-->

Mata Najwa: Buka-Bukaan Bola

Tidak ada komentar

Mata Najwa: Buka-Bukaan Bola
Penyakit sepak bola Indonesia yang hingga saat tulisan ini ditulis atau bahkan tulisan ini dibaca oleh pembaca, penyakit tersebut tidak sembuh-sembuh atau bahkan kekal. Seperti aids yang “belum” ditemukan obatnya. Saya gunakan kata “belum” karena saya berharap penyakit ini dapat disembuhkan. Mafia, pengaturan skor, dan lain sebagainya, masih menghantui sepak bola. Lewat tulisan ini saya berharap hantu tersebut segera ditangkap dan obat ditemukan.
.
Di dalam salah satu topik Mata Najwa, “Buka-Bukaan Bola”, dibahas tentang penyakit ini. Banyak tokoh bola yang diundangnya, seperti: Gunawan (mantan pelatih Persipur Purwodadi), Febrian Sofyandi (mantan kapten Persewangi Banyuwangi, saat di Mata Najwa masih menjadi kapten tapi sekarang tidak), Mr. X (salah satu pelaku jaringan mafia sepak bola), Djamal Aziz (anggota Komite Eksekutif PSSI), Djoko Susilo (mantan anggota Tim 9 dan Dubes RI di Swiss), Muhammad Isnur (penasihat hukum BS), Akmal Marhali (pengamat sepak bola), dan Bibit Samad Rianto (Ketua Tim Transisi). Mereka memberanikan diri untuk mengungkap fakta yang terjadi pada sepak bola Indonesia. Bagi saya, mereka sudah seperti pahlawan yang berusaha melawan dengan mengungkapkan kebenaran.
.
Gunawan, mantan pelatih Persipur Purwodadi, menjelaskan terkait pengaturan skor yang pernah dialaminya sewaktu melatih Persipur Purwodadi pada tahun 2013. Waktu itu dia ditelpon oleh seorang mafia yang berinisial YL terkait ini. Beliau diajak ketemuan dengan mafia tersebut bersama dengan manajamen Persipur di Hotel Agas Solo.
.
Waktu itu Persipur Purwodadi sedang dalam keadaan krisis keuangan, untuk gaji pemain nggak ada, untuk makan juga nggak ada. Mafia tersebut membuat kesepakatan dengan manajemen Persipur. Mereka menyatakan ingin “membantu” Persipur, namun harus ada timbal baliknya, yaitu Persipur harus kalah di setiap pertandingan.
.
Sebenarnya tidak selalu harus kalah, ada kalanya imbang, atau boleh menang namun hanya di kandang. Di partai tandang, bisa dikatakan, Persipur tidak boleh menang. Mafia tersebut menjalin kesepakatan dengan manajemen selama satu musim di Divisi Utama. Artinya seluruh kompetisi Persipur Purwodadi, sejak awal hingga akhir, sudah diatur.
.
Gunawan juga menjelaskan bahwa klub yang mengalami pengaturan skor seperti ini tidak hanya Persipur saja, melainkan hampir semua klub di Divisi Utama juga mengalaminya. Penyebabnya adalah tidak adanya penghasilan yang di dapat klub untuk menggaji pemainnya, pelatih-pelatihnya, dan untuk keperluan lainnya. Mafia melihat kondisi tersebut, ia manfaatkan kesempatan untuk “membantu” klub tapi harus ada tumbalnya.
.
Berdasarkan pengalamannya, Gunawan mengatakan bahwa setiap pertandingan, Persipur bisa dibayar kisaran 300 juta hingga 400 juta. Uang tersebut dibagi rata kepada pemain maupun pelatih. Perorang atau setiap pemain bisa mendapatkan uang senilai 10 juta perpertandingan.
.
Waktu itu kompetisi Divisi Utama berjumlah 10 klub. Satu diantaranya adalah Persipur. Artinya Persipur akan bertanding sebanyak 9 kali sebagaimana pada peraturan Divisi Utama waktu itu. Disimpulkan bahwa selama 9 pertandingan itu terjadi pengaturan skor, dan setiap pertandingannya dibayar kisaran 300 hingga 400 juta.
.
Febrian Sofyandi, mantan kapten Persewangi Banyuwangi, mengungkapkan pengalamannya ketika memimpin Persewangi Banyuwangi yang akan bertandang ke Magelang melawan PPSM Magelang (kalau tidak salah). Masalahnya juga sama, waktu itu para pemain Persewangi belum mendapatkan gaji. Mereka tidak memiliki uang saku, ditambah mereka saat itu sedang berada di kota orang. Melihat kesempatan itu, mafia langsung memanfaatkannya.
.
Pelatih Persewangi bertemu dengan mafia (bandar Malaysia) di suatu hotel di Magelang. Para pemain ikut dalam pertemuan tersebut. Mereka diminta untuk bermain dengan hasil akhir imbang, yaitu satu sama (1-1). Diatas kertas Persewangi memang seharusnya bisa menang melawan PPSM.
.
