-->

Tugas Akhlak Tasawuf Masa Klasik - Rasulullah dan Para Sahabat Part 3

Tidak ada komentar

Tugas Akhlak Tasawuf Masa Klasik - Rasulullah dan Para Sahabat Part 3
Masih di Bab II terkait, "Kehidupan Bertasawuf Rasulullah dan Para Sahabat". Berikut kelanjutannya Tugas Akhlak Tasawuf Masa Klasik - Rasulullah dan Para Sahabat Part 2:
.
Sehari semalam Rasulullah minimal membaca istighfar 70 kali “Demi Allah, saya mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari semalam, tidak kurang dari 70 kali.” (HR Bukhari). Selain sholat malam, beliau juga sholat dhuha yang tidak kurang dari delapan rekaat setiap hari. Apabila Rasulullah berhalangan melakukan sholat-sholat yang demikian itu (sunnah), maka beliau segera menggantinya besoknya dan menambahkan rekaatnya. Supaya kekosongan pada kemarin itu dapat diganti dengan hari ini [Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf..., hlm. 46-47].
.
Dalam kehidupannya Nabi Muhammad saw. telah banyak diceritakan betapa kesederhanaan rumah tangga beliau sehari-hari. Jangankan perabotan rumah tangga yang serba mewah dan makanan yang bergizi dan lezat, alat rumah tangga yang sederhana saja tidak lengkap, begitu pula dalam hal makanan, yang biasanya untuk makan sehari hari pun kadang tidak ada. Beliau tidur di atas sepotong tikar bukan di atas kasur empuk, makanan yang dihidangkan isterinya pun hanyalah sepotong roti kering atau sebutir dua butir korma dengan segelas air minum saja [Alwan Khoiri, M.A., dkk., Akhlak/Tasawuf…, hlm. 40].
.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, diceritakan bahwa Aisyah pernah mengeluh dengan keponakannya Urwah, seraya berkata, “Urwah, lihatlah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan akupun bingung karenanya”. Urwah bertanya, “Jadi apakah yang kamu makan sehari-hari?”. Aisyah menjawab, “Yang menjadi pokok itu adalah kurma dan air, kecuali jika ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, maka dapatlah kami merasakan setengguk susu”. Rasulullah menegaskan, “Kami adalah golongan yang tidak makan kalau lapar dan jika kami makan tidak sempat kenyang” [Alwan Khoiri, M.A., dkk., Akhlak/Tasawuf…, hlm. 40].
.
Dikisahkan pula pada suatu hari Rasulullah pergi ke masjid. Disana beliau berjumpa dengan Abu Bakar dan Umar. Beliau bertanya, “Apa yang menyebabkan sahabat-sahabat ini keluar masjid?”, Abu Bakar dan Umar pun menjawab, “Untuk menghibur diri dari lapar”. Rasulullah pun berkata pula, “Aku pun keluar untuk menghibur diri dari laparku. Marilah kita pergi ke rumah Abu Hasyim, barangkali disana ada sesuatu yang boleh dimakan” [Alwan Khoiri, M.A., dkk., Akhlak/Tasawuf…, hlm. 40].
.
Rasulullah juga sering berpuasa sunah, dengan maksud antara lain agar saat-saat lapar itu tidak sia-sia dan tetap dalam ibadah kepada Allah swt. sering kali pula beliau beribadah di masjid. Setelah beberapa waktu berada di masjid beliau pulang ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, adakah hari ini sesuatu yang dapat dimakan?”. Tatkala Aisyah menjawab tidak ada sesuatupun yang dapat dimakan, ia kembali lagi ke masjid dan menghabiskan waktunya disana untuk beribadah.
.
Beberapa saat kemudian beliau kembali lagi ke rumahnya dan menanyakan hal serupa dan Aisyah pun menjawabnya seperti sebelumnya. Hal seperti itu dilakukan Rasulullah beberapa kali dan mendapat jawaban yang sama, sampai akhirnya beliau mendapat sepotong roti di rumahnya dari pemberian Utsman bin Affan. Aisyah pun menerangkan lebih lanjut bahwa keluarga Nabi dalam sehari tidak pernah makan sampai dua kali. Makanan disimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti untuk dimakan tiga orang [Alwan Khoiri, M.A., dkk., Akhlak/Tasawuf…, hlm. 41].
.
