-->

Ijtihad Mengenai Bayi Tabung - Kelas: Khairul Anam

Tidak ada komentar

https://dnk.id/liputan/inez-kriya/bayi-tabung-harapan-bagi-mereka-yang-menginginkan-buah-hati
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “IJTIHAD MENGENAI BAYI TABUNG” ini. Tidak lupa shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun kita mulai dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benerang seperti saat ini.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih dan Ushul Fikih oleh dosen pengampu Bapak Khoirul Anam. Diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai bahan pengacuan tentang pentingnya berijihad bagi umat Islam. Termasuk mengenai persoalan bayi tabung yang saat ini sedang menjadi bahan pembicaraan publik.

Makalah ini bisa terselesaikan tak lepas dari berbagai dorongan yang telah mendukung dan tak lupa pula kepada dosen pengampu mata kuliah ini, kami sangat berterima kasih kepada Bapak Khoirul Anam, yang telah memberikan amanat ini, dan telah kami kerjakan dengan kemampuan yang kami miliki. Dan dengan waktu yang seadanya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, keterbatasan waktu pengerjaan dan lain sebagainya. Karena itu sudah sepantasnya kalau saran-saran dan kritik-kritik dapat saya terima sebanyak mungkin. Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk serta bimbingan yang diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri.
Yogjakarta, November 2016

Penyusun


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kita tahu bahwa hukum islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah hukum islam mencermikan konsep yang berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat, dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut permasalahan duniawi saja. Sedangkan hukum islam adalah perintah Allah SWT yang mengatur kehidupan umat Islam dalam aspek peribadahan, ritual, politik maupun hukum.

Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yakni Al Qur’an dan Hadist atau Assunah, namun seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah yang belum dapat dipecahkan dalam Al Qur’an dan Hadits, maka dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut terdapat ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga yang berfungsi untuk menetapkan hukum. Namun demikian tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al Qur’an dan Hadist.

Makalah ini mencakup pengertian ijtihad dan permasalahan mengenai proses pembuahan sel telur, dimana sel telur dibuahi di luar tubuh wanita, yang disebut sebagai bayi tabung. Maka makalah ini dibuat guna mengetahui pengertian, proses dan hukum Islam yang mengatur tentang praktek bayi tabung.


B. Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad dan fungsinya?
  2. Apa yang dimaksud dengan bayi tabung?
  3. Bagaimana proses bayi tabung itu?
  4. Bagaimana hukum Islam yang mengatur tentang bayi tabung itu?


C. Tujuan

  1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad dan fungsinya.
  2. Untuk mengetahui pengertian bayi tabung.
  3. Untuk mengetahui proses bayi tabung Untuk mengetahui hukum Islam yang mengatur tentang bayi tabung.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Secara bahasa ijtihad berasal dari kata (ijtihada-yajtahidu), yang berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran. Ijtihad hanya digunakan terhadap hal-hal yang mengandung kesulitan. Yang dimana kesulitan itu tidak terdapat pada Al Qur’an dan Assunah.

Menurut istilah, ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Qur’an maupun Hadis dengan syarat menggunakan akal sehat atau logika dan pertimbangan yang matang[1].

Menurut Imam Al Ghazali, ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh seorang faqih (mujtahid) dalam rangka menghasilkan hukum syara’[2]. Sedangkan menurut Wahbah Zuhaily mengemukakan bahwa ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syara’[3]. Dan Abdul Wahab Khalaf mengartikan ijtihad adalah pengerahan kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil yang terinci yang bersumber dari dalil syara’[4].

Dengan demikian dinamakan ijtihad jika memenuhi tiga unsur, yaitu: usaha yang sungguh-sungguh, menemukan atau mengistimbathkan hukum islam, dan menggunakan dalil-dalil yang rinci.

Pertama, tidak dinamakan ijtihad jika usaha yang dilakukan tidak sungguh-sungguh. Kesungguhan ini menunjukan perlunya kualifikasi atau kemampuan bagi mereka yang ingin melakukan ijtihad. Persyaratan ini sekaligus membatasi pelaksanaan ijtihad, yaitu hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang berhubungan dengan masalah yang diijtihadi. Kemampuan inilah yang kemudian diterjemahkan oleh para ulama’ dalam persyaratan menjadi mujtahid.

