|
.
Pidana Mati Dalam Agama Islam
Pidana atau hukuman dalam agama Islam disebut dengan qishas. Yaitu hukuman dengan cara “mata dibalas dengan mata, darah dibayar dengan darah, gigi dengan gigi”. Hukuman qishas ini diatur dalam beberapa ayat Allah. Yaitu dalam surah Al Baqarah ayat (178) yang isinya tentang kewajiban melakukan qishas terhadap pembunuhan seperti halnya budak dengan budak, yang merdeka dengan yang merdeka, wanita dengan wanita. Seperti itu.
.
Kemudian dalam surah Al Baqarah ayat (179) Allah memperingati hambanya agar takut melakukan pembunuhan yaitu dengan cara qishas. Dan dalam surah Al Maidah ayat (49) yang isinya mengenai qishas yang sudah diberlakukan ketika zaman nabi Musa dengan Kitab Taurat.
.
Imam Malik juga akan menghukum mati bagi orang yang tidak sengaja membunuh orang lain, misalkan ada seseorang yang sedang berburu dengan senapan kemudian menembak dan salah sasaran menyebabkan kematian seseorang itu. Akan tetapi menurut Syafi’i dan Abu Hanifah orang tersebut tidak dipidana mati kecuali kalau hal itu dilakukan berulang-ulang.
.
Terdapat perbedaan mengenai orang-orang yang turut serta dalam pembunuhan. Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang hanya memegang tangan korban tidak dijatuhi hukuman mati. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa dua-duanya harus dihukum mati. Karena dua-duanya tersebut telah bersekutu untuk membunuh.
.
Pidana mati di dalam Islam mempunyai sifat privat karena pidana mati akan dilaksanakan apabila keluarga korban menghendaki. Dan pelaku juga dapat dibebaskan apabila keluarga korban memaafkan pelaku.
.
Cara pembunuhannya pun terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah berpendapat cara pembunuhannya adalah dengan cara dipenggal kepalanya dengan pedang atau senjata semacam itu. Sedangkan menurut Syafi’i dan Malik berpendapat dengan cara apa saja asalkan itu tidak berlebihan, seperti pada firman Allah dalam surah Isra ayat (33) yaitu, “... Barang siapa yang terbunuh dengan aniaya, sesungguhnya berikan kekuasaan bagi walinya untuk menuntut bela, tetapi tiada boleh ia berlebih-lebihan dalam cara membunuhnya”.
.
Di dalam Islam ada pendapat apabila terdapat saksi yang melakukan kesaksian palsu yang dilakukan dengan sengaja terhadap kasus pembunuhan dan orang yang dituduh sudah dieksekusi mati. Kemudian didatangkan pembunuh yang sebenarnya, maka dua-duanya (pelaku sebenarnya dan saksi) wajib dijatuhi hukuman mati. Sedangkan Abu Hanifah dan Malik berpendapat saksi tidak wajib dihukum mati.
.
Sulaeman Rasjid menyebutkan terdapat syarat-syarat untuk qishas, yaitu:
- Pembunuh sudah balig atau dewasa.
- Yang membunuh bukan bapak dari yang dibunuh.
- Keadaan yang dibunuh tidak kurang derajatnya (seperti lebih tinggi ilmu agamanya atau merdeka bukan begitu juga anak dengan bapak. Maka orang Islam apabila membunuh orang kafir maka tidak berlakulah hukum mati).
- Orang yang terpelihara darahnya dengan Islam atau dengan perjanjian.
.
Pidana Mati Dalam Agama Kristen
Menurut A. Jansens bahwa ajaran agama Kristen (Katolik) menerima bahwa negara berhak menjatuhkan pidana mati dan melaksanakannya. D.P.D. Fabius juga berpendapat bahwa negara adalah wakil Tuhan untuk menjalankan perintah duniawi, maka dari itu kalau Tuhan saja dapat mematikan orang maka negara pun juga boleh melakukan hal seperti itu.
.
Van der Vies dari golongan Kristen (Protestan) berpendapat bahwa pidana mati dapat dibenarkan asalkan pada jalan yang benar yaitu jalan Allah. Hezewinkel-Suringa juga berpendapat bahwa pidana mati juga dapat dibenarkan pada kitab suci perjanjian lama, yaitu Oog om oog tamd on tamd, (Genesius 9.6; Exodus 21.24).
.
Pidana mati menurut Lex Talionis adalah “hidup ganti hidup, mati ganti mati, gigi ganti gigi.” Tetapi penafisarannya ditentang oleh mereka yang kontra pidana mati dikarenakan alasan bahwa pidana mati tidak dapat diperbaiki lagi kalau kemudian ternyata ada kekhilafan.
.
Jansens menaruh kesimpulan bahwa pidana mati menurut agama Kristen dapat dilaksanakan apabila memenuhi dua syarat berikut ini:- Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana harus sedemikian bahwa benar-benar mengancam kelangsungan hidup negara.
- Bahwa tidak ada upaya lain yang radikal untuk menghindarkan bahaya itu secara efektif.
.
Daftar Pustaka:
- Dr. Andi Hamzah, S.H. & A. Sumangelipu, S.H. | Pidana Mati Di Indonesia - 'di masa lalu, kini, dan di masa depan' | Ghalia Indonesia: Jakarta Timur | Febuari 1985 / Mei 1984 |