Nabi Muhammadlah yang pertama kali memberikan contoh tentang hidup sederhana, tentang menerima apa adanya, menjadikan kehidupan rohani lebih tinggi daripada kehidupaan kebendaan yang mewah penuh ria, serta mengajak manusia untuk meninggalkan sifat berburu kekayaan dan kesenangan duniawi sehingga melupakan tujuan pokok dalam hidup. Beliau pula yang mengajarkan bahwa kekayaan dan kesenangan duniawi tidaklah abadi, oleh sebab itu beliau mengajak kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kelezatan hidup yang lebih tinggi dan abadi, yaitu dengan bertaqorrub, mendekatkan diri kepada Zat Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa lagi Maha Abadi, Allah swt. dengan kehidupan rohani tersebut dapat menjadikan diri manusia lebih dekat kepada Sang Khaliq. Sebagaimana firman Allah, yang artinya:
Jika hamba-Ku bertanya tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat, dan Aku akan mengabulkan seruan yang memanggilku jika Aku dipanggil. (QS al Baqoroh: 186) [Alwan Khoiri, M.A., dkk., Akhlak/Tasawuf…, hlm. 41].
Dari Ibn Mas’ud diceritakan bahwa dia pernah memasuki kediaman Rasulullah dan didapatinya beliau sedang berbaring diatas sehelai anyaman daun kurma sampai memberikan bekas pada pipinya. Dengan rasa haru Ibn Mas’ud bertanya, “Wahai rasulullah apakah tidak baik jika aku mencarikan bantal untukmu?”. Rasulullah menjawab, “Aku tidak memerlukan itu, Aku di dunia adalah laksana orang yang sedang bepergian, sebentar berteduh di hari yang terik bawah naungan pohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat lagi dari situ menuju tujuannya” [Alwan Khoiri, M.A., dkk., Akhlak/Tasawuf…, hlm. 42].
.
Sehubungan dengan harta benda, pernah suatu hari diletakkan dihadapan Rasulullah tujuh puluh ribu dirham emas, pada hari itu juga dibagikan kepingan itu tanpa ada sekepingpun yang tertinggal. Dalam kaitannya dengan hal ini diceritakan pula dalam sejarah bahwa ketika Nabi sedang sakit menjelang akhir hayatnya, beliau mengingat bahwa di rumahnya masih tersimpan tujuh buah dinar emas. Dangan keadaan sakit payah, beliau memanggil ahli rumahnya untuk membagikan semua uang tersebut kepada faqir miskin.
.
Cerita itu dibenarkan oleh Aisyah bahwa ia lupa kalau menyimpan uang tersebut karena kesibukannya mengurus Nabi yang sedang sakit. Tatkala orang bertanya kepadanya, apa yang diperbuatnya dengan uang tujuh dinar tersebut, ia menjawab bahwa ia segera mengambilnya dan menyerahkannya kepada Rasulullah. Kemudian iapun bertanya kepada Rasulullah mengenai bagaimana perasaan beliau ketika menghadap Tuhan dengan mata uang di tangannya. Lalu beliau menyuruhnya untuk membagikan semua uang tersebut kepada faqir miskin, sedangkan beliau sendiri dalam keadaan itu pergi menghadap-Nya dengan hanya berpakaian kasar.
.
Begitulah kesederhanaan Rasulullah, hingga beliau wafat pun beliau tidak meninggalkan untuk keluarganya uang barang sedinar atau sedirham pun. Abdurrahman bin Auf menceritakan, bahwa pada waktu Nabi wafat tidak ada sesuatu yang ditinggalkannya, kecuali sepotong roti, sebilah pedang dan seekor keledai yang biasa menjadi tunggangannya sehari hari, serta sebidang tanah yang sudah diwakafkan [Alwan Khoiri, M.A., dkk., Akhlak/Tasawuf…, hlm. 42-43].
.
Dalam sebuah hadits yang driwayatkan oleh Ibn Majah, Tabrani dan Baihaqi, Rasulullah besabda:
Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan zuhudlah pada apa yang di tangan manusia supaya manusia cinta akan engkau. [Alwan Khoiri, M.A., dkk., Akhlak/Tasawuf…, hlm. 43].
Demikianlah keteladanan kehidupan rohani dari Rasulullah yang kemudian menjadi contoh sikap hidup para sahabatnya. Imam Al Ghozali berpendapat:
Bahwa aku yakin benar bahwa kaum suffah itulah yang telah menempuh jalan yang telah dicontohakan oleh Nabi dan yang telah dikehendaki oleh Allah Taala. [Alwan Khoiri, M.A., dkk., Akhlak/Tasawuf…, hlm. 45].