Kedua, tujuan dan fungsi ijtihad adalah untuk menemukan atau merumuskan ketetapan hukum islam, yang belum ada kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Konsekuensinya, tidak perlu berijtihad untuk hal-hal yang sudah pasti ketetapan hukumnya di dalam sumber hukum islam. Dari unsur inilah para ulama merumuskan permasalahan yang menjadi lapangan ijtihad. Demikian juga tidak dinamakan ijtihad jika yang dicari ketetapan hukumnya tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum islam.

Ketiga, menggunakan dalil-dalil yang rinci, yaitu dalil yang bersumber dari nash al-Qur’an dan Hadis. Istilah dalil rinci juga mengandung pengertian penggunaan metode ijtihad yang jelas. Metode ijtihad inilah yang akan menghubungkan ketetapan hukum yang dihasilkan dengan nash al-Qur’an dan Hadis yang menjadi dasar hukumnya. Oleh karena itu penguasaan terhadap metode istimbath hukum menjadi sangat penting dalam pelaksanaan ijtihad.

Ketiga unsur di atas merupakan satu kesatuan, sehingga jika salah satunya tidak ada atau tidak terpenuhi, maka usaha tersebut tidak dapat disebut sebagai ijtihad.
[1] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ijtihad.
[2] Al-Ghazali, Al Mustasyfa, Jilid II, hlm. 362.
[3] Qurays Shihab, dkk. Ushul Fiqh: Qaidah-Qaidah Istimbath dan Ijtihad(Jakarta : CV. Rofindo, 1986), hlm. 111. 
[4] Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 216.


B. Pengertian Bayi Tabung

Bayi tabung atau pembuahan in vitro yang dalam bahasa inggris, in vitro fertilization, adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi oleh sperma di luar tubuh wanita. Bayi tabung adalah salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil. Teknologi ini dirintis oleh P.C Steptoe dan R.G Edwards pada tahun 1977.


C. Proses Bayi Tabung

Proses bayi tabung tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Proses ini diawali dengan konsultasi dan seleksi pasien, di mana baik suami atau istri akan diperiksa sampai ada indikasi untuk mengikuti program bayi tabung. Jika memang diindikasikan, baru bisa masuk dan mengikuti program bayi tabung.

Selanjutnya adalah melakukan stimulasi atau merangsang indung telur untuk memastikan banyaknya sel telur. Secara alami sel telur memang hanya ada satu, namun dalam program bayi tabung, perlu lebih dari satu sel telur untuk memperoleh embrio.

Proses yang ketiga adalah pemantauan pertembuhan folikel atau cairan berisi sel telur di dalam indung telur melalui ultrasonografi. Pemantauan pertumbuhan folikel ini bertujuan untuk melihat apakah sel telur sudah cukup matang untuk dipanen atau belum. Baru kemudian mematangkan sel telur, dengan cara menyuntikkan obat agar siap dipanen.

Proses selanjutnya adalah melakukan pengambilan sel telur untuk kemudian di proses di laboratium. Pada hari yang sama, akan dilakukan pengambilan sperma suami. Pengambilan dilakukan dengan cara bermasturbasi. Namun bila ditemukan kendala, maka akan dilakukan operasi pengambilan sperma melalui buah zakar.

Setelah proses diatas selesai, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pembuahan atau fertilisasi di dalam media kultur di laboratium, sehingga menghasilkan embrio. Baru setelah embrio terbentuk, akan dilakukan proses transfer embrio kembali ke dalam rahim agar terjadi kehamilan. Jika ada sisa embrio lebih, maka akan disimpan untuk proses kehamilan berikutnya.

Baru kemudian proses bayi tabung memasuki fase luteal untuk mempertahankan dinding rahim dengan memberikan Progesterone. Biasanya dokter akan memberi obat selama 15 hari pertama untuk mempertahankan dinding rahim ibu agar terjadi kehamilan.

Proses terakhir adalah melakukan pemeriksaan apakah terjadi kehamilan atau belum, baik dengan pemeriksaan darah maupun USG.


