-->

Pidana Mati Menurut Pancasila - Andi Hamzah & Sumangelipu

Tidak ada komentar

Cover buku: Pidana Mati Di Indonesia.
Cover buku: Pidana Mati Di Indonesia.
Dalam bukunya yang berjudul: Pidana Mati Di Indonesia - di masa lalu, kini dan di masa depan, Dr. Andi Hamzah, S.H. dan A. Sumangelipu, S.H. membahas pidana mati berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Kalau tidak salah mereka membahasnya pada bab keempat dalam bukunya. Dan berikut penjelasannya:
.

Pidana Mati Menurut Ketuhanan Yang Maha Esa

T. Moch. Hasbi Ash-Shiddieqy menafsirkan qishas dalam agama Islam adalah perbuatan seseorang sebanding perbuatannya terhadap orang lain. Rachmat Djatmika dalam pidatonya berpendapat qishas tidak bertentangan dengan Tuhan Yang Maha Esa karena pada dasarnya qishas merupakan bagian Wahyu Allah yang diberikan kepada Nabi-nabi-Nya sesuai dengan firman Allah pasa surah Al Baqarah ayat (178).
.
Demikian juga dalam ajaran Kristen, Hazewinkel-Suringa membenarkan adanya pidana mati dalam agama Kristen dengan mendasar pada pendapatnya pada Kitab Suci Perjanjian Lama, Oog om oog, tand om tand (Genesius 9:6 ; Exodus 21: 24). Paulus juga berpendapat bahwa negara adalah wakil Tuhan dalam menjalankan kekuasaan duniawi, diberikan pedang yang dapat dipergunakannya untuk menjamin kelangsungan hidup negara.
.

Pidana Mati Menurut Kemanusian yang Adil dan Beradab (Perikemanusiaan)

Kutipan dari seorang Jaksa di Semarang, N.N. Temadja yang memvonis mati Kusni Kasdut, yang telah melarikan diri dari penjara setelah membunuh dan merampok museum di Jakarta dan kemudian menembak mati aparat negara di Semarang ketika hendak ditangkap. Kutipannya adalah begini, "Perikemanusiaan hendaknya dipandang dari sudut orang-orang yang mempunyai perikemanusiaan. Asas perikemanusiaan justru diadakan untuk melindungi hak-hak asasi, dan bukanlah diadakan untuk orang-orang yang tidak mempunyai perikemanusiaan atau orang-orang yang tidak menghargai hak-hak asasi orang lain".
.
Jika kontra pidana mati mengemukakan perikemanusiaan sebagai alasan, maka yang pro juga beralasan perikemanusiaan. Perbedaanya adalah pada kepada siapa yang dilindungi asas itu. Kontra pidana mati menekankan hak-hak asasi terdakwa, terlebih lagi jika kesalahnya diragukan. Sedangkan pro menekankan hak-hak asasi korban dan juga hak-hak asasi masyarakat terhadap, misalnya pemerkosaan yang dilakukan oleh seseorang yang menyebabkan ketidakadilan masyarakat luas.
.
Damste berpendapat bahwa pidana mati itu ganas dan menghilangkan perikemanusiaan. Pendat tersebut ditentang oleh Rachmat Djatmika, bahwa sebenarnya pidana mati menjaga perikemanusiaan yang menjaga dari pertumpahan darah yang sewenang-wenang.
.

Pidana Mati Menurut Persatuan Indonesia (Kebangsaan)

Contoh yang tepat untuk kasus ini adalah mengenai bekas Letnan Kolonel Untung, eks Brigjen Supardjo, eks Letkol Udara Heru Atmodjo, dan Mayor Udara Sujono yang dipidana mati karena melakukan perbuatan melanggar konstitusi negara, membahayakan negara, menganggu keamanan dan memecah belah persatuan Indonesia sebagaimana dalam pasal 110 ayat (2), berhubungan dengan pasal 107 dan pasal 108 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia.
.
Rachmat Djatmika menambahkan dari sudut pandangan Islam bahwa qishas (talio) mempertahankan hak-hak asasi dan kemerdekaan bangsa dari kedholiman, imperialis dan kolonialis.
.

Pidana Mati Menurut Kerakyatan (Demokrasi)

Setiap pimpinan yang menjalankan pemerintahannya secara diktaktor yang menginjak-injak asas-asas kerakyatan (demokrasi) sehingga masyarakat tidak dapat bertindak dan tidak terciptanya pemerintahan yang adil. Jika pemerintahan digulingkan rakyat menuntut supaya padanya dijatuhi pidana mati, tuntutan didengar di mana-mana jika terjadi kudeta terhadap seorang diktator. Maka dapat disimpulkan bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan demokrasi dengan ketentuan pidana mati digunakan bagi orang yang menindas demokrasi.
.

Pidana Mati Menurut Keadilan Sosial

Pidana mati dengan keadilan sosial saling berhubungan, tidak ada pertentangan. Karena prinsip pidana mati adalah Keadilan Sosial yang berdasar persamaan hak. Prof. Drijarkoro mengemukakan keadilan sosial adalah perikemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (2) PERPU No. 21 Tahun 1959 (LN 1959/130), diancam pidana mati bagi yang menghalang-halangi terwujudnya cita-cita Keadilan Sosial.
.
Daftar Pustaka:
  • Dr. Andi Hamzah, S.H. & A. Sumangelipu, S.H. | Pidana Mati Di Indonesia - 'di masa lalu, kini, dan di masa depan' | Ghalia Indonesia: Jakarta Timur | Febuari 1985 / Mei 1984 |

Komentar