  • Kehidupan Para Sahabat
Para sahabat merupakan sosok yang istimewa, tidak hanya mereka berjumpa langsung dengan Rasulullah, mereka juga merupakan sosok istimewa yang tidak bisa dibandingkan dengan genersi-genersi sesudahnya. Dalam kehidupan mereka tidak lain semata-mata mengikuti jejak Rasulullah, baik dalam setiap ucapan maupun kehidupannya. Oleh sebab itu tidak heran jika Rasulullah sendiri telah mengemukakan betapa tingginya kedudukan para sahabat ini, sebagaimana sabdanya: “Para sahabatku itu bagaikan bintang. Siapa pun diantara mereka yang kamu ikuti, niscaya kamu mendapatkan petunjuk.” [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 47].
.
Mengenai kehidupan para sahabat secara global, Abu ‘Atabah melukiskannya dengan sebuah pernyataan:
“Maukah kau kuberi tahu tentang kehidupan para sahabat para sahabat Rasullah saw.? Pertama, bertemu dengan Allah adalah lebih mereka sukai daripada kehidupan. Kedua, mereka tidak gentar terhadap musuh, baik musuh itu sedikit ataupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, mereka begitu percaya terhadap rezeki Allah.” [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 48].
  • a. Abu Bakar Ash Shiddieq
Abu Bakar Ash Shiddieq, beliau merupakan seorang asketis, sehingga diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu dia selalu dalam keadan lapar. Baju yang dimilikinya tidak lebih dari satu, dan katanya “Jika seorang hamba begitu terpesonakan oleh sesuatu hiasan dunia, Allah membencinya sampai dia meninggalkan hiasan itu.” [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 48].
.
Begitu juga sifat kedermawanan Abu Bakar yang tidak ada batasnya. Misalnya pada Perang Tabuk. Rasulullah meminta kepada semua kaum muslimin untuk mengorbankan hartanya pada sabilillah. Datanglah Abu Bakar membawa semua hartanya dan diletakkannya di antara kedua lengan Rasulullah. Rasulullah bertanya, “Apa lagi yang engkau tinggalkan bagi anak-anakmu? Hai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawabnya seraya tertawa, “Saya tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasulnya.” [Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf..., hlm. 52].
.
Menurut riwayat bahwa sahabat Abu Bakar as Shidiq hidup hanya dengan selembar kain saja. Terhadap lidahnya sendiripun beliau berkata, “Apabila seorang hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri karena sesuatu dari hiasan dunia ini, maka Allah akan murka hingga perhiasan itu diceraikannya”. Pandangan hidup beliau adalah bahwa sifat dermawan merupakan buah dari taqwa, kekayaan merupakan buah dari keyakinan dan martabat diperoleh sebagai buah dari ketawadlu’an [Alwan Khoiri, M.A., dkk., Akhlak/Tasawuf…, hlm. 46].
.
Mengenai taqwa, yakin dan rendah hati, dikatakannya: ”Kami mendapatkan kedermawanan dalam taqwa, kecukupan dalam yakin, dan kehormatan dalam rendah hati”. Dan mengenai pengenalan terhadap Allah (ma’rifat), dikatakannya: “Barangsiapa merasakan sesuatu yang selain Allah, dan menyendiri dari semua manusia”. Al Junaidi (seorang tokoh sufi) dalam penuturannya tentang Abu Bakar al Shidiq berkata: “Ungkapan terbaik dalam hal tauhid ialah ucapan Abu Bakar as Shidiq: Maha suci Zat yang tidak menciptakan jalan bagi makhluk mengenai-Nya, melainkan ketidakmampuan mengenal-Nya.” [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 48].
.
Beliau juga pernah menangis ketika membaca ayat Al Quran. Kaum Musyrikkin disekitar rumah Abu Bakar meminta kepada Rasulullah untuk melarang Abu Bakar membaca Al Quran dengan keras karena suara dan tangisannya ketika membaca ayat Al Quran dapat menggoda hati manusia terutama hati wanita yang mendengarkannya. Karena memang saat itu belum banyak orang Mekkah yang masuk Islam. Namun ketika mereka hanya mendengarkan suara Abu Bakar saja, merekamenjadi tertarik dengan ajaran Islam. Mereka bersimpatik terhadap Islam. Dan kandungan Al Quran tersebut bersemi di hati mereka. Hal inilah yang ditakutkan oleh kaum musyrikin tersebut [Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf..., hlm. 52].
.
