Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Faiq Tobroni
Fakultas Syari’ah dan HukumUIN Sunan Kalijaga YogyakartaJl. Marsda Adisucipto YogyakartaE-mail: faiqttobroni@gmail.com
Abstrak
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 74/PUU-XII/2014 meninggalkan harapan
yang belum terpenuhi, yakni rumusan standar konstitusional sebagai
pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan. Makalah ini
akan menjawab alasan mengapa MK menolak merumuskannya? dan bagaimana
standar konstitusional yang bisa dirumuskan? MK menolak permohonan
pemohon judicial review untuk menjadikan kehamilan di luar
perkawinan sebagai satu-satunya standar pemberian dispensasi umur
perkawinan. Penolakan ini mengisyaratkan MK menganggap bahwa hal itu
merupakan open legal policy; suatu saat bisa berubah sesuai
dengan kebutuhan dan konteks masyarakat. MK juga tidak menggunakan UUD
1945 untuk merumuskan rumusan standar konstitusional dispensasi
perkawinan karena hal itu harus ditempuh melalui legislative review. Sebagai tawaran dari penulis dalam legislative review, standar konstitusionalnya bisa dirumuskan melalui pendekatan hukum non sistematik dan pembacaan maqashid syari’ah.
Pertimbangannya harus memperhatikan perlindungan kepentingan agama
(Pasal 28E ayat (1) UUD 1945), kepentingan kepastian hukum bagi pelaku
(Pasal 28D ayat (1) UUD 1945), kebebasan kehendak dan keyakinan (Pasal
28E ayat (2)
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
UUD
1945), kepentingan kesejahteraan hidup (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945),
dan hak asasi yang dimiliki keturunan (Pasal 28B ayat (1) UUD 1945).
Kata Kunci: Standar Konstitusional, Dispensasi Perkawinan, Maqashid Syari’ah, Pendekatan Hukum non Sistematik.
Keywords: Constitutional Standard, Marital Exemption, Maqashid Syari’ah, Non- Systematic Legal Approach.
Kata Kunci: Standar Konstitusional, Dispensasi Perkawinan, Maqashid Syari’ah, Pendekatan Hukum non Sistematik.
The decision of Constitutional Court Number 74/PUU-XII/2014 leaves the unmet expectations, which is the standard for an exemption in marital age. The paper will provide the answer to the reason why the Court refused to set the standard? And how the Court should formulate it as the constitutional standards? The Court rejected the petitioner arguments in the judicial review case to make pre-marital pregnancy as the only standard to set an exemption of marital age. It suggests that the Court considers it is an “open legal policy”; where the policy may change according to the needs of society. The Court also did not use the Constitution to give the interpretation on the constitutional standard in marital exemption because it must be pursued by way of review by the parliament. The author offers, in term of legislative review, that the standards can be formulated through a non-systematic legal approach and the interpretation of maqashid syari’ah. The arguments should pay attention to the protection of religious interests (Article 28E (1) of the Constitution), the interests of legal certainty of the citizens (Article 28D (1) of the Constitution), free will and belief (Article 28E (2) of the Constitution), the welfare (Article 28H (1) of the Constitution), and the rights of descendants (Article 28B (1) of the 1945 Constitution).Abstract
Keywords: Constitutional Standard, Marital Exemption, Maqashid Syari’ah, Non- Systematic Legal Approach.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan pemberian dispensasi umur perkawinan (dispensasi perkawinan) menuai kontroversi. Di satu sisi, keberadaannya merupakan fasilitas negara untuk mengakomodasi kedaruratan perkawinan. Adanya dispensasi perkawinan menjadi jalan yang diberikan negara untuk melegalisasi perkawinan remaja, yang walaupun tidak memenuhi standar usia perkawinan, demi menghindari dosa agama. Di sisi lain, keberadaannya dituduh sebagai faslitas legalisasi pernikahan anak usia dini. Kelompok kontra yang tergabung dalam pemohon Judicial Review (JR) mempermasalahkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Dalam adu argumentasi selama persidangan JR, ditemukanHalaman 574
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Melalui Putusan No. 74/PUU-XII/2014, MK telah memutuskan untuk menolak petitum pemohon JR atas masalah dispensasi perkawinan. Penolakan MK tersebut membatalkan gagasan pemohon JR tentang kehamilan di luar perkawinan sebagai satu-satunya pertimbangan yang konstitutional dalam pemberian dispensasi perkawinan. Ditinjau dari norma agama, langkah MK bisa dikatakan sangat tepat untuk menolak gagasan kehamilan di luar perkawinan sebagai satu-satunya pertimbangan dalam pemberian dispensasi perkawinan. Melihat petitum para pemohon tersebut, muncul beberapa pertanyaan; mengapa memberikan dispensasi umur perkawinan saja menunggu remaja terjerumus ke lubang perzinaan atau telah menyebabkan kehamilan di luar nikah? Bukankah ini sama saja memberikan dispensasi perkawinan setelah remaja melakukan dosa agama? Mengapa dispensasi umur perkawinan tidak diberikan saja sebelum terjadinya kehamilan di luar nikah agar hasrat berhubungan seks di antara mereka tersalurkan tanpa melanggar perintah agama?
Dalam putusan atas penolakan JR tersebut, MK juga tidak menggunakan UUD 1945 untuk mencoba memberikan rumusan alternatif lain mengenai pertimbangan yang konstitusional dalam pemberian dispensasi perkawinan. Mengingat krusialnya posisi dispensasi perkawinan, sekaligus sebagai tindak lanjut atas putusan MK tersebut, penulis tergerak untuk mencoba berpartisipasi menawarkan formulasi pertimbangan yang konstitutif dalam pemberian dispensasi perkawinan dengan pembacaan harmonisi konstitusi dan agama. Penggunaan norma agama [(1)] dilatarbelakangi karena keberadaannya yang memang merupakan salah satu unsur pembentuk hukum nasional. Pembacaan ini juga berguna
[(1)] Penulis membatasi norma agama yang digunakan hanya dari hukum Islam.
