BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada beberapa isitilah terkait Hak Asasi Manusia, yaitu: Human Rights, Natural Rights, Fundamental Rights, Civil Rights, Hak-hak Asasi Manusia, dan Hak Kodrati. Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto menambahkannya dengan istilah “basic and indubitable freedoms”. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan nama: ground rechten, mense rechten, dan rechten van mens [Dr. Nurul Qamar, S.H., M.H., Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014, hlm. 15].
.
Marthen Kriale berpendapat bahwa HAM ialah hak yang bersumber dari Allah. Jack Donnaly berpendapat bahwa HAM adalah hak yang berasal dari hukum alam, tetapi sumber utamanya adalah Allah. DF. Schaltens berpendapat bahwa HAM adalah hak yang didapat manusia semenjak manusia itu dilahirkan [Dr. Nurul Qamar, S.H., M.H., Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014, hlm. 16].
.
Sedangkan didalam Pasal 1 Butir 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menjelaskan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia.
.
Perbedaan antara hak asasi dengan hak dasar adalah bahwa hak asasi didapatkan ketika manusia dilahirkan, sedangkan hak dasar didapat ketika manusia menjadi warga negara dari suatu negara. HAM berasal dari Tuhan, sedangkan hak dasar berasal dari negara atau pemerintah. HAM bersifat universal sedangakan hak dasar bersifat domestik. Fungsi HAM adalah mengawal hak dasar (legal rights). Filosofis HAM adalah kebebasan yang menghormati kebebasan orang lain. Artinya, kebebasan HAM itu tidak tak terbatas, ada batasnya, yakni tidak memasuki wilayah kebebasan orang lain. Prof. Aswanto mengutip pendapat DF. Scheltens yang menyatakan bahwa hakikat HAM adalah kebebasan, namun kebebasan itu berakhir disaat memasuki wilayah kebebasan orang lain [Dr. Nurul Qamar, S.H., M.H., Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014, hlm. 17].
.
B. Rumusan Masalah
- Apakah penegakan Hak Asasi Manusia bagian dari cita-cita perjuangan bangsa?
- Bagaimana ketentuan Hak Asasi Manusia di dalam hukum positif?
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penegakan Hak Asasi Manusia Bagian dari Cita-cita Perjuangan Bangsa
Perjuangan menegakkan hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan bagian dari tuntutan secarah dan budaya dunia, termasuk Indonesia. Karena itu, memperjuangkan HAM sama dengan memperjuangkan budaya bangsa atau “membudayakan” bangsa, antara manusia dan kemanusiaan seluruh dunia sama dan satu. Perbedaan budaya yang beragam diseluruh dunia hendaknya dipandang sebagai “keragaman bunga indah” di taman firdaus. Justru, disinilah indahnya sebuah keragaman. Kredo “Bhineka Tunggal Ika” merupakan kristalisasi dan pengakuan akan hal ini. Dengan adanya perbedaan dan budaya, bila ada budaya yang bertentangan dengan spirit HAM, maka diperlukan adanya dialog pendekatan dan penyelesaian yang bertahap dan terus menerus. Lewat kemauan dan pendekatan tersebut, segera dapat ditemukan jalan keluar yang baik dan memuaskan.
.
“Konsep-konsep kemanusiaan yang ada dalam sistem budaya tentu memiliki titik-titik kesamaan antara satu dengan lainnya. Jika hal ini dapat dibuktikan, maka kesimpulan logisnya ialah bahwa manusia dan kemanusiaan dapat dipandang tidak lebih daripada kelanjutan logis penjabaran ide-ide dasar yang ada dalam tiap budaya tersebut dalam konteks kehidupan kontemporer yang kompleks dan globel” [Nurchoolish Madjid, 6 : 1995].
.
Karena itu, keberadaan dan perkembangan budaya Indonesia yang “berkembang sesuai dengan watak bangsanya” juga tidak lepas dari pengaruh dan garis singgung dengan budaya asing. Budaya berupa hasil renungan akal budi dipertahankan dan dikembangkan terus oleh generasi berikutnya yang akan semakin kaya dan berkembang sesuai dengan irama zamannya. Wujud budaya dalam bentuk kekayaan spiritual (tembang, puisi, gamelan, lontar, dan sebagainya) diakui keberadaannya. Dalam berbagai peninggalan budaya tersebut banyak ditemukan nilai-nilai dan asas yang mengandung, tidak saja penghormatan terhadap HAM, tetapi perkembangan dan tuntutan HAM, antara lain pemenuhan spiritual need. Dengan demikian, HAM bukan komoditas import.
.
