-->

Pendapat Tokoh Pro dan Kontra Pidana Mati - Andi Hamzah & Sumangelipu

Tidak ada komentar

Cover buku: Pidana Mati Di Indonesia.
Cover buku: Pidana Mati Di Indonesia.
Dalam buku Dr. Andi Hamzah, S.H. dan A. Sumangelipu, S.H. Pidana Mati Di Indonesia - di masa lalu, kini, dan di masa sekarang menjelaskan beberapa pendapat para tokoh yang pro dan kontra terhadap Pidana Mati. Dalam buku mereka, pendapat-pendapat ini dijelaskan pada BAB 2.
.

Pendapat Para Tokoh Pro Terhadap Pidana Mati

  • Jonkers – Indische Straf Stelsel
Jonkers membela untuk diberlakukannya hukuman mati dengan alasan bahwa pidana mati merupakan keputusan yang tepat untuk menghukum seseorang dalam kasus besar. Menurutnya pidana mati merupakan kebijakan yang cukup berat karena apabila terjadi kesalahan dalam memutuskan perkara atau kekhilafan yang dilakukan hakim, pidana mati tersebut tidak dapat ditarik kembali karena kenyataannya bahwa ia sudah dijatuhi hukuman mati dan itu sudah mutlak. Sedangkan ia dalam faktanya tidak bersalah dan tidak melakukan tindakan kriminal. Cara untuk mengganti rugi korban kekhilafan hakim tersebut hanyalah dengan pembersihan nama. Sehingga setidaknya memberikan keuntungan walaupun kecil untuk sanak saudaranya. Itulah menurut Jonkers mengenai kelemahan dalam pidana mati. Akan tetapi ia lebih beranggapan bahwa hakim dalam memutuskan suatu perkara didasari dengan alasan-alasan yang kuat sehingga kecil kemungkinan melakukan kesalahan yang fatal.
  • Drs. H.J. Van Schravendijk
Schravendijk sependapat dengan Jonkers. Ia membandingkan kekhilafan hakim dalam memutuskan suatu perkara terpidana mati sama seperti kesalahan dokter dalam menangani pasien sehingga menyebabkan kematian.
.
Tetapi penulis (Andi Hamzah & Sumangelipu) tidak sependapat dengan perbandingan yang dilakukan oleh Schravendijk. Dengan alasan bahwa niat dokter dan hakim sendiri berbeda. Hakim memang dengan sengaja hendak menghukum mati pelaku kriminal. Sedangkan dokter sendiri memiliki niat untuk mengobati atau menyembuhkan pasien. Akan tetapi karena kesalahan yang dilakukannya membuat pasien tersebut menjadi mati. Artinya dokter tidak sengaja membuat pasiennya mati. Sedangkan hakim sengaja ingin membuat mati.
  • Lamborso dan Garofalo
Lamborso dan Gorofalo berpendapat bahwa pidana mati merupakan keputusan yang sangat tepat untuk pelaku kejahatan yang tidak dapat diperbaiki atau tidak jera. Maka memidana mati adalah keputusan yang seharusnya diambil oleh suatu pengadilan. Menurut mereka berdua akan sangat repot memenjarakan pelaku kejahatan yang tidak ingin berubah lagi, ditambah membuatkan makan mereka, memberi kesejahteraan untuk mereka rasanya sangat tidak berguna, sedangkan mereka tidak jera. Dan negara dapat kehilangan kekuatannya apabila mereka berhasil melarikan diri.
.
Lamborso menambahkan dengan teorinya “delingquenten nato” dan berkesimpulan bahwa keputusan yang tepat untuk membuat jera mereka yang belum kapok atau masih melakukan kejahatan adalah dengan hukuman mati.
  • Mr. Dr. H.G. Rambonnet – Het wezen van de Straf’s Hertogenbosch
Rambonnet berpendapat bahwa peran negara ialah menjaga ketertiban hukum untuk masyarakatnya. Apabila terjadi pelanggaran yang menyebabkan terganggunya ketertiban hukum tersebut maka negara memiliki hak untuk meringkus pelaku tersebut. Meringkus dengan cara membalaskan perilaku yang dilakukan pelaku terhadap korbannya.
.
Apabila kejahatan tersebut tidak dapat dipulihkan atau justru meluas maka negara harus tegas dalam memberikan sanksi terhadap pelaku. Hukuman mati adalah hukuman yang tepat karena dengan hukuman mati adalah cara yang tepat untuk memutuskan kesejahteraan umum yang diberikan masyarakat terhadap pelaku yang tidak kapok. Memberikan makan di penjara saja masih merupakan pemberian kesejahteraan umum terhadap pelaku. Dan hanya hukuman mati yang dapat memberhentikan hal tersebut, setimpal dengan kejahatan yang dibuatnya.
  • B. Bawazijr – Wartawan Antara di Kairo – Berita Antara
Bawazijr menyatakan bahwa pidana penjara seumur hidup justru lebih menyiksa daripada pidana mati yang dilakukan hanya dengan sekali rasa. Alasannya adalah hukuman penjara seumur hidup dirasa membuat penderitaan seluruh hidupnya di dalam sel penjara. Dan ia beranggapan bahwa penjara seumur hidup dirasa tidak terlalu menakutkan sehingga kecil kemungkinan untuk mencegah kejahatan.
  • Hartawi A.M – The Death Penalty (Majalah Undip)
Hartawi memandang bahwa pidana mati adalah social defence, yaitu melindungi masyarakat dari gangguan-gangguan yang berupa ancaman, bahaya dan bencana yang hendak menimpa masyarakat. Demi menjamin terlaksananya perdamaian, kemerdekaan, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan negaranya maka hukuman mati dirasa sangat pantas.
.