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 575
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
sebagai referensi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses legislative review untuk
merumuskan standar yang konstitusional sebagai pertimbangan dalam
pemberian dispensasi umur perkawinan. Pembacaan harmonisasi
konstitusi-agama tersebut menggunakan strategi pembacaan maqashid
syari’ah. Kemudian, untuk merasionalisasi relevansi penggunaan maqashid syari’ah
dalam merumuskan standar yang konstitusional sebagai pertimbangan dalam
pemberian dispensasi umur perkawinan, penulis menggunakan strategi
pendekatan ilmu hukum non sistematik. Dalam operasionalisasinya,
pendekatan ilmu hukum satu ini menggunakan beberapa strategi pembacaan,
yakni teori chaos (chaos theory of law), pembacaan dekonstruktif dan intertekstualitas. [(2)]
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: pertama, mengapa MK menolak petitum pemohon JR mengenai standar dispensasi perkawinan dan menolak merumuskan standar konstitusional dispensasi perkawinan? Kedua, bagaimana pertimbangan konstitusional dispensasi perkawinan yang bisa dirumuskan melalui legislative review dengan pendekatan hukum non sistematik dan pembacaan maqashid syari’ah?C. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum normatif digunakan sebagai metode dalam penelitian ini karena akan memfokuskan bahasan pada norma hukum. bersifat preskriptif karena temuan dan analisisnya diarahkan untuk menyodorkan penilaian mengenai tawaran yang seharusnya akan dilakukan. Penelitian ini [(3)] Penelitian ini [(4)] dioperasionalkan dalam pendekatan kasus (case apporach). Artinya, penelitian ini akan mengkaji alasan hukum yang berupa pertimbangan hukum di balik putusan hakim [(5)], serta kemudian dianalisis oleh peneliti untuk menghasilkan penafsiran maupun teoritisasi hukum yang bisa digunakan sebagai acuan yang seharusnya untuk menyikapi putusan dan pertimbangan hakim tersebut. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa Putusan MK Nomor 74/PUU- XII/2014, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan turunan lain. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa[(2)] Anthon. F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik; Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, h. 9-14.[(3)] S. Soekanto dan S. Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2011, h. 13.[(4)] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, h. 69-70.[(5)] Ibid., h. 158-166.
Halaman 576
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian dan Argumentasi Penolakan MK
Sebenarnya terdapat dua gugatan judicial review terhadap UUP; tuntutan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2). Pasal 7 ayat (1) berbicara mengenai standar perkawinan. Pasal 7 ayat (2) berbicara mengenai dispensasi perkawinan. Pemohon JR memohon MK menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) UUP sepanjang frasa “enam belas tahun” UUP tersebut bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “delapan belas tahun”, sehingga Pasal 7 ayat (1) UUP seharusnya dibaca menjadi “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 18 (delapan belas) tahun [(6)]. Kemudian, pemohon juga memohon MK menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) sepanjang kata “penyimpangan” UUP adalah bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “penyimpangan dengan alasan kehamilan di luar perkawinan”, dan Pasal 7 ayat (2) sepanjang frasa “pejabat lain” UUP adalah bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, sehingga selengkapnya Pasal 7 ayat (2) UUP seharusnya dibaca menjadi, “Dalam hal penyimpangan dengan alasan kehamilan di luar perkawinan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.” [(7)]Untuk memfokuskan pembahasan, tulisan ini terbatas pada masalah gugatan Pasal 7 Ayat (2) dan sekaligus menganalisis tawaran standar konstitusional sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan. Memberikan dispensasi (dispensatie) berarti melakukan pengecualian atas seorang subjek hukum dari aturan secara umum dalam rangka memenuhi sesuatu keadaan
[(6)] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014, h. 213.
[(7)] Ibid.
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 577
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Dalam konteks dispensasi umur perkawinan, menurut argumentasi JR, ketidakjelasan pertimbangan dalam pemberian dispensasi perkawinan telah menyebabkan legalisasi perkawinan anak di bawah umur dan bukan justru melakukan perlindungan terhadap hak anak. Alih-alih melakukan pembelaan terhadap kepentingan anak, dalam risalah gugatannya, pemohon JR menyatakan bahwa keberadaan dispensasi perkawinan menyimpan kontradiksi dengan beberapa norma yang terdapat dalam konstitusi. Akibat ketidakjelasan pertimbangan dalam dispensasi perkawinan, Pasal 7 ayat (2) UUP dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, prinsip persetujuan bebas dalam membentuk keluarga sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Ketidakjelasan pertimbangan dispensasi perkawinan dalam Pasal 7 ayat (2) UUP dianggap telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan lebih cenderung sering melegalisasi perkawinan anak di bawah umur. Bahkan dalam prakteknya, ketentuan inilah yang dijadikan sebagai landasan dan dasar hukum serta peluang untuk mengijinkan praktik perkawinan bagi perempuan yang berusia di bawah 16 tahun. [(9)] Ketidakjelasan pertimbangan dispensasi perkawinan dalam Pasal 7 ayat (2) juga bisa dikatakan melanggar prinsip persetujuan bebas untuk dapat melakukan perkawinan. Menurut pemohon JR, keberadaan ketentuan pembolehan dispensasi atau penyimpangan terhadap batas usia minimum akan memberangus prinsip persetujuan bebas dalam pernikahan. Pada dasarnya, hanyalah orang dewasa yang dapat melakukan perkawinan berdasarkan prinsip persetujuan bebas. Pasal 7 ayat (2) UUP telah mengesampingkan prinsip persetujuan bebas anak untuk melangsungkan perkawinan. Pengesampingan tersebut bisa dilihat dengan bukti bahwa persetujuan untuk menikah tidak datang dari calon mempelai sendiri. Persetujuan justru ditetapkan oleh pihak di luar mempelai seperti orang tua, wali, pejabat lain atau Pengadilan.
[(8)] Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992. h. 102.
[(9)] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014, h. 12, 45, 103, 106, 168.
Halaman 578
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Sementara di sisi lain, peraturan terkait dengan UUP tersebut seperti KHI [(11)] dan PMA [(12)] juga tidak memberikan rumusan yang jelas mengenai ukuran pertimbangan dalam pemberian dispensasi perkawinan. Ujung-ujungnya, ketentuan terkait tersebut sepenuhnya menyerahkan keyakinan hakim atau pejabat lain untuk melakukan ijtihad hukum mengenai boleh atau tidaknya seorang calon mempelai untuk mendapatkan dispensasi perkawinan. Sebagaimana disampaikan dalam persidangan, bahwa pemohon JR merasa keberatan akan keberadaan persyaratan mendapatkan dispensasi perkawinan yang tidak mempunyai ukuran jelas dan akan menimbulkan multi tafsir. Akibatnya, kesan yang lebih kuat dari keberadaan dispensasi perkawinan adalah legalisasi perkawinan anak di bawah umur dan pengorbanan terhadap hak anak.