Dilihat dari aspek tersebut, serta dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan, dan pola hidup bangsa Indonesia pada umumnya, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide, bahkan nilai yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Bukti empiris lain adalah adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang. HAM bukan “komoditas” (ide) impor dari luar, tetapi HAM milik bangsa Indonesia. HAM sudah menjadi hukum positif yang terkandung dalam Pancasila, sila kedua yang berbunyi : “kemanusiaan yang adil dan beradab”. HAM dikenal dalam kultur budaya di beberapa daerah di tanah air, antara lain di Aceh, Batak, Minang, Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Gorontalo, Timur Dawan, Rote-Tie, dan lain-lain. Adapaun uraian HAM yang terdapat dalam kultur budaya daerah-daerah tersebut sebagai berikut:
1. Aceh
Dari aceh dikenal ungkapan “tamubri saluenem tanda horrumat jaroe tamumat tanda meulia”, artinya memberi salam tanda orang menghormati sesamanya, jabat tangan berarti memuliakan sesamanya.
2. Batak
Dari Batak terdapat ungkapan “aek godong tu aek laut, dos ni roha do sibaen na saut”, artinya kata sepakat dan mufakat buat mengambil keputusan; “nakkok siputik tuot sideak, dia naummuli ima taparea”, artinya kesepakatan yang baik kita laksanakan.
3. Minang
Pada masyarakat minang banyak ungkapan tentang demokrasi, antara lain sebagai berikut:
“bulek aia dek pembuluah, bulek kato dek mufakat”, artinya bulat air di potongan, bulat kata karena mufakat; “picaklah buliah dilayangkan, bulek lah buliah digolongkan”, artinya pipih boleh dilayangkan, bulat boleh digolongkan (putusan final). “saciok bak ayam, sedancing bak basi”, artinya se iya sekata, senasip sepenanggungan.
4. Sunda
Pada masyarakat Sunda dijumpai ungkapan sebagai berikut: “silih asih, silih asah, silih asuh”, artinya saling mencintai, saling menghormati, dan saling mengingatkan lewat “sawala” (musyawarah).
5. Jawa
Pada masyarakat Sunda dijumpai ungkapan sebagai berikut: “gotong royong, saiyek saeko proyo, rawe-rawe rantas, malang-malang putung”, artinya bersatu padu menghadapi masalah didalam memberantas kejahatan (ketidak adilan sampai tuntas). “ojo dumeh ora adigang, adigung, adiguna”, artinya jangan karena jabatan, bertindak seenaknya (membangun budaya demokrasi). “sakabehing ukara dirembug lan warga biso urun rembug ing pendopo”, artinya semua warga diberi kesempatan memberi pendapat di tempat yang telah tersedia (pendopo).
6. Madura
Di Madura dikenal ungkapan “abak rembak” artinya diskusi dalam masalah privat, juga istilah “musyawarah”, artinya diskusi terkait masalah public dan adanya kesepakatan.
7. Timur Dawan
Di Timur Dawan dijumpai istilah “malomis” (musyawarah) dan “mantaen” (perjanjian) untuk memperoleh “tafutub” (sepakat) di “bale” (tempat musyawarah).
8. Bugis Makasar
Pada tradisi Bugis Makassar dikenal ungkapan “attudang sipulung”, artinya duduk berkumpul bermusyawarah memecahkan masalah.
9. Gorontalo
Tradisi masyarakat Gorontalo mengenal ungkapan “dulo hupa” artinya musyawarah dalam rangka menghormati hak-hak orang-perorang. Juga istilah “tilihula lo tare njota timugota”, artinya tempat musyawarah di “bandhayo pubo ide”.
10. Rote-Tie
Pada masyarakat Rote-Tie dikenal pula ungkapan “neke buah” artinya bermusyawarah/berkumpul mencari solusi, juga ungkapan “neketu neladi”, artinya berkumpul mengambil keputusan.
11. Papua suku Waropean
“Kaniban raruko koai sawosio Konawa ndi munainio” (saling mengasihi, duduk bersama bicara keadaan kita).
12. Bali
- a. “trihita karana (tiga unsur kebaikan), yaitu;
keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan “parahyangan”, keseimbangan hubungan sesame manusia (pawongan), keseimbangan hubungan manusia dengan alam (palemahan). Ketiga unsur tidak terpisahkan.
- b. “tantwan asi”
(saya adalah kamu, bahwa semua makhluk hidup sama sebagai ciptaan Tuhan, jadi saling menghormati).
- c. “paras paros”
(diri sendiri, bagian dari masyarakat.
- d. “salunglung sabayantaka”
(baik buruk, mati hidup ditanggung bersama).
13. Melayu
Adat hidup keluarga Melayu yaitu yang dituakan sama dibela, adat hidup dalam berkaum dan berbangsa kepada pemimpin yang bertenggang rasa, sakit dan senang sama dirasa, silang silih sama diperiksa, adat hidup bermasyarakat kepada pamimpin hormat dan taat.