D. Hukum Tentang Bayi Tabung

Menurut Syaikh Yusuf Al Qaradawi, tokoh islam kontemporer, mengatakan apabila bayi tabung tersebut dalam prosesnya tidak menggunakan air mani dari suaminya sendiri merupakan kejahatan yang sangat buruk. Juga merupakan perbuatan yang lebih hebat daripada pengangkatan anak[5].

Alim Ulama di Lembaga riset pembahasan ilmiah, fatwa, dakwah, dan bimbingan Islam di Kerajaan Saudi Arabia juga telah mengeluarkan fatwa tentang bayi tabung. Mereka melarang praktek bayi tabung dengan alasan bahwa praktek tersebut dapat menyebabkan terbukanya aurat, tersentuhnya kemaluan, dan terjamahnya rahim. Meskipun mani yang disuntikkan itu adalah air mani suaminya. Dan juga mereka menyatakan bahwa hal yang seperti tidak memiliki keturunan atau mandul sudah diatur oleh Allah SWT dan menjadi takdir bagi suami-istri tersebut[6]. Seperti apa yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an surah Asy Syuro (42): 50, yang bunyinya sebagai berikut:

Yang artinya, “atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”

Majelis Tajrih Muhammadiyah memiliki dua ketetapan hukum mengenai bayi tabung. Yang pertama adalah memperbolehkan pasangan suami-istri yang sah melakukan praktek bayi tabung, tetapi tidak mutlak. Mereka memperbolehkan dengan alasan bahwa memiliki keturunan bagi setiap pasangan suami-istri merupakan tabi’at yang diberikan Allah SWT[7].

Dan ketika sudah menikah wajib bagi pasangan suami-istri tersebut untuk melakukan hubungan suami-istri. Hal ini ditulis dalam Al Qur’an surah Al Baqarah (2): 223, yang bunyinya sebagai berikut:

Yang artinya, “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”

Dan ketika sudah melakukan hubungan suami-istri tetapi belum diberikan adanya tanda-tanda diberikan keturunan dari Allah SWT, maka diperbolehkan berusaha dengan segala upaya agar mendapatkan keturunan dengan syarat tidak menentang syariat-syariat Islam. Hal ini diatur dalam Al Qur’an surah Ar Radu’ (13): 11, yang bunyinya sebagai berikut:

Yang artinya, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Majelis Tajrih Muhammadiyah memandang praktek bayi tabung tersebut haram apabila menitipkan janin pada wanita yang tidak sah atau bukan istrinya. Hal ini dikarenakan dapat menurukun harkat martabat wanita dan merusak tata hukum yang telah dibina oleh masyarakat[8].

Alasan lain tidak diperbolehkannya praktek bayi tabung adalah karena pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat belum pernah mengalami masalah yang seperti ini. Dan praktek bayi tabung sendiri membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga menimbulkan sifat boros pada manusia. Sedangkan Islam sendiri menolak sifat pemborosan, tidak sesuai dengan ajaran Nabi.

Majelis Tajrih Muhammadiyah berpendapat bahwa sebenarnya agama Islam adalah agama yang selalu menghargai perkembangan ilmu dan teknologi asalkan tidak menentang norma-norma Islam. Karena hukum Islam memiliki dua sifat pokok. Yaitu bersifat tetap, tidak dapat berubah dan sifat yang dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi.

Maka Majelis Tajrih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum menggunakan ijtihad dan istinbath. Berdasarkan Ijtihad jama’i yaitu dengan cara bermusyawarah bersama, Majelis Tajrih Muhammadiyah memperbolehkan (mubah) praktek bayi tabung tetapi tidak bersifat mutlak. Terdapat syarat-syarat dengan berikut:
  1. Teknik pengambilan sperma sesuai dengan syariat Islam.
  2. Penempatan zigote harus dilakukan oleh dokter perempuan.
  3. Resipien adalah istri sendiri.
  4. Status anak dari bayi tabung PLTSI-RRI (sperma dan ovum dari suami-istri yang sah. Resipien adalah istri sendiri yang mempunyai ovum tersebut) adalah anak sah dari pasangan suami-istri tersebut.