KHI sebagai turunan dari UUP tidak memperjelas kategori pertimbangan dalam pemberian dispensasi perkawinan. Satu-satunya indikator yang bisa digunakan untuk menjelaskan kategori tersebut adalah alasan pemberian dispensasi bertujuan “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga”. Pasal 15 ayat (1) KHI menyatakan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UUP yakni calon suami sekurang kurangnya
[(10)] Ibid.... h. 104-105.
[(11)] Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam.
[(12)] Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai-Pegawai Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melak- sanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam.
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 579
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Selanjutnya, Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai-Pegawai Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam sebagai pedoman pelaksanaan UUP bahkan sama sekali tidak menyinggung pertimbangan yang bisa dijadikan rujukan untuk memberikan dispensasi perkawinan. Pasal 13 PMA sebagai pasal yang mengatur mengenai mekanisme dispensasi sama sekali tidak memperinci keadaan yang bagaimanakah bisa dikatakan sebagai kemaslahatan. Pasal 13 PMA hanya memberikan ketentuan bahwa pertimbangan mengenai kelayakan suatu dispensasi perkawinan sepenuhnya diserahkan kepada keyakinan hakim. Pasal 13 ayat (3) menyatakan bahwa Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan, dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan. Saat ini, setelah Pengadilan Agama tidak berada di bawah Kementerian Agama karena menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung, belum ditemukan Peraturan Mahkamah Agung yang berguna untuk memperjelas keadaan yang bagaimanakah bisa dikatakan sebagai kemaslahatan bagi pemberian dispensasi perkawinan.
Dengan demikian, tidak pastinya batasan dalam hal-hal apa saja “penyimpangan” yang dimaksud diperbolehkan, hal ini menyebabkan penggunaan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan mengkibatkan pemberian izin menikah bagi anak dapat dimaknai secara sangat luas. Pembolehan pernikahan anak di bawah umur standar (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) dapat didefinisikan dengan beragam latar belakang. Kemaslahatan tersebut tidak saja dimaknai karena alasan calon mempelai wanita telah hamil, tetapi juga pada keterpaksaan karena terlilit hutang, kemiskinan, janji dinafkahi oleh calon suami,
Halaman 580
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Melalui Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014, MK menolak semua permohonan dari para pemohon JR. Menurut MK, persoalan mengenai norma batasan usia tidak hanya baru terjadi dengan masalah standar umur perkawinan. MK juga telah memutuskan terkait dengan norma yang mengatur batasan usia seperti pada vide Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 bertanggal 18 Oktober 2011, Putusan Nomor 37- 39/PUU-VIII/2010 bertanggal 15 Oktober 2010, dan Putusan Nomor 15/PUUV/2007 bertanggal 27 November 2007. Dalam semua putusan tersebut, secara konsisten, MK menyatakan bahwa batasan usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada [(14)].
Menurut MK, dalam perkara a quo, UUD 1945 tidak mengatur secara jelas perihal batasan usia seseorang disebut sebagai anak [(15)]. Ketika konstitusi tidak mengatur secara jelas, penentuan batasan usia perkawinan sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Apa pun pilihannya, pembentuk undang- undang bisa mengubah atau mempertahankan standar usia perkawinan yang ada. Apapun keputusan mereka tidak dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kalau masalah standar usia perkawinan saja merupakan open legal policy, keberadaan dispensasi umur perkawinan –yang saling berkaitan dengan standar usia perkawinan– tentunya bisa dianggap diperlakukan yang sama. Perubahan atau penetapan dispensasi umur perkawinan merupakan kebijakan hukum terbuka yang bisa dirubah suatu waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Terhadap permohonan para pemohon mengenai dispensasi perkawinan, MK berpendapat bahwa frasa “penyimpangan” a quo merupakan bentuk pengecualian
[(13)] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014, h. 105-106.
[(14)] Ibid.... h. 230.
[(15)] Ibid.
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 581
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Argumentasi yang dibangun MK di atas tidak menggunakan UUD 1945 untuk mencoba memperinci alternatif lain mengenai pertimbangan yang konstitutif dalam pemberian dispensasi perkawinan. Padahal, sebelumnya pemohon JR memohon kehamilan di luar perkawinan dijadikan sebagai satu-satunya penafsiran atas pertimbangan yang konstitutif dalam pemberian dispensasi perkawinan. Dengan kesan alasan bahwa rincian pertimbangan dispensasi perkawinan tersebut merupakan open legal policy, MK memang sengaja tidak mencoba memperinci keadaan darurat yang memperbolehkan pemberian dispensasi perkawinan. Putusan MK ini hanya untuk mempertegas bahwa dispensasi umur perkawinan masihlah merupakan ketentuan hukum yang konstitusional. Keberadaan putusan MK ini sekaligus masih meninggalkan tanda tanya mengenai rincian keadaan darurat dan pertimbangan perlindungan kepentingan apakah yang memperbolehkan pemberian dispensasi perkawinan. Pihak-pihak terkait dengan keberadaan dispensasi perkawinan dipersilahkan untuk berijtihad sendiri mengenai rincian keadaan darurat dan pertimbangan perlindungan kepentingan apakah yang memperbolehkan pemberian dispensasi perkawinan. Konstitusionalisasi pertimbangan dispensasi perkawinan menjadi tugas pihak-pihak terkait dalam perbaikan ketentuan dispensasi perkawinan yang terlibat dalam proses legislative review.
B. Tawaran Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Sebagaimana telah diuraikan di atas, MK menolak petitum pemohon untuk menjadikan kehamilan di luar perkawinan sebagai satu-satunya pertimbangan dalam pemberian dispensasi perkawinan. Namun, MK juga tidak menggunakan pasal dalam UUD 1945 untuk menjelaskan pertimbangan yang konstitusional untuk memberikan dispensasi perkawinan karena rumusannya merupakan open[(16)] Ibid.... h. 232.
