/25/19041181/saksi.ahli.sidang.jessica.ungkapkan.pembuktian.hukum.pidana.tak.memerlukan.bukti.langsung
[6] http://news.okezone.com/read/2016/10/26/338/1525411/bukti-kasus-jessica-lemah-pakar-hukum-ironi-yang-menggelikan
[7] http://www.lensaindonesia.com/2016/08/05/pendapat-pakar-dan-tayangan-cctv-pembunuh-mirna-bukan-jessica.html
[8] http://news.okezone.com/read/2016/10/11/338/1511386/komentar-hotman-paris-untuk-para-ahli-hukum-soal-sidang-jessica
[9] http://www.tribunnews.com/metropolitan/2016/10/12/pakar-hukum-kesimpulan-jpu-belum-meyakinkan-kalau-jessica-pembunuh-mirna?page=all
[10] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161102062330-12-169526/tiga-hakim-jessica-wongso-dilaporkan-ke-bareskrim/


C. Penjelasan Al Qur’an Mengenai Kehakiman

Dalam menegakkan hukum, terdapat pemimpin tertinggi dalam memutuskan perkara. Seorang pemimpin tersebut harus berlaku adil terhadap semua orang, tanpa memihak. Mereka ialah cerminan keadilan. Jika mereka lalai dan tidak amanah dalam menjalankan tugasnya maka keadilan tersebut tidak berlaku dan terdapat perdebatan yang sengit. Tetapi apabila sebaliknya, rukunlah kehidupan antar manusia di muka bumi ini dengan terwujudnya keadilan. Mereka lah hakim, sang ulil amri. Kenapa hakim sangat bersinggungan dengan keadilan. Mengenai kehakiman, berdasarkan isi Al Qur’an, surah an Nisa ayat 58 yang berbunyi: Yang artinya adalah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Kata hukm adalah bentuk masdar dari hakama, yakni memberi solusi bagi dua orang yang berselisih. Artinya dalam memutuskan perkara, orang yang akan memberi solusi ini harus mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Untuk mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah, orang penengah tersebut harus meminta keterangan dari kedua orang yang sedang bermasalah dan mendengarkan alasan dan keterangan mereka. Keputusan harus benar sesuai dengan keterangan yang didapat dan tidak boleh memihak salah satu dari kedua orang tersebut. Ayat ini menurut beberapa ulama ditujukan untuk pemimpin (wulatul-amr). Karena itulah jatuh bangunnya suatu bangsa tidak bisa lepas dari upaya penegakan keadilan dalam ranah hukum[11]. Dan hakim disini berperan sangat vital mengenai penegakkan keadilan.

Kata adil atau al ‘adl dalam ayat tersebut bila diartikan adalah sama. Artinya persamaan mengenai hak. Dan hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat tersebut menuntun seorang hakim dalam memutuskan perkara harus menganggap sama derajatnya antara kedua pihak yang sedang bersengketa. Artinya seorang hakim tidak boleh memandang yang lebih miskin, yang berkelakuan buruk, yang tidak beriman dan yang bukan keluarganya memiliki kecenderungan bahwa mereka kemungkinan bersalah. Alasannya karena mereka miskin, bersikap buruk, bukan muslim dan bukan keluarga sendiri. Tetapi jika pada kenyataannya mereka itu tidak membunuh seseorang atau melanggar suatu hukum maka mereka tetap tidak bersalah. Maka dari itu adil disini ditegaskan untuk seorang hakim harus memandang sama pihak-pihak yang sedang bersengketa[12].

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” Asy-Syafi’iy mengatakan bahwa ayat tersebut mengandung makna bahwa mereka mempermudah dalam menetapkan hukum, mereka menetapkan hukum menurut kemauan mereka. Dan hal tersebut dilarang, mereka diperintah supaya hukum ditetapkan di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya[13]. Bahwa mengikuti hawa nafsu dan semena-mena dalam memutuskan perkara adalah sangat dilarang oleh Allah SWT. Karena hal itu dapat mematikan kebenaran dan menimbulkan ketidakadilan. Hendaknya dalam memutuskan suatu perkara berdasarkan kejadian yang benar-benar terjadi.

Dalam Al Qur’an surah Al Maidah ayat 8 menjelaskan pengertian tentang adil dalam putusan dan hukum, yang berbunyi: Yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Turunnya ayat ini adalah setelah penyebutan beberapa perjanjian dengan Allah. Maka ayat ini adalah penegasan dalam menepati perjanjian dengan pihak lain adalah karena Allah. Dan ketika perjanjian tersebut harus terdapat saksi-saksi dengan kesaksian yang adil[14].