Jika terdapat masalah lain yaitu apabila sang rahim dari istri yang pertama tidak sesuai untuk pertumbuhan janin maka boleh disarangkan ke istri kedua, ketiga ataupun istri yang keempat. Hal ini diperbolehkan oleh Majelis Tajrih Muhammadiyah dengan syarat sebagai berikut:
  • 1. Sperma dan sel telur dari pasangan suami-istri yang sah.
  • 2. Dokter telah memeriksa istri, dan terdapat kendala pada permasalahan rahim yang tidak bisa dijadikan tempat untuk pertumbuhan janin.
  • 3. Istri yang akan dititipi itu juga secara alami tidak bisa hamil. Tetapi rahimnya memenuhi syarat untuk dijadikan tempat pertumbuhan janin.
  • 4. Adanya kesepakatan antara suami-istri dengan istri lain yang sah tentang pemeliharaan bayi tersebut setelah proses kelahiran.

Sedangkan menurut Majelis Ulama Indonesia bahwa memberikan janin kepada perempuan yang bukan pemiliki ovum itu sendiri hukumnya adalah haram, walaupun itu adalah istri lain yang sah dari suami tersebut. Seperti yang telah disampaikan dalam sidang atau rapat Komisi Fatwa terakhir pada tanggal 24 November 1990, MUI mengeluarkan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-952/MUI/XI/1990 tentang inseminasi atau bayi tabung. Memutuskan bahwa:
  • 1. Inseminasi buatan atau bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari pasangan suami-istri yang sah secara muhtaram, dibenarkan oleh Islam, selama mereka masih dalam ikatan suami-istri yang sah.
  • 2. Inseminasi buatan atau bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil secara muhtaram dari pasangan suami-istri untuk istri-istrinya yang lain hukumnya haram atau tidak dibenarkan oleh Islam.
  • 3. Inseminasi buatan atau bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari yang bukan suami-istri hukumnya haram.
  • 4. Segala sesuatu akan diubah dan disempurnakan manakala di kemudian hari terdapat kekeliruan pada penetapan ini[9]
[5] Mauli Dyna, Fertilisasi In Vitro (Bayi Tabung) Dalam Perspektif Majelis Tajrih Muhammadiyah, Skripsi(Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 64-65.
[6] Mauli Dyna, Fertilisasi In Vitro (Bayi Tabung) Dalam Perspektif Majelis Tajrih Muhammadiyah, Skripsi(Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 65.
[7] Mauli Dyna, Fertilisasi In Vitro (Bayi Tabung) Dalam Perspektif Majelis Tajrih Muhammadiyah, Skripsi(Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 74.
[8] Mauli Dyna, Fertilisasi In Vitro (Bayi Tabung) Dalam Perspektif Majelis Tajrih Muhammadiyah, Skripsi(Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 69-70.
[9] Salim HS, S.H.,M.S., Bayi Tabung, Tinjauan Aspek Hukum(Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hlmn. 149-150.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian secara singkat dari pembahasan terhadap masalah-masalah yang terdapat pada pokok pembahasan dan analisis terhadap permasalahan inseminasi atau bayi tabung ditinjau dengan aspek hukum Islam. Penulis dapat menyimpulkan bahwa berdasarkan hukum Islam mengenai praktek dari bayi tabung adalah sah apabila terdapat kesulitan bagi pasangan suami-istri yang sah dalam memiliki keturunan. Ketika proses pengambilan sperma dan ovum berdasarkan syariat Islam dan berasal dari pasangan sah suami-istri dan janin di masukkan keadalam rahim perempuan yang memiliki ovum tersebut. Apabila tidak berdasarkan cara tersebut, maka hukumnya adalah haram. Dikarenakan agama Islam menghargai kemajuan ilmu dan teknologi dengan alasan tidak menentang syariat dan norma Islam.


Daftar Pustaka

  • Dyna, Mauli. 2006. Fertilisasi In Vitro (Bayi Tabung) Dalam Perspektif Majelis Tajrih Muhammadiyah. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
  • Salim. 1993. Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
  • https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ijtihad.
  • https://id.m.tauhi.blogspot.co.id.
  • https://id.m.wikipedia.org/wiki/Fertilisasi_in_vitro.

Komentar