Halaman 582
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
1. Pendekatan Hukum Non Sistematik
Keberadaan pendekatan ilmu hukum non-sistematik sengaja ditawarkan untuk menutupi kekurangan positivisme hukum. Beberapa pembacaan pembantu untuk mengoperasionalkan pendekatan tersebut adalah teori chaos (chaos theroy of law) dari Charles Sampford, dekonstruksi dari Jacques Derrida, dan pembacaan intertekstualitas [(18)]. Charles Sampford menggunakan chaos theory of law sekaligus sebagai kritik terhadap teori- teori hukum yang dianggap telah mapan dengan konsep sistem (sistemik) atau keteraturan. Teori ini menolak ide positivisme hukum yang menyatakan bahwa keteraturan hanya bisa dicapai dengan keteraturan. Pembangunan hukum tidak selamanya harus selalu menggunakan teori keteraturan hukum. Karena pada dasarnya hubungan dalam masyarakat menunjukkan adanya hubungan yang tidak teratur (asymmetries), maka pembangunan hukum juga terkadang membutuhkan suatu yang tidak teratur. Sampford menyatakan bahwa hukum sebagai bagian integral dan terlahir dari masyarakat tersebut tidak bisa melepaskan diri dari kondisi asimetris. [(19)]Apabila dilihat dari kacamata penganut positivisme hukum, chaos theory of law sampai saat ini masih sering dicurigai sebagai pandangan yang mengandung kesalahan. Mereka sering mencurigai bahwa teori chaos hanya menghasilkan ketidakteraturan hukum belaka; asumsinya sesuatu yang kacau (chaos) dianggap mustahil menghasilkan keteraturan.
[(17)] Anthon. F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik..., Op. Cit., h. 238.
[(18)] Ibid.... h. 90-143. Bandingkan dengan Faiq Tobroni, “Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami,” Jurnal Yudisial, Volume 9, Nomor 3, Desember 2016, h.281-301.
[(19)] C. Sampford, The Disorder of Law, A Critique of legal Theory, UK: Blackwell, 1989, h. 103.
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 583
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Selanjutnya Sudjito melihat bahwa penerapan chaos theory of law mempunyai dua kategori, yakni destruktif dan konstruktif [(21)]. Chaos destruktif (the negative chaos) bisa dipahami sebagai kategori chaos yang berimplikasi kepada kondisi yang menyesatkan, menghancurkan dan menyengsarakan. Chaos destruktif akan menimbulkan kondisi abnormal, ketika pelaku hukum sengaja mereduksi keutuhan realitas hukum. Menurut Sudjito, keutuhan hukum berdasarkan pendekatannya terbentuk melalui keutuhan akal-qalbu, berdasarkan ruang-lingkupnya terbentuk melalui keutuhan jasmani-rohani, dan berdasarkan objek kajiannya terbentuk melalui keutuhan manusia-alam maupun keutuhan manusia-Tuhan. Pereduksian seperti ini telah membonsai hukum –dalam keutuhannya sebagai tatanan kehidupan (order)– menjadi konsep hukum yang sempit dan berorientasi hanya untuk memperjuangkan kepentingan yang sempit pula. Dalam hal ini, Sudjito mencontohkan praktik pereduksian seperti ini bisa dilihat ketika hukum dibatasi hanya sebagai hukum positif saja, atau pun ketika penegak hukum dibatasi hanya terdiri dari aparat penegak hukum saja, dan sebagainya. Untuk menyelesaikan atau mengantisipasi kemungkinan pereduksian hukum ini, penegakan atau pembangunan hukum harus diimbangi dengan dengan aspek qalbu dan kecerdasan emosional (Emotional Quotient- EQ), serta kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient - SQ). [(22)]
[(20)] Sudjito, “Chaos Theory of Law: Penjelasan Atas Keteraturan dan Ketidakteraturan dalam Hukum”. Mimbar Hukum-Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, h. 165.
[(21)] Ibid.... h. 165-166.
[(22)] Ibid.
Halaman 584
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Untuk menjawab kekurangan chaos destruktif tersebut, Sudjito menawarkan kategori chaos konstruktif yang mengarahkan pembangunan hukum menuju ke arah sistem hukum yang utuh. Bagi Sudjito, keutuhan tersebut ditopang melalui hal-hal yang religius transendental. Transendentalitas tersebut menempatkan keutuhan antara qalbu-akal, rohani-jasmani, alam- manusia, dan Tuhan-manusia. [(23)] Chaos theory of law digunakan dalam konteks memberikan chaos kontruktif ini. Dalam perkara penggunaan MK terhadap norma agama –selain pertimbangan open legal policy– sebagai pertimbangan memutuskan permohonan JR mengenai standar umur perkawinan dan dispensasi perkawinan, penggunaan tersebut bisa dibaca sebagai penerapan chaos konstruktif. Memang apabila dilihat oleh pemohon JR, hal itu sangat merugikan karena menghasilkan keputusan yang bertolak belakang dengan permohonannnya. Tetapi apabila dilihat dengan pembacaan chaos konstruktif, penggunaan norma agama tersebut merupakan bagian dari harmonisasi konstitusi-agama karena memang norma agama merupakan salah satu unsur pembentuk hukum nasional.
Selanjutnya, pendekatan ilmu hukum non sistematik menggunakan strategi pembacaan dekonstruktif. Istilah dekonstruktif adalah kata sifat dari dekonstruksi. Mengenai pengertian dari istilah dekonstruksi, Derrida tidak memberikan definisi yang jelas. Tetapi berdasarkan penggunaan kata dekonstruksi yang berkali-kali dalam bukunya berjudul Margins of Philosophy, konsep dekonstruksi bisa dimaknai sebagai sebuah metode pembacaan teks yang menolak kebiasaan pembacaan teks selama ini yang selalu menghadirkan anggapan yang dianggap sudah absolut atau final. Padahal, setiap anggapan
[(23)] Ibid.
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 585
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Dalam kajian ini, pengertian teks tidak hanya terbatas tulisan biasa, tetapi produk hukum juga bisa dianggap sebagai teks. Dalam perkara JR atas dispensasi perkawinan dalam Pasal 7 ayat (2) UUP, yang mana pemohon JR memohon kehamilan di luar perkawinan sebagai satu-satunya pertimbangan dalam dispensasi perkawinan, hasil pembacaan pemohon JR yang seperti itu merupakan bentuk pemaknaan yang tidak menyejarah; pemaknaan yang ditolak dalam pembacaan dekonstruktif. Kalau pemohon memaksakan diri bahwa argumentasinya paling benar, maka pemohon telah terjebak dalam logosentrisme; sikap yang dikritik oleh Derrida melalui dekonstruksi. Begitupula dalam memandang pendapat kelompok yang setuju kepada dispensasi perkawinan, persetujuan tersebut juga tidak berlaku selamanya. Pemberlakuan dispensasi perkawinan harus dilaksanakan secara kontekstual dengan pertimbangan yang menyejarah. Oleh sebab itu, melalui pembacaan dekonstruktif, keberadaan dispensasi perkawinan bisa saja benar tetapi bisa saja salah. Tulisan ini hanya ingin memperkuat argumentasi untuk tidak menutup mutlak keberadaan dispensasi perkawinan. Dispensasi perkawinan wajib diberikan kepada calon mempelai pengantin yang memang pantas. Sebaliknya, dispensasi perkawinan dilarang diberikan kepada calon pengantin yang tidak pantas. Karena MK sengaja tidak menggunakan UUD 1945 untuk
[(24)] J. Derrida, Margins of Philosophy, Traslated with Additional Notes by Alan Bass, Chicago: University of Chicago, 1982, h. 278.
