-->

Pidana Mati Dalam Hukum Adat - Andi Hamzah & Sumangelipu

Tidak ada komentar

Cover buku: Pidana Mati Di Indonesia.
Cover buku: Pidana Mati Di Indonesia.
Dr. Andi Hamzah, S.H. dan A. Sumangelipu, S.H. dalam buku mereka berdua yang berjudul Pidana Mati Di Indonesia - di masa lalu, kini dan di masa depan, menjelaskan juga bab mengenai hukuman mati yang diatur dalam hukum adat. Kalau tidak salah masalah ini dijelaskan dalam bab tiga. Sebagaimana pada berikut ini:
.

Pidana Mati Dalam Hukum Adat

Plakat yang terdapat pada tanggal 22 April 1808 oleh Deandels, pengadilan diperkenankan menjatuhkan pidana sebagai berikut:
  1. Dibakar hidup pada suatu tiang.
  2. Dimatikan dengan menggunakan keris.
  3. Dicap bakar.
  4. Dipukul.
  5. Kerja paksa pada pekerjaan umum.
Menurut Louwes, Deandels memberlakukan hal tersebut karena mengikuti hukum adat yang waktu itu terjadi di Indonesia. Karena sebenarnya hukum adat sudah terlebih dahulu mengatur pidana mati sebelum adanya pidana tertulis mengenai hukuman mati. Misalkan adalah Aceh yang waktu itu memberlakukan hukuman mati bagi seorang istri yang berzina. Ketika Sultan berkuasa disana, juga memberlakukan hukum adat seperti sebagai berikut:
  1. Tangan dipotong bagi pencuri.
  2. Dibunuh dengan lembing.
  3. Dipalang di pohon.
  4. Dipotong dagingnya (sajab).
  5. Ditumbuk kepala terpidana di lesung.
Kemudian di Sulawesi Selatan ketika Aru Palaka berkuasa (Sekutu VOC yang mengalahkan Sultan Hassanuddin), bagi Aru Palaka siapa yang membahayakan kekuasaannya seperti La Sunni (seorang raja setempat), dipancung kepalanya dan kemudian dibawa di hadapan Raja Aru Palaka sebagai bukti eksekusi sudah dilakukan. Sistem pemidanaan yang dipraktekkan Deandels masih berlaku hingga tahun 1948. Namun terdapat perbedaan mengenai cara pemidanaan yang lebih berperikemanusiaan tidak seperti plakat pada tahun 1908. Yaitu dengan pidana gantung.
.
Setelah KUHP 1915 diberlakukan, hukum pidana adat sudah tidak lagi menjadi strafbaar (dapat dipidana) melainkan menjadi strafmaat (ukuran pidana). Akan tetapi penulis (Andi Hamzah dan Sumangelipu) memandang bahwa KUHP yang penulis kenal waktu itu dirasa perlu adanya pengkodifikasian yang baru dengan mendasar pada hukum adat. Sebelum melakukan pengkodifikasian penulis (Andi Hamzah dan Sumangelipu) mengajak pembaca untuk mengenal beberapa hukum pidana adat mengenai pidana mati di beberapa daerah.
.
Di Gayo penjara menggantikan pidana mati. Di sana terkenal dengan pembalasan terhadap pembunuh. Misalnya terdapat seseorang yang membakar sebuah desa maka keluarganya akan turut terkena balasan yang impas.
.
Di Batak jika pembunuh tidak membayar uang salah dan keluarga korban menghendaki untuk pidana mati maka akan segera dilaksanakan pidana mati. Tetapi jika korban kejahatannya adalah orang-orang yang memerintah negara maka tidak mengenal denda berupa uang lagi hukuman yang akan diberikan berupa pidana mati. Bahkan orang yang melanggar pernikahan eksogami juga dipidana mati.
.
Di Minangkabau juga terkenal dengan pembalasan yang setimpal. Darah dibalas darah. Kalau pelaku tidak dapat membayar denda maka dilangsungkan pidana mati di depan umum dan diwajibkan warga Minang melihat langsung eksekusi yang akan dilakukan oleh keluarga korban. Keluarga korban yang akan melakukan eksekusi tersebut disebut “Mamak”. Prosesnya pertama adalah memuaskan dendam yang dirasakan keluarga korban terlebih dahulu dengan menyiksa pelaku menggunakan keris. Jika sudah terpuaskan maka langsung hunus bagian leher. Jika keluarga korban tidak ingin mengeksekusi maka akan dilakukan orang lain yang disebut dengan “Dubalang”.
.
Di Bali jika melakukan perkawinan sumbang akan dipidana mati, namun sekarang sudah diganti dengan pembuangan 10 tahun. Perkawinan sumbang adalah bersetubuh dengan istri dari pendeta rumah, kakak atau adik perempuan dari pendeta itu, istri dari gurunya, saudara perempuan bapak dan ibunya. Saudara perempuan dari kakek atau neneknya, mertuanya perempuan atau laki laki anak cucunya dari saudara laki-laki atau perempuan. Hukumannya adalah ditenggelamkan sampai mati.
.
Di suku Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dibunuh. Di Sulawesi Tengah seorang wanita bangsawan bersetubuh dengan pria budak akan dipidana mati. Di Sulawesi Selatan jika melakukan pemberontakan dan menolak untuk diasingkan maka setiap orang yang bertemu dengannya berhak membunuhnya.
.
Di daerah Bugis Makasar proses pidana mati adalah dengan cara menguburkan pelaku setengah badan di tanah di samping masjid kemudian dilempari batu oleh masyarakat. Di Pulau Bonerate proses pidana matinya dengan cara mengikat pelaku kemudian dibiarkan mati di bawah matahari tanpa diberi makan.
.
Di Tanah Toraja terdapat berbagai macam proses pidana mati. Ada yang dengan cara potong kepala, menusuk dengan tombak, mencekik dan membunuh dengan keris. Di Ambon, Maluku dan Ternate lebih sering membayar denda. Dan hanya kejahatan yang berat saja yang dipidana mati. Terkhusus di Ternate denda uang separuhnya akan dibagi pada orang yang hadir di sidang.
.
Di Majapahit pun sudah diterapkan hukuman pidana mati bagi orang yang melakukan pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah pada raja, perbuatan-perbuatan perusuh seperti mencuri, membegal, menculik, mengawinkan wanita larangan, meracuni dan menenung.
.
Penulis (Andi Hamzah dan Sumangelipu) menarik kesimpulan bahwa pidana mati sudah dikenal sebelum penjajah menerapkan nya di Indonesia. Bukanlah Belanda dengan W.v.S. (KUHP)nya yang dianggap mulai memperkenalkan pidana mati di Indonesia. Namun secara praktisnya hukuman mati sudah ada sejak dulu. Dan untuk pastinya saat Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan.
.
Daftar Pustaka:
  • Dr. Andi Hamzah, S.H. & A. Sumangelipu, S.H. | Pidana Mati Di Indonesia 'di masa lalu, kini, dan di masa depan' | Ghalia Indonesia: Jakarta Timur | Febuari 1985 / Mei 1984 |

Komentar