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” Maksud dari ayat itu adalah kebencian tidak pernah dijadikan alasan untuk mengorbankan keadilan, walaupun kebencian itu tertuju kepada kaum non-muslim, atau didorong oleh upaya memperoleh ridha-Nya[15]. Maka dari itu Rasulullah SAW mewanti wanti
“Berhati-hatilah tehadap doa (orang) yang teraniaya, walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara doanya dengan Tuhan.”

Maka pengertian dari kata-kata Rasulullah tersebut adalah bahwa Allah juga mempersamakan setiap umatnya ketika dalam keadaan teraniaya. Allah juga tidak memilih walaupun orang yang dianiaya bukan seorang muslim tersebut dianiaya oleh orang muslim. Subhanallah, sungguh Maha Adil Allah, Tuhan Semesta Alam.

Ada beberapa alasan mengapa perintah untuk menegakkan keadilan disebutkan terlebih dahulu daripada perintah menjadi saksi karena Allah. Pertama, umumnya manusia cenderung menuntut orang lain untuk berlaku adil, namun itu tidak ia barengi dengan perbuatan yang sama. Manusia cenderung berlaku tidak adil, terutama dalam persoalan yang menyangkut dirinya dan orang-orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Oleh karena itu, ayat ini menuntut setiap mukmin untuk bersikap sama dalam memperlakukan dirinya dan orang lain di depan hukum.

Kedua, seruan menegakkan keadilan dalam persaksian pada hakikatnya untuk menghindari kemungkinan terjadinya vonis keliru bagi orang yang sebetulnya tidak bersalah. Ketiga, penegakan keadilan adalah menyangkut tindakan, sedangkan persaksian menyangkut ucapan. Maka lebih kuat tindakan daripada sekadar ucapan dalam ranah hukum[16].

Hal ini memang sulit untuk diterapkan, maka dari itu dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Dawud dari Buraidah. Yang bunyinya: “Hakim itu ada tiga: dua diantaranya masuk neraka dan satu sisanya masuk surga.”

Ada juga alasan kenapa menegakkan keadilan lebih diutamakan daripada mensejahterakan umat manusia atau rakyat adalah karena keadilan akan mengantarkan kepada ketakwaan dan ketakwaan menghasilkan kesejahteraan[17].

Al Qur’an surah Ali Imran ayat 159: Yang artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Al Qur’an surah Al Hujurat ayat 6: Yang artinya adalah:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Al Qur’an surah Shaad ayat 26: Artinya:
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Berdasarkan ayat tersebut ketika kita hendak memutuskan suatu perkara hendaklah dengan bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Dan apabila penegak hukum (hakim) dalam menangani suatu perkara menghadapi beberapa kesulitan atau masalah, maka dia seharusnya bermusyawarah dengan orang yang berilmu luas dan bertanggungjawab[18]. Artinya ketika di dalam persidangan bukan dengan saling menyerang menggunakan keterangan saksi dan ahli. Tetapi justru sebaliknya, saling menghormati dan menghargai. Demi mencari makna keadilan yang sebenarnya.

Dan pada ayat tersebut juga dijelaskan, bahwa ketika bermusyawarah, ketika hendak memutuskan perkara sebaiknya dilakukan secara teliti dan tidak tergesa-gesa agar tidak terjadi salah tangkap atau salah mengadili seseorang.
[11] Kementrian Agama RI, Hukum Keadilan Dan Hak Asasi Manusia, Tafsir Al Qur’an Tematik(Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an, 2010), hlm. 163.
[12] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat(Bandung : Mizan Media Utama, 2013), hlm. 152.
[13] Imam Syafi’iy dan Imam Baihaqi, Hukum Al Qur’an, Asy-Syafi’iy dan Ijtihadnya(Surabaya : PT Bungkul Indah Surabaya, 1994), Hlm. 366.
[14] Kementrian Agama RI, Hukum Keadilan Dan Hak Asasi Manusia, Tafsir Al Qur’an Tematik(Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an, 2010), hlm. 168.
[15] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat(Bandung : Mizan Media Utama, 2013), hlm. 157.
[16] Kementrian Agama RI, Hukum Keadilan Dan Hak Asasi Manusia, Tafsir Al Qur’an Tematik(Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an, 2010), hlm. 169.
[17] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat(Bandung : Mizan Media Utama, 2013), hlm. 148.
[18] Imam Syafi’iy dan Imam Baihaqi, Hukum Al Qur’an (Asy-Syafi’iy dan Ijtihadnya)(Surabaya : PT Bungkul Indah Surabaya, 1994), Hlm. 364.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian secara singkat dari pembahasan terhadap masalah-masalah yang terdapat pada pokok pembahasan dan analisis terhadap permasalahan mengenai persidangan kasus Jessica. Penulis dapat menyimpulkan bahwa berdasarkan pendapat ahli hukum dan lain-lain mengenai persidangan Jessica bahwa hakim yang tidak dapat mengendalikan jalannya persidangan tersebut. Dan terdapat ketidakadilan mengenai pelaksaan sidang tersebut. Karena menurut beberapa ahli, hakim tidak menggunakan asas praduga tak bersalah dalam persidangan tersebut. Maka hakim turut menyerang terdakwa (Jessica) dan memaksa terdakwa untuk berkata jujur, dalam artian hakim sudah kelewatbatas karena memaksa terdakwa untuk jujur.