Halaman 586
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Intertekstualitas secara sederhana bisa dimaknai sebagai strategi pembacaan satu teks dengan menyandingkannya di tengah teks-teks lain. Pandangan intertekstualitas diperuntukkan untuk membangun konsep bahwa sebuah teks tidak bisa berdiri sendiri. Kemanfaatannya bisa beroperasi ketika disandingkan dengan teks-teks lain. Jika dilihat lebih lanjut dengan kerangka keseluruhan, sebuah teks bisa dijadikan sebagai jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan dan sebagainya terhadap sebuah teks lain. Proses seperti itu bisa diserupakan sebagai proses tenunan yang bertujuan untuk membentuk sebuah teks baru yang lebih kokoh. Setiap arti ditenunkan ke dalam suatu pola arti lain [(25)]. Selanjutnya, strategi pembacaan melalui intertekstualitas dan penenunan makna tersebut untuk menghasilkan makna yang tidak terkatakan [(26)]. Dalam kegiatan penenunan, hasilnya adalah menciptakan bentuk model kain yang berbeda dengan bahan baku. Begitupula dalam penenunan makna teks, hasilnya adalah konstruksi teks baru. Salah satu strategi penemuan makna tidak terkatakan ini adalah melakukan interpretasi suatu teks dengan bantuan teks lain. Intertekstualitas dalam studi hukum berguna untuk memberikan solusi atas kesalingtergantungan satu produk hukum positif dengan produk hukum positif lain maupun di luar hukum positif tersebut. Sebagai contoh, UUD 1945 maupun UUP sebagai salah satu entitas teks hukum positif bukanlah sebuah fenomena yang berdiri sendiri dan bersifat otonom; dalam pengertian teks tersebut tidak membutuhkan teks yang lain. Di dalam ruang teks tersebut, terdapat beranekaragam ungkapan- ungakapan yang diambil dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir satu sama lain [(27)]. Maksud dari pendapat ini adalah ternyata materi yang terdapat dalam UUD 1945 dan UUP merupakan gabungan dari beberapa ungkapan-ungakapan yang diambil dari teks-teks lain (seperti dari agama dan adat). Gabungan teks tersebut saling silang menyilang dan saling menetralisir satu sama lain. Dengan demikian, upaya merumuskan standar konstitusional dalam pemberian dispensasi perkawinan dengan pertimbangan
[(25)] D. Hartoko dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, Yogyakarta: Kanisius, 1986, h. 67.
[(26)] Anthon. F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik..., Op. Cit., h. 273.
[(27)] Ibid.... h. 202.
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 587
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
2. Pembacaan Maqashid Syari’ah
Berdasarkan pembacaan dengan teori chaos konstruktif, harmonisasi hukum positif bersama dengan entitas moral dan norma agama merupakan gagasan untuk mewujudkan keutuhan realitas hukum. Sekarang, gagasan tersebut bisa direalisasikan dalam membangun standar konstitusional sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan. Ketika merupakan open legal policy, standar konstitusional dispensasi perkawinan tidak serta merta bisa hanya ditafsirkan dari keberadaan UUD 1945. Salah satu yang bisa digunakan untuk melihat senafas atau tidaknya keberadaan dispensasi perkawinan dengan Konstitusi adalah menggunakan norma agama. Dengan penggunaan norma agama, kemudian muncul pertanyaan lalu bagaimanakah posisi UUD 1945 sebagai konstitusi? Apakah kalau menggunakan agama maka menunjukkan bahwa norma agama berada di atas UUD 1945? Sementara di sisi lain padahal konstitusi menempati norma puncak? Di sinilah konsep mengenai keteraturan hierarki hukum mendapat ujian untuk menjelaskan hubungan norma agama dengan UUD 1945. Untuk menjelaskan hubungannya, teori chaos bisa digunakan; bahwa sebenarnya hubungan antara keduanya adalah bersifat cair. Tidak saling membawahi, tetapi selalu saling mengisi.Pembacaan hubungan agama dan konstitusi dengan teori chaos tersebut juga relevan dengan pembacaan dekonstruksi. Pembacaan dekonstruksi dalam hukum menampilkan penolakan terhadap konsep logosentrisme atau dalam pengertian mendaulat suatu makna sebagai kebenaran satu-satunya. Maksud menggunakan konsep logosentrisme adalah memandang kehamilan di luar perkawinan menjadi satu-satunya persyaratan pemberian dispensasi perkawinan sebagai makna yang dianggap paling benar sesuai UUD 1945. Keinginan untuk membangun konstitusionalisasi pertimbangan dispensasi perkawinan membutuhkan anyaman dari berbagai teks. Ibarat seseorang yang menganyam tikar yang membutuhkan benang dan daun pandan, penganyaman kontekstualitas dispensasi perkawinan membutuhkan bahan anyaman dari norma hukum yang terdiri dari materi tertulis yang ada dalam UUD 1945 dan norma agama yang berserakan di berbagai sumber hukum agama. Dalam
Halaman 588
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Dalam hal penggunaan norma agama untuk membangun konstitusionalisasi pertimbangan dispensasi perkawinan, penulis akan menggunakan konsep maslahah mursalah. Secara bahasa, istilah maslahah berasal dari kata salahu, yasluhu, salahan; bermakna sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat. [(28)] Sedangkan pengertian secara terminologi, para ulama mempunyai beberapa pendapat. Al-Ghazali, seorang ahli hukum (fuqaha’) sekaligus filosof Islam dan sufi, mendefinisikan maslahah adalah sesuatu yang mendatangkan keuntungan atau manfaat dan menjauhkan dari kerusakan (madharat). Pada hakekatnya, maslahah merupakan tujuan diberlakukannya hukum. Jadi, setiap hukum selalu berusaha menghadirkan maslahah bagi pelakunya (mukallaf). Di antara tujuan pemberlakukan hukum syara’ adalah untuk melindungi kepentingan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. [(29)] Seiring perkembangan kajian hukum Islam, kelima tujuan perlindungan tersebut lebih dikenal dengan maqashid syari’ah. Ulama’ lain seperti Ahmad Al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut mendefinisikan maslahah adalah segala sesuatu yang mengandung kebaikan serta manfaat bagi individu maupun sekelompok manusia dengan menghindarkan dari segala mafsadat. [(30)]
Selanjutnya, istilah mursalah secara bahasa berarti terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama (al-Qur’an dan hadits). Yang dimaksud dengan “terlepas” di sini adalah ketiadaan dalil dalam al-Qur’an dan hadits yang membolehkan atau yang melarang sesuatu yang dianggap mursalah [(31)]. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan maslahah mursalah sebagai suatu bentuk maslahah yang mana syari’ (pembuat hukum) tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan maslahah tersebut. Singkatnya, tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalan maslahah tersebut. [(32)]
[(28)] Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973, h. 219.
