-->

Eksekusi Pidana Mati Sebelum dan Setelah Perang Dunia Ke-2 - Andi Hamzah & Sumangelipu

Tidak ada komentar

Cover buku: Pidana Mati Di Indonesia.
Cover buku: Pidana Mati Di Indonesia.
Ternyata ada perbedaan cara mengeksekusi dalam pidana mati antara sebelum terjadinya Perang Dunia ke-2 dengan setelah terjadinya Perang Dunia II. Dalam bukunya Dr. Andi Hamzah, S.H. dan A. Sumangelipu, S.H. yang berjudul: Pidana Mati Di Indonesia - di masa lalu, kini dan di masa depan, ada bab yang menjelaskan permasalahan ini. Kalau tidak salah terdapat pada bab kelima di dalam buku mereka. Adapun akan dijelaskan sebagai berikut:
.

Sebelum Perang Dunia II

Kebanyakan eksekusi mati dilaksanakan dengan menggantung pelaku dan berada di tengah kerumunan masyarakat guna memberikan rasa takut pada masyarakat agar tidak melakukan kejahatan, menghendaki akan dihukum sama seperti apa yang telah diperlihatkan. Menurut Codex Hammurabi (dari 2.000 Sebelum tarikh Masehi), apabila ada binatang peliharaan yang menyebabkan matinya seseorang, maka hewan dan pemilik hewan tersebut dihukum mati.
.
Pada abad ke-17 terdapat berbagai cara untuk memidana mati para penjahat, yaitu potong leher, gantung, pukul sampai mati, mematahkan tulang iga, dibakar hidup-hidup, dikubur hidup-hidup, ditenggelamkan, dimasukkan ke dalam karung kemudian dilempar ke dalam teluk dari puncak menara, digiling, diseret dengan kuda dan diberi racun seperti dalam pidana mati terhadap Socrates yang dituduh karena kurang alim dan menghina dewa-dewa.
.
Fakta-fakta menyatakan pidana mati yang dilakukan di tempat ramai atau umum bukannya menjadi alat pencegah kejahatan justru memberikan dorongan kepada orang-orang untuk melakukan pembunuhan. Sebagai contoh pada tahun 1860 di Belanda, terjadi pidana mati karena seorang pria, Leeuwaarden yang membunuh seorang wanita yang telah hidup bersamanya. Pria itu dieksekusi di alun-alun untuk diperlihatkan. Kemudian beberapa hari berikutnya terjadi pembunuhan yang telah direncanakan pada kota yang sama. Maka ia pun dihukum mati. (Weekblad van het Reght No, 2152)
.
Contoh-contoh lain ialah pada suatu kota yang jarang sekali terjadi kejahatan tetapi setelah dieksekusi matinya Frans Muller pada tanggal 14 November 1864 terjadi kasus yang sama pada hari itu juga pada kota itu juga. Lalu cerita lain pada tahun 1863 terjadi di Chatham (Inggris) ada seseorang digantung karena membunuh seorang anak. Beberapa hari kemudian di kota yang sama seorang prajurit juga melakukan pembunuhan, dan tidak lama kemudian pembunuhan yang ketiga muncul. Ada lagi di Glasgow sesudah eksekusi pidana mati dari Dr. Pritchard (suatu peristiwa yang terkenal di seluruh Britania) di Inggris dan Scotland terjadi sepuluh pembunuhan setelah itu. Ada juga pada saat pembunuhan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln di tahun 1865, si pembunuh, John Wilkes Booth mengaku gemar melihat eksekusi mati.
.
Di Prancis tepatnya setelah revolusi Prancis eksekusi pidana mati dengan guillotine (yaitu pidana mati dengan eksekusi yang cepat). Salah satu terpidana mati dengan cara guillotine adalah Raja Louis XVI. Yang mencipatkan guillotine adalah Dr. Guillot karena kasihan pada orang. Ada juga pidana mati yang paling menarik adalah para komplotan pembunuh Lincoln yaitu dengan hukuman gantung di Washington.
.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915, pasal 11 berbunyi, “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat arang itu berdiri”. Untuk melakukan hal tersebut maka diperlukan algojo.
.
Menurut Prof. Sutan Muhammad Sjahb di Indonesia sebelum perang ada seorang algojo yang bernama Tere. Bapak Tere ini satu-satunya algojo yang ada di Indonesia. Sehingga bapak ini sering pergi keliling Indonesia dimana terjadi eksekusi pidana mati. Dan menurut keterangan bapak Tere ini ia sering memimpikan orang-orang yang diambil nyawanya dalam bentuk yang mengerikan, sehingga bapak Tere sering tidak dapat tidur dan menjadi tak tentram hidupnya.
.
Menurut pendapat Prof. Sutan Moch Sjah bahwa sebenarnya orang yang dipidana gantung mati bukan karena tercekik melainkan karena jatuhnya tubuh dan membuat leher menjadi tersentak.
.
Pada tanggal 21 Agustus 1945 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia pada pasal 11 dihapuskan dan diganti dengan peraturan tentang pidana mati, yaitu Staatblad 1945 No. 123. Dengan alasan bahwa pidana mati yang dilaksanakan secara terbuka tidak menimbulkan efek justru membuat kejahatan semakin banyak. Maka daripada menimbulkan tontonan yang tidak berperikemanusiaan akan lebih pantas dengan cara yang tepat.
.