Sementara mengenai kisah-kisah ibadah Abu Bakar as Shidiq, doa-doanya, kesederhanaannya, ridlanya, ketakutannya terhadap Allah, keshalehannya, kerendahan hatinya, kedermawanannya, serta hal-hal lainnya, yang kemudian menjadi landasan para sufi dalam hal pendapat tentang pengertian pengertian itu, hal ini telah dikemukakan al Muhib al Thabarri dalam karyanya, al Riyadh al Nadhrah fi Manaqib al ‘Asyrah [Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 48].
  • b. Umar bin Khattab
Umar bin Khattab, beliau pernah berpidato dihadapan umat dengan memakai kain yang terdapat dua belas tambalan dan baju yang dikenakannya terdapat empat tambalan dan tidak memiliki kain lainnya. Umar bin Khattab juga merupakan khalifah yang adil dan bijaksana. Beliau rela memberikan beribu-ribu dirham untuk kepentingan umat dan sahabatnya. Sedangkan untuk anaknya, beliau dengan keras melarang keluarganya mengambil sedirham pun dari baitul mal.
.
Pernah ada kejadian beliau melihat salah seorang anaknya memakan daging. Dipukulah anaknya dengan tongkatnya yang pendek seraya berkata, “Makanan itu tidak saya haramkan, tetapi saya larang untuk diri saya dan anak-anak saya karena tempat tumbuh fitnah di dalam syahwat makanan.”
.
Kesederhanaan lain yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ialah saat beliau terlambat datang ke masjid dan terlambat pula dalam melaksanakan sholat jamaah. Padahal setiap sholat fardhu beliaulah yang menjadi imam. Bertanyalah seorang temannya, “Kenapa terlambat datang?” Beliau menjawab, “Kain saya sedang dicuci dan tidak ada lainnya.” [Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf..., hlm. 53-54].
.
Seketika datang kiriman zakat dari negeri Yaman, diadakan sebuah pertemuan besar, karena Khalifah Umar hendak memberikan nasehatnya. Beliau mengatakan agar seluruh umat tunduk dan taat kepada perintahnya. Tiba-tiba berdirilah seorang yang hadir dan memutus pidatonya, “Kami tidak dapat taat kepada perintah engkau Ya Amirul Mukminin!”. Khalifah Umar bertanya, “Apa sebab?” Seorang tadi menjawab:
Bagaimana kami akan bisa taat! Ini harta benda zakat telah dikirimkan orang dari negeri Yaman dan telah dibagi-bagi. Padahal tuan hanya mendapat satu bagian saja, sebagai bagian orang banyak yang lain. Pakaian tuan hanya satu persalinan saja. Tidak ada pakaian musim panas dan tidak ada pakaian musim dingin! Sebelum tuan mengambil satu persalinan lagi, kami tidak akan taat.
Sanggahan dari seorang tadi tidak dapat Khalifah Umra jawab. Lalu beliau menghadapkan mukanya kepada putranya Abdullah, dan berkata, “Hai Abdullah, cobalah engkau tolong berikan jawaban sanggahan itu!” Abdullah berdiri dan berkata, “Perihal pakaian beliau yang sepesalinan lagi itu, biarlah saya yang menanggung.” Sungguh sederhana sekali beliau [Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya..., hlm. 31-32].
.
Terdapat kisah lagi dari sumber buku yang berbeda, yaitu ketika tentara Islam memperoleh banyak kemenangan disertai banyaknya harta rampasan perang. Setiap orang mendapatkan bagiannya sesuai dengan status dan fungsinya, baik ummul mukminin maupun panglima perang, ataupun rakyat biasa, semua ada pembagiannya. Hanya beliau sendiri yang belum ditentukan bagiannya.
.
Hal tersebut menjadi pembicaraan banyak orang karena beliau sendiri hidupnya sangat sederhana. Mengetahui dirinya menjadi pembicaraan orang-orang, beliau kemudian berbicara di depan mereka semua. Beliau berbicara mengenai persoalan hidup di dunia ini. Kemudian beliau menanyakannya, “Apakah yang halal bagi dirinya dari harta rakyat?” Semua orang menanti-nanti kelanjutannya. Umar berkata:
Saya minta dua pakaian. Satu untuk musim dingin, dan satu lagi untuk musim panas. Dan biaya untuk mengerjakan haji seberapa yang dapat dibawa oleh belakang saya sendiri. Biaya makanan saya setelah itu sama dengan biaya makanan salah seorang Quraisy, tidak yang tertingginya dan tidak pula yang paling rendahnya.

Komentar