[(29)] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2 Cet. ke-5, Jakarta: Kencana, 2009, h. 345-346.
[(30)] Ahmad Al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Al-Ijtihad, Al-Nash, Al-Waqi’i, Al-Maslahah, Terj. Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdzar, “Ijtihad Antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial”, Jakarta: Erlangga, 2000. h. 19.
[(31)] Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, Semarang: Bulan Bintang, 1955, h. 43.
[(32)] Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, “Kaidah- kaidah Hukum Islam”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 589
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Dispensasi umur perkawinan merupakan perkara maslahah mursalah. Dalil agama, baik dari al-Qur’an dan hadits, tidak menunjuk mengenai keberadaan dispensasi umur perkawinan. Konsep dispensasi perkawinan terjadi akibat adanya standar umur perkawinan. Sementara, norma agama seperti hukum Islam tidak mengenal mengenai standar umur perkawinan. Hukum Islam hanya mempersyaratkan kondisi baligh sebagai persyaratan untuk melangsungkan perkawinan. Konsep baligh sendiri merujuk kemampuan atau kedewasaan yang telah ada pada seseorang tanpa melihat kuantitas umur, tetapi lebih melihat kepada kecakapan mental. Di sisi lain, sebagai salah satu peraturan hukum positif yang juga berlaku bagi orang Islam Indonesia, UUP mempersyaratkan kuantitas umur sebagai persyaratan bagi calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Keberadaan standar usia perkawinan –yang tidak bisa terpisahkan dari dispensasi umur perkawinan– juga sejatinya didasarkan pada metode maslahat mursalah, karena pada dasarnya tidak terdapat satupun dalil agama yang secara eksplisit mengakui atau menolaknya.
Dengan melihat ketentuan batasan umur perkawinan bersamaan dengan keberadaan dispensasi umur perkawinan ini bersifat ijtihady (kebenarannya relatif), maka ketentuan tersebut tidak bersifat kaku, [(34)] artinya ketentuan UUP tentang batas usia perkawinan bisa saja dikesampingkan sementara dengan tujuan untuk mengakomodasi peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di masyarakat. Pada pasal lain, meskipun UUP telah mengatur batasan usia minimal untuk melangsungkan perkawinan, para pihak yang berkepentingan tetap memeliki peluang untuk mengajukan dispensasi. Pasal mengenai dispensasi perkawinan tersebut berguna memberi jalan solusi atas pelanggaran administratif batas usia perkawinan sekaligus menyediakan pihak berwenang
2002, h. 123.
[(33)] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, et al., “Ushul Fiqih”, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, h. 424.
[(34)] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013, h. 60.
Halaman 590
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Selanjutnya, sebagai upaya menawarkan formulasi konstitusionalisasi pertimbangan dispensasi perkawinan, penulis mencoba untuk menggunakan pembacaan maqashid syari’ah. Embrio teori maqashid syari’ah dirintis Umar bin Khatab dan disempurnakan Al-Syathibi. [(36)] Teori ini bertujuan menghasilkan hukum syari’ah yang mendatangkan mashlahat dan mencegah mafsadat, baik bersifat dhahir (jelas) maupun sirr (tersembunyi) dan baik terukur maupun belum terukur. [(37)] Sebagai salah satu teori metode ijtihad hukum Islam untuk menerapkan konsep maslahah mursalah, maqashid syari’ah sudah sangat terkenal dalam kajian hukum Islam. Menurut penulis, lima tujuan hukum tersebut bisa dimaknai sebagai standar minimal. Setiap mujtahid bisa saja menetapkan suatu hukum dengan menambah tujuan hukum lain apabila memang keberadaannya memungkinkan dan dengan catatan bahwa tujuan hukum tersebut tidak bertentangan dengan dalil agama. Seorang mujtahid juga bisa saja menetapkan suatu hukum walaupun belum bisa mengungkap semua dari lima tujuan hukum tersebut dan dengan catatan bahwa sebagian tujuan hukum yang berhasil diungkap tersebut memang telah cukup bagi kehidupan mukallaf (orang yang dikenai pembebanan hukum). Dalam pembacaan mengenai konstitusionalitas pertimbangan dispensasi umur perkawinan ini, penulis menemukan lima tujuan hukum yang akan terlindungi dengan legalisasi (tasyri’) dispensasi umur perkawinan. Pertimbangan dalam pemberian dispensasi perkawinan bisa merujuk kepada lima target perlindungan dalam maqashid syari’ah sebagai berikut:
a. Perlindungan terhadap agama
Pemberian dispensasi umur perkawinan harus diberikan kepada calon pengantin perempuan yang telah hamil. Keberadaan perempuan hamil sebelum menikah tidak hanya tabu secara agama karena telah melakukan perzinaan, tradisi budaya adat istiadat di Indonesia juga masih belum bisa menerima apabila ada seorang perempuan hamil dan tidak mempunyai suami. Tidak sedikit orang tua bahkan keluarga besar[(35)] Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, h. 443.
[(36)] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermeneutika, Yogyakarta: Nawesea Press, 2007, h. 44.
[(37)] Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul Asy-Syari’ah, Libanon: Dar al Kutub al-Ilmiyyah, 2005, Juz I, h. 196.
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 591
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Dispensasi umur perkawinan juga patut diberikan kepada calon mempelai pengantian pria maupun wanita yang telah erat hubungannya dan dikhawatirkan melanggar norma agama. Kondisi seperti ini merupakan kenyataan yang sudah sangat umum bisa ditemukan di kalangan remaja dewasa ini. Dengan rangsangan berbagai tayangan dari televisi maupun internet, kecenderungan pacaran antara remaja pria dan wanita tidak bisa dibendung lagi. Perilaku anak berpacaran tentu akan membuat orang tua khawatir bila kebablasan dan terjerumus pada perzinahan. Perkawinan itu wajib apabila seseorang itu dikhawatirkan terjerumus pada perbuatan keji atau zina, karena memelihara jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram adalah wajib. Dengan demikian, perkawinan merupakan kebutuhan yang niscaya sebagai wasilah atau sarana pemeliharaan diri dari maksiat dan hukumnya wajib.