Setiap pemain inti yang bermain dilapangan plus tiga pemain cadangan yang juga akan bermain menggantikan pemain inti mendapatkan uang sebesar 2,5 juta. Sedangkan pemain cadangan yang tidak bermain mendapatkan uang sekitar 1-1,5 juta. Febrian tidak tahu berapa besar uang yang diterima para pelatih.
.
Selain pengaturan skor, waktu mencetak gol pun juga ditentukan oleh mafia. Sekitar menit ke-70an PPSM harus mencetak gol. Tidak hanya pelatih dan pemain saja yang dibayar, perangkat pertandingan seperti wasit pun juga dibayar. Karena selain pelatih yang memberikan kode untuk membiarkan PPSM mencetak gol, wasit juga turut membantu mengingatkan. Miris sekali.
.
Selain dengan PPSM Magelang, Persewangi juga pernah diminta kalah ketika hendak menjamu Persik Kediri di kandang sendiri. Namun waktu itu para pemain Persewangi menolak ajakan bandar Malaysia, dikarenakan mereka tidak bisa kalah di depan para suporter. Para pemain bisa hancur jika suporter Banyuwangi mengetahui ini, apalagi ini adalah laga kandang terakhir.
.
Sudah terjadi pertemuan dengan bandar Malaysia di sebuah rumah makan. Sudah jelas juga Persewangi diminta agar kalah. Namun tetap para pemain menolak demi suporter Banyuwangi yang menghamburkan uangnya, menghabiskan waktu luangnya untuk melihat tim kesayangannya yang mereka banggakan.
.
Mr. X, yang juga merupakan mantan pemain bola, menjadi pihak ketiga yang menghubungkan antara bandar dengan pemain maupun manajemen klub, mengungkapkan bahwa pengaturan skor ini sudah dimulai sejak tahun 2010. Ia mengungkapkan bahwa mayotitas bandar berasal dari Malaysia. Ada mantan pemain bola (bahkan pemain nasional Malaysia), dan juga pemain biliard nasional Malaysia. Selain Malaysia, ada Singapura, Thailand, dan Cina yang sudi menjadi bandar.
.
Lagi-lagi modus dari para bandar ialah hendak “membantu” klub yang sedang mengalami kesulitan. Secara tidak langsung, klub menjadi boneka si bandar. Harus kalah dengan skor berapa, dan dimenit ke berapa diatur semua oleh bandar. Jika ingin uang yang diterima besar maka skornya harus kalah telak, jika skornya hanya kalah tipis maka uang dari bandar juga tipis.
.
Menurut pengalaman Mr. X, ada yang satu pertandingan klub dibayar sebesar 800 juta dan Mr. X mendapatkan komisi sebesar 35-50 juta untuk dirinya sendiri. Biasanya satu hari atau dua hari sebelum pertandingan berlangsung terjadi transaksi antara bandar dengan pemain maupun manajemen klub.
.
Banyak sekali yang match yang diatur oleh Mr. X, salah satunya adalah Persewangi yang dikapteni Febrian Sofyandi ketika bertandang ke PPSM Magelang, PSM Makasar harus kalah dengan skor 4-0 ketika melawan Persebaya Surabaya (dengan nilai transaksi lebih dari 800 juta), Persegres Gresik (yang dapat uang) melawan Persik Kediri dengan skor imbang 1-1.
.
Mr. X pernah ditangkap oleh polisi karena aksinya, namun ia tidak dipenjara atau bisa dibilang tidak akan dipenjara. Kenapa? Karena ada orang kuat yang dapat mengambinya. Ia hanya diinterogasi beberapa jam saja. Untuk pemain sendiri juga belum ada yang ditangkap karena kasus ini.
.
Mr. X mengungkapkan bahwa semua pemain, pelatih, manajemen klub, dan seluruh perangkat pertandingan dan kompetisi sepak bola di Indonesia, sebenarnya mengetahui adanya bandar, adanya mafia, adanya pengaturan skor. Tidak ada yang tidak tahu, hanya saja mereka takut mengungkapkannya. Mereka cari aman sendiri. Febrian Sofyandi setuju dengan ungkapan Mr. X. Banyak pemain dan pelatih yang tahu, tetapi mereka ragu untuk mengungkapkan kebenaran ini.
.
Berbeda dengan Persewangi yang memiliki penghubung yakni Mr. X, Persipur Purwodadi justru bertransaksi dengan bandarnya secara langsung. Waktu itu YL (Yulian), mantan agen pemain, menawarkan seorang bandar yang berniat mengisi saku kosong untuk klub. Gunawan mengungkapkan ini kepada manajemen klub, dan semua sepakat untuk menerima tawaran.
.
Menit awal hingga menit ke-25 para pemain harus maksimal. Mereka tidak boleh kebobolan, tetapi mereka juga tidak boleh mencetak skor. Bisa dibilang dari menit awal hingga menit ke-25 permainan di lapangan itu adalah permainan original. Cuman dilarang mencetak gol. Bandar memberikan kode dari tribun kepada pelatih maupun staff, lalu pelatih melanjutkan kode tersebut ke pemain. Kode agar kebobolan. Biasanya kode itu berupa seruan semangat dan/atau dengan mengangkat kepalan tangan keatas.