Ada kemungkinan hakim juga lelah karena sidang yang begitu panjangnya. Ketika memaksa terdakwa untuk berkata jujur banyak pendapat mengatakan bahwa hakim sudah tidak berasas praduga tak bersalah, dan menganggap bahwa terdakwa sudah bersalah. Maka penulis menyimpulkan bahwa hakim sudah tidak beretika lagi dalam persidangan maka pantas untuk dilaporkan.

Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, penulis menyimpulkan bahwa dalam memutuskan perkara seorang hakim harus menganggap sama. Artinya tidak ada perbedaan. Tidak ada kaya-miskin, muslim-nonmuslim, baik-buruk, dan keluarga-bukan keluarga. Artinya hakim menilai bukan karena status tersebut. Dan seorang hakim harus teliti, tidak sembrono dalam memutuskan perkara karena akan berakibat fatal.

Maka penulis menyimpulkan bahwa Jessica seharusnya bebas dan hakim wajib mengembalikan kembali martabat Jessica karena ulah media. Hal ini berdasarkan Yurisprudensi Putusan MA Nomor Register: 808 K / PID / 1984 Tanggal 09 Mei 1985, KAIDAH HUKUM: Dakwaan yang tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum. Dan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 492 K / Kr / 1981 KAIDAH HUKUM: Pengadilan Tinggi telah tepat dengan mempertimbangkan, bahwa tuduhan yang samar-samar / kabur harus dinyatakan batal demi hukum. Dan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 33 K / mil / 1985 KAIDAH HUKUM: Karena surat dakwaan tidak dirumuskan secara cermat dan lengkap, dakwaan dinyatakan batal demi hukum.

Maka dapat disimpulkan apabila dalam memutuskan suatu perkara dan saksi maupun bukti lemah, kabur, tidak jelas maka dakwaan dinyatakan batal demi hukum dan terdakwa bebas. Dari fakta tersebut Jessica pantas dibebaskan karena tidak terdapat alat bukti dan saksi yang kuat.


Daftar Pustaka

  • Shihab, Quraish. 2013. Wawasan Al-Quran (Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat). Bandung: PT Mizan Pustaka, Mizan Media Utama.
  • Kementrian Agama RI. 2010. Hukum, Keadilan Dan Hak Asasi Manusia (Tafsir Al Qur’an Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
  • Imam Syafi’iy dan Imam Baihaqi. 1994. Hukum Al-Quran (Asy-Sayfi’iy dan Ijtihadnya). Surabaya: PT Bungkul Indah Surabaya.
  • http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160201085309-12-107972/kronologi-kasus-mirna-hingga-penahanan-jessica/ 
  • http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161005_indonesia_tuntutan_jessica 
  • http://tv.liputan6.com/read/2638590/barometer-pekan-ini-vonis-penjara-untuk-jessica 
  • https://m.tempo.co/read/news/2016/10/27/064815692/vonis-jessica-ahli-hukum-ini-meragukan-keputusan-hakim 
  • http://megapolitan.kompas.com/read/2016/08/25/19041181/saksi.ahli.sidang.jessica.ungkapkan.pembuktian.hukum.pidana.tak.memerlukan.bukti.langsung 
  • http://news.okezone.com/read/2016/10/26/338/1525411/bukti-kasus-jessica-lemah-pakar-hukum-ironi-yang-menggelikan 
  • http://www.lensaindonesia.com/2016/08/05/pendapat-pakar-dan-tayangan-cctv-pembunuh-mirna-bukan-jessica.html 
  • http://news.okezone.com/read/2016/10/11/338/1511386/komentar-hotman-paris-untuk-para-ahli-hukum-soal-sidang-jessica 
  • http://www.tribunnews.com/metropolitan/2016/10/12/pakar-hukum-kesimpulan-jpu-belum-meyakinkan-kalau-jessica-pembunuh-mirna?page=all 
  • http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161102062330-12-169526/tiga-hakim-jessica-wongso-dilaporkan-ke-bareskrim/

Komentar