Dispensasi umur perkawinan juga patut diberikan kepada calon mempelai pengantian pria maupun wanita yang tidak mempunyai halangan untuk menikah (mawani` nikah). Hukum agama seperti hukum Islam melarang perkawinan dalam dua kategori; perkawinan karena satu hubungan nasab dan perkawinan karena sebab yang lain. Hubungan nasab tersebut berlaku selamanya, dan keberadaannya mengikat bagi nasab biologis maupun nasab karena sesusuan. Kelompok pertama yang tidak bisa dinikahi adalah ibu termasuk nenek, anak-anak perempuan termasuk
Halaman 592
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
b. Perlindungan terhadap jiwa
Dispensasi umur perkawinan juga patut diberikan kepada calon mempelai pengantin pria maupun wanita yang mana kehendak untuk berumah-tangga dengan segala konsekuensinya merupakan pilihan mereka sendiri. Aspek perlindungan terhadap jiwa sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan terlihat dengan pemenuhan atas kebebasan diri pribadi untuk melangsungkan pernikahan tanpa harus terkendala standar kuantitas umur pelaku. Asas kebebasan pribadi tersebut mendapat legitimasinya melalui Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai.c. Perlindungan terhadap akal
Dispensasi umur perkawinan juga patut diberikan kepada calon mempelai pengantin pria maupun wanita yang telah siap lahir batin atau fisik serta psikis untuk melangsungkan perkawinan. Salah satu syarat perkawinan menurut hukum Islam adalah calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan sudah aqil baligh, sehat rohani dan jasmani. Sedangkan menurut salah satu asas pekawinan dalam UUP, yang dimaksud dengan asas kedewasaan calon mempelai adalah setiap calon mempelai yang hendak menikah harus benar-benar matang secara fisik maupun psikis. Aspek perlindungan terhadap akal sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan adalah penetapan aqil baligh[(38)] M. J. Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja‘fari, Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hambali (Gold Edition), Jakarta: Penerbit Lentera, 2015, h. 354-358.
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 593
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
d. Perlindungan terhadap harta
Aspek perlindungan terhadap harta sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan bisa dimaknai sebagai jaminan akan keterpenuhan kebutuhan ekonomi pasangan calon pengantin. Dispensasi umur perkawinan juga patut diberikan kepada calon mempelai pengantin pria maupun wanita yang telah berpenghasilan cukup dan disetujui oleh orang tua. Seorang anak yang belum mencapai umur 19 tahun (bagi laki-laki) dan 16 tahun (bagi perempuan) terkadang telah mempunyai usaha ekonomi produktif dan mempunyai penghasilan cukup. Jika kedua mempelai yang belum cukup umur menurut UUP ini meminta kawin, maka hakim bisa saja mengabulkan permintaannya dengan pertimbangan telah mampu menghidupi dirinya sendiri. Sementara itu, bagi calon mempelai yang belum bisa sepenuhnya mandiri, orang tua harus menyatakan akan ikut membantu secara moril dan materiil. Kondisi ekonomi orang tua yang lebih dari cukup dan strata sosial keluarga orang tua yang cukup terpandang terkadang menjadi pertimbangan untuk segera mengawinkan anaknya. Keinginan orang tua untuk segera mengawinkan anaknya biasanya tidak dapat ditolak oleh anaknya, karena orang tua akan menjamin semua kebutuhan hidup anak. Di beberapa daerah, orang tua justru merasa bangga kalau anak gadisnya telah ada yang melamar dan segera menikah. Dalam hal ini, bahkan orang tua akan memberikan segala fasilitas yang dibutuhkan oleh anaknya, apabila anak mau mengikuti[(39)] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2001, h. 96.
Halaman 594
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
e. Perlindungan terhadap keturunan
Dispensasi umur perkawinan juga patut diberikan kepada calon mempelai pengantin yang telah mengandung janin. Aspek perlindungan terhadap keturunan sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan bisa dimaknai sebagai perlindungan atas status hukum janin yang dikandung wanita hamil luar nikah. Meskipun sekarang ini pemerintah membuat kebijakan tentang kemungkinan anak luar nikah mendapatkan akta kelahiran dengan hubungan keperdataan hanya dengan ibu dan keluarga ibunya, dispensasi perkawinan bagi wanita hamil luar nikah akan semakin menjamin kepastian hukum akan hubungan keperdataan anak luar nikah dengan ayah dan keluarga ayahnya sekaligus.Hakim atau pejabat yang berwenang bisa menggunakan kelima aspek perlindungan tersebut dalam praktek pemberian dispensasi perkawinan. Apabila dilakukan pembacaan secara intertekstualitas dengan ketentuan dalam UUD 1945, lima tujuan perlindungan tersebut sebenarnya juga senafas dengan konstitusi. Pemenuhan atas perlindungan terhadap agama memiliki relevansi dengan pemenuhan hak setiap warga negara akan ajaran agamanya (Pasal 28E ayat (1) UUD 1945). Pemenuhan atas perlindungan terhadap jiwa memiliki relevansi dengan pemenuhan hak setiap warga negara akan pengakuan, kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945). Dalam hal ini, penulis mengambil perspektif berbeda dengan pemohon JR dalam memaknai Pasal 28D UUD 1945. Jika pemohon JR memaknai adanya dispensasi umur perkawinan melanggar kepastian hukum; penulis justru melihat dispensasi umur perkawinan justru menjamin pengakuan, kepastian hukum dan perlakuan yang sama bagi pemohon
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 595
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Pemenuhan atas perlindungan terhadap akal memiliki relevansi dengan pemenuhan hak setiap warga negara akan kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2) UUD 1945). Dalam hal ini, permohonan dispensasi umur perkawinan sudah sepatutnya dikabulkan apabila keinginan untuk menikah memang merupakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Kemudian, pemenuhan atas perlindungan terhadap harta memiliki relevansi dengan pemenuhan hak setiap warga negara akan kebebasan mendapatkan kehidupan sejahtera lahir dan batin (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945). Selanjutnya, pemenuhan atas perlindungan terhadap keturunan memiliki relevansi dengan pemenuhan hak setiap warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 28B ayat (1) UUD 1945).