Sesudah Perang Dunia II

Di Tokyo dan Neurenburg eksekusi pidana mati dengan cara gantung dilakukan terhadap penjahat-penjahat perang. Alasan dilakukannya pidana gantung dikarenakan menyangkut kehormatan kepada penjahat-penjahat perang yang direndahkan. Setelah selesai dieksekusi mayat dikembalikan kepada keluarganya. Akan tetapi ada yang tidak dikembalikan karena merupakan penjahat-penjahat perang. Mayat-mayat mereka dibakar dan abunya dibuang ke laut supaya jangan ada pemujaan.
.
Di Cekoslovakia pidana mati dilakukan dengan gantung. Akan tetapi jika ada bahaya yang amat penting bagi negara, pidana mati dapat dilaksanakan dengan tembak mati. Di Amerika Serikat pada masa setelah perang dunia ke-2 eksekusi pidana mati dilakukan dengan kursi listrik dan kamar gas. Sedangkan di Yaman hukuman mati pernah diberlakukan kepada 4 orang yang melempar granat, dan mereka dihukum penggal. Salah satu dari keempat orang tersebut adalah wanita.
.
Di Suriah hukuman gantung dilakukan oleh tiga orang laki-laki yang telah melakukan mata-mata untuk Israel. Mayat ketiga orang itu dibiarkan bergantungan selama 7 jam di lapangan utama Moris di Damsyik. Empat orang bekas menteri Kongo telah menjalani pidana mati di tiang gantung di depan di Kinshasa sebagai pidana gantung pertama dalam sejarah Kongo. Alasan hukuman mati dikarenakan keempat menteri itu telah berkomplot menentang pemerintah dan berencana membunuh Presiden Mobutu.
.
Indonesia setelah Perang Dunia Ke-2 memberlakukan dua peraturan, yaitu peraturan pasal 11 KUHP dan peraturan yang dibuat oleh Jepang yang menghendaki pidana mati dengan cara ditembak. Contoh pidana mati yang dilakukan oleh Jepang adalah pada pelaku-pelaku pemberontakan Blitar yang dipimpin oleh Supardji dan dijatuhi pidana mati pada tanggal 14 Ferbuari 1945 dengan cara tembak mati.
.
Kemudian setelah terjadi dualisme peraturan dimana wilayah yang di duduki Belanda tidak memberlakukan peraturan yang Jepang buat. Tetapi kemudian Belanda mengumumkan pidana mati dengan cara gantung. Kemudian pidana pasal 1 KUHP diganti dengan Stbld. 1945 No. 123. Akan tetapi perubahan peraturan ini masih diabaikan oleh beberapa wilayah di Indonesia.
.
Mr. Han Bing Siong menarik kesimpulan bahwa pidana mati harus dilaksanakan sesuai dengan pasal 11 KUHP dan diperlukan adanya algojo. Pendapat ini ditentang oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro yang berpendapat bahwa stbld. 1945 No. 123 masih tetap berlaku sesudah berlakunya UU 1958 No. 73 tertanggal 29 September 1958. Ia menambahkan bahwa stbld. 1945 No.123 tidak berlaku di seluruh Indonesia hanya di daerah-daerah tertentu saja. Sedangkan menurut penulis sendiri (Andi Hamzah & Sumangelipu) pidana mati yang dilakukan dengan baik adalah stbld. 1945 No. 123 dengan alasan pasal 11 KUHP melakukan pidana mati dengan cara yang berlebihan.
.
Contoh kasus pidana mati di Indonesia dengan peraturan stbld. 1945 No. 123 dengan cara tempak pada masa itu adalah Wolter Monginsidi yang telah menjalankan pidana matinya pada tanggal 5 September 1949 di Pacinang (5 km dari Makasar) tanpa ditutup matanya karena permintaan dia sendiri.
.
Daftar Pustaka:
  • Dr. Andi Hamzah, S.H. & A. Sumangelipu, S.H. | Pidana Mati Di Indonesia - 'di masa lalu, kini, dan di masa depan' | Ghalia Indonesia: Jakarta Timur | Febuari 1985 / Mei 1984 |

Komentar