.
Djamal Aziz, selaku anggota Komite Eksekutif PSSI saat itu menyatakan bahwa untuk masalah suap, korupsi, dan sejenisnya adalah urusan polisi. Sedangkan bagian yang melaporkan match fixing ini adalah bagian dari pekerjaan anggota PSSI yang berada di bidang hukum (Komite Hukum PSSI). Namun sayangnya, pada waktu itu belum ditemukan adanya laporan-laporan dari PSSI ke polisi. Artinya tidak ada follow up (tanggapan) dari PSSI.
.
Bibit Somad Rianto selaku Tim Transisi saat itu menyatakan jika memang benar adanya penyuapan, adanya match fixing, ada pelaku yakni pemberi dan yang diberi, kemudian ada pengakuan dari yang diberi, akan tetapi tidak ada alat bukti, itu hanya akan menjadi rumor saja. Hanya menjadi katanya ini katanya itu. Karena alat bukti ini untuk penguatan.
.
Djoko Susilo, mantan anggota Tim 9, mengungkapkan bahwa PSSI pernah memiliki era yang baik saat dipegang oleh Sekjen Halim Mahfudz. Namun sayang, beliau hanya memegang sebentar karena dipecat dari PSSI. Terkait dengan match fixing, masalah itu sudah ada sejak dulu, hanya saja tidak dapat terungkap karena kekurangan alat bukti. Beliau sependapat dengan Bibit Somad Rianto, bahwa alat bukti itu sangat diperlukan. Apalagi PSSI yang tidak serius dalam menindaklanjuti masalah ini.
.
Muhammad Isnur selaku penasihat hukum BS saat itu mengatakan bahwa orang-orang yang terbuka ini, seperti Mr. X, Febrian Sofyandi, dan Gunawan, maupun pemain-pemain lain yang siap memberikan kesaksian walau belum siap tampil di publik, harus dijamin masa depannya. Artinya PSSI selaku organisasi sepak bola Indonesia jangan membanned mereka, dan melarang mereka beraktifitas dalam persepakbolaan Indonesia. PSSI dan Menpora harus memberikan perlindungan kepada mereka-mereka ini. Perlindungan yang dimaksud bukan perlindungan keamanan nyawa dan keluarga, melainkan perlindungan agar mereka ke depan memiliki karier yang baik.
.
Terakhir dari pendapatnya Akmal Marhali selaku pengamat sepak bola sependapat dengan Djoko Susilo bahwa masalah match fixing ini memang sudah terjadi sejak dulu. Permasalahannya adalah karena tidak adanya penegakan hukum yang terjadi sejak dulu. Pada faktanya ketika PSMS Medan melaporkan masalah ini kepada PSSI pada tahun 2013an, pemain PSMS diancam dihukum dari PSSI. Sependapat dengan Muhammad Isnur, seharusnya pemain-pemain yang terbuka ini ketika melaporkan permasalahan ini mendapat perlindungan.
.
Akmal Marhali membandingkan kasus ini dengan kasus yang terjadi di Spanyol. Federasi Sepak Bola di Spanyol, ketika mendapat laporan dari LSM maupun darimana pun terkait match fixing di La Liga, Presiden Sepak Bola Spanyol justru mengayomi, meminta semuanya berkumpul lalu mendiskusikannya bersama-sama, mencari tahu kebenarannya bersama-sama. Bukan justru teriak-teriak “Buktikan dong! Buktikan dong!”. Ini kan tugas PSSI untuk membuktikan. Kalau tidak bisa membuktikan, ya tidak usah menjadi PSSI.
.
Jika melihat dari kasus ini, sebenarnya bukan kasus yang sangat sulit, hanya saja enggan menyelesaikannya. Mungkin yang paling patut disalahkan memang PSSI, dalam kutip anggota di dalamnya. Ini adalah tugas mereka, janji untuk melaporkan masalah ini kepada polisi pun tidak ditepati sebagaimana mestinya. Jadi bisa kah kita mempercayai PSSI masa kini?
.
Ada satu hal lagi yang membuat hati saya tidak merasa nyaman, yakni tentang efisiensi hukum di Indonesia. Apakah harus sebuah penyidikan akan dimulai setelah ada laporan? Bukankah lewat wawancara Mata Najwa sudah cukup untuk menindaklanjuti masalah ini lebih dalam. Kenapa harus PSSI yang melaporkan, kenapa bukan suporter? Mata Najwa? Atau orang lainnya? Menurut saya ini tidak efisien.
.
Jadi tulisan ini sebenarnya bentuk kegelisahan saya terhadap sepak bola dan hukum di Indonesia. Masalah serius yang sangat jelas seperti ini begitu rumitnya diselesaikan. Perdebatan terjadi dan tak berujung pada penyelesainnya. Sama dengan tulisan ini. Jika ditulis semua permasalahannya, mungkin tidak akan ada habisnya.

Komentar