Langkah MK memang tepat untuk tidak menerima kondisi kehamilan di luar perkawinan sebagai satu-satunya pertimbangan dalam perkawinan. Kalau petitum penohon JR tersebut dipenuhi, maka secara otomatis hanya perempuan yang bisa mengajukan dispensasi perkawinan. Frase “kehamilan” menunjukkan keadaan darurat hanya dialami oleh perempuan. Padahal, bisa jadi yang meminta dispensasi perkawinan adalah pria. Oleh sebab itu, penggunaan maqashid syari’ah bisa dijadikan pendekatan alternatif untuk merumuskan formulasi pertimbangan dalam dispensasi perkawinan. Terlihat dalam penggunaan maqashid syari’ah, sebagaimana uraian di atas, dispensasi perkawinan juga bisa diberikan kepada calon mempelai pria. Namun, dalam hal ini perlu ditegaskan, bahwa penerapan dispensasi perkawinan tidak selalu wajib karena sifatnya sangat kontekstual. Dispensasi perkawinan harus diberikan kepada pemohon yang memang pantas, tetapi dispensasi perkawinan dilarang diberikan kepada pemohon yang tidak memenuhi persyaratan.
Halaman 596
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Memang mengingat betapa sangat cairnya untuk menggali kemaslahatan sebagai pertimbangan pemberian dispensasi perkawinan, peran hakim atau pejabat terkait sangat strategis untuk memberikan putusan. Oleh sebab itu, memang sudah sepatutnya wewenang pemberi dispensasi perkawinan yang juga dimiliki pejabat lain tersebut harus ditinjau ulang. Memang rasanya terdapat keganjilan ketika mempertahankan frase “pejabat lain” dalam Pasal 7 ayat (2) UUP sebagai pemberi dispensasi perkawinan, mengingat sebenarnya frase serupa tidak ditemukan pada PMA No. 3/1975 yang menafsirkan kewenangan pemberian dispensasi umur perkawinan hanya berada pada pengadilan agama.
KESIMPULAN
Standar pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan merupakan ketentuan yang bersifat open legal policy, yang suatu saat bisa berubah sesuai dengan kebutuhan dan konteks masyarakat. Setelah menolak petitum pemohon JR supaya menjadikan kehamilan di luar perkawinan sebagai satu- satunya pertimbangan dalam pemberian dispensasi perkawinan, MK juga secara sengaja tidak menggunakan UUD 1945 untuk mencoba memperinci alternatif lain mengenai pertimbangan yang konstitusional dalam pemberian dispensasi perkawinan. Putusan MK ini hanya untuk mempertegas bahwa dispensasi umur perkawinan masih merupakan ketentuan hukum yang konstitusional. Perumusan mengenai standar pertimbangan dispensasi perkawinan diserahkan kepada proses legislative review. Oleh sebab itu, sangat penting sekali para pihak terkait dalam proses legislative review merumuskan standar yang konstitusional sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan.Untuk menawarkan ketentuan pertimbangan dalam dispensasi perkawinan, pendekatan hukum non sistematik menyediakan beberapa perangkat pembantu, yakni: teori chaos, pembacaan dekonstruktif dan intertektualitas. Pembacaan dengan chaos konstruktif menawarkan pemahaman bahwa harmonisasi konstitusi dan agama merupakan suatu keniscayaan dalam merumuskan standar yang konstitusional sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan. Selanjutnya, pembacaan dekonstruktif menawarkan pemahaman bahwa pertimbangan dalam pemberian dispensasi perkawinan memang tidak
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 597
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Sebagai tindak lanjut dari Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014, Pemerintah dan DPR seharusnya segera merespon kebutuhan penyusunan standar pertimbangan dalam pemberian dispensasi perkawinan. Penyusunan ini sangat penting mengingat ketiadannya dalam UUP maupun peraturan turunannya akan sangat rentan menimbulkan perkawinan paksaan, perkawinan dini, serta perkawinan eksploitatif. Oleh sebab itu, penyusunan standar yang konstitusional menemukan momentum urgensinya di sini. Selain itu, sembari menunggu adanya standar dari peraturan perundang-undangan, para hakim di pengadilan bisa menggunakan tawaran di atas untuk memberikan dispensasi dalam kerangka mengarahkan perkawinan yang membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah Wahab Khallaf, 2002. Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah- kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.Abu Ishaq Asy-Syatibi, 2005. Al-Muwafaqat fi Usul Asy-Syari’ah, Libanon: Dar al- Kutub al-Ilmiyyah.
Ahmad Al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, 2000. Al-Ijtihad, Al-Nash, Al- Waqi’i, Al-Maslahah, Terj. Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdzar, “Ijtihad Antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial”, Jakarta: Erlangga.
Halaman 598
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Amir Syarifuddin, 2009, Ushul Fiqih Jilid 2, Jakarta: Kencana.
Anthon F. Susanto, 2010. Ilmu Hukum Non Sistematik; Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing.
C. Sampford, 1989, The Disorder of Law, A Critique of legal Theory. UK: Blackwell.
D. Hartoko dan B. Rahmanto, 1986, Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius
Husein Muhammad, 2001. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS.
Jacques Derrida, 1982, Margins of Philosophy, Traslated with Additional Notes by Alan Bass, Chicago: University of Chicago, 1982. Bisa didownload https://ia800503.us.archive.org/0/items/JacquesDerridaMarginsOfPhilosophy1982/Jacques%20Derrida%20-%20Margins%20of%20Philosophy%201982.pdf
M. J. Mughniyah, 2015. Fiqih Lima Mazhab: Ja‘fari, Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hambali (Gold Edition). Jakarta: Penerbit Lentera.
Muhammad Abu Zahrah, 2005. Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, et al., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Muhammad Amin Suma, 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Muhammad Yunus, 1973, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an.
Munawar Kholil, 1955. Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, Semarang: Bulan Bintang.
Peter Mahmud Marzuki, 2014. Penelitian Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group.
S. Soekanto dan S. Mamudji, 2011. Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Sudarsono, 1992. Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Yudian Wahyudi, 2007. Ushul Fikih versus Hermeneutika, Yogyakarta: Nawesea Press.
Jurnal
Faiq Tobroni, 2016, “Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami,” Jurnal Yudisial, Volume 9, Nomor 3, Desember, h.281-301.Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Halaman 599
Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi Perkawinan
Decision Number 74/PUU-XII/2014 and Constitutional Standard for Marital Exemption
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1).Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai- Pegawai Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam.
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XII/2014.Halaman 600
Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017
Logo keren diatas bersumber dari digilib.uin-suka.ac.id.