Pendapat Para Tokoh Kontra Terhadap Pidana Mati

  • Ing Oei Tjo Lam – Sekitar Soal Hukuman Mati
Ing berpendapat bahwa tujuan dari pidana adalah untuk memperbaiki. Maka apabila diterapkan hukum pidana mati untuk pelaku kejahatan maka seseorang tersebut bukan diperbaiki melainkan justru merebut kesejahteraan umum pelaku tersebut.
  • Cesare Beccaria
Pada abad ke-18 terdapat seorang tokoh yang bernama Beccaria. Beliau tidak setuju dengan berlakunya pidana mati. Karena menurutnya hidup merupakan hak untuk setiap orang dan membunuh secara legal merupakan perbuatan yang tercela. Maka dari itu pidana mati menurutnya sangat tidak bermoral.
.
Alasan lain beliau menolak pidana mati adalah karena terdapat suatu kasus yang dialami oleh Jean Callas yang dituduh membunuh anaknya sendiri. Hakim memutuskan untuk pidana mati. Suatu saat terdapat seseorang yang dapat membuktikan bahwa Jean Callas tidak bersalah, yaitu seseorang yang bernama Voltaire. Kemudian hakim memutuskan untuk membersihkan nama baik Jean Callas. Menurut Beccaria hal tersebut sangat tidak memuaskannya karena nyawa orang yang tak bersalah telah diambil oleh kekhilafan yang dilakukan oleh hakim. Menurutnya keputusan tersebut sangat tidak adil untuk Jean Callas sendiri yang telah mati karena pidana mati.
.
Dengan adanya peristiwa tersebut, Beccaria kemudian menulis sebuah karangan “Dei Delitti E Delle Pene” pada tahun 1764. Isi dari buku tersebut adalah mengisyaratkan untuk mengikat hakim dengan peraturan yang tegas mengenai pidana dan menghendaki agar hakim satu-satunya yang berwenang menjatuhkan pidana.
.
Beccaria dalam dunia ilmu pengetahuan hukum sangat terkenal. Beliau berusaha untuk menghapuskan pidana yang melanggar perikemanusiaan. Beliau juga terkenal dalam meletakkan dasar pidana pada aliran klasik. Beliau menghendaki bahwa hukuman pidana harus disesuaikan dengan perbuatan yang dilakukan. Misalkan dalam kasus pencurian, harus terdapat perbedaan antara pelaku pencurian uang negara dengan pelaku pencurian yang dilakukan secara kecil-kecilan. Bukan justru sama memidanakannya dikarenakan kasusnya sama, yaitu pencurian.
  • Ferri (1990)
Ferri berpendapat bahwa pidana mati bukan lah tindakan yang tepat. Tetapi dengan hukuman penjara seumur hidup dirasa cukup untuk membuat efek jera pelaku.
  • Rolling (1933) – De Wetgeving tegen de zogenaamde Beroeps en Gewoonte Misdadiger
Rolling berpendapat bahwa pidana mati memiliki unsur destruktif, yaitu apabila suatu negara sudah tidak menghormati nyawa seseorang maka turut sertalah warga negaranya tidak menghormati nyawa orang lain. Maka bisa dikatakan orang-orang akan dengan mudah dan tanpa berdosa membunuh seseorang.
  • Prof. Hans von Hentig (1954)
Von Hentig beranggapan bahwa pidana mati merupakan perbuatan yang dapat menimbulkan demoralisasi. Menurutnya negara adalah tempat untuk mempertahankan nyawa masyarakatnya. Negara berkewajiban melindungi mereka. Pertama-tama adalah hidup mereka, kemudian kemerdekaannya, harta bendanya, keamanannya dan kehormatannya. Seharusnya negara dapat memperbaiki sikap pelaku kejahatan, mengajari mereka dan memberikan perlindungan kepada mereka. Membuat mereka belajar mengenai hak orang lain, membuat mereka menjadi jera, inshaf dan khilaf. Bukan malah sebaliknya, membuat mereka tidak dapat memperbaiki diri mereka karena sudah mati terpidana mati. Apabila diterapkannya hukuman mati, ia berpendapat bahwa negara tersebut tidak becus atau tidak mampu menangani masalah dalam negeri tersebut. – Die Strafe
.
Van Hentig juga menambahkan bahwa dengan menahan seseorang di dalam sel tahanan kita dapat mengadakan eksperimen yang sangat berharga. Hal ini tidak dapat terjadi apabila diberlakukannya pidana mati. – Crime Causes and Conditions
  • Prof. Mr. J.M. Van Bemmelen – Het Probleem van de Doodstraf (1948)
Van Bemmelen menggangap pemerintah tidak memiliki kemampuan dan lemah apabila menerapkan hukum pidana mati. Menurutnya pemerintah tidak sanggup melindungi warga negaranya dan tidak bertanggung jawab justru pemerintah memperburuk warga negaranya apabila menerapkan pidana mati.
  • Ernest Bowen Rowlands
Ernest Bowen Rownlands dalam bukunya “Judgment of Death” mengatakan bahwa pidana mati tidak dapat mengembalikan nyawa seseorang yang apabila dituduh bersalah tetapi kebenarannya tidak bersalah. Hanya saja karena kesalahan atau kekhilafan dari hakim, orang itu dianggap bersalah. Sedangkan apabila diberlakukan pidana penjara menurut Ernest kekhilafan hakim dapat diperbaiki karena nyawa korban kekhilafan hakim tadi belum dicabut dan kerugian yang korban alami dapat diganti maupun diperbaiki.
  • H. T. Damste “De Doodstarf” – Kolonial Tijdschrift (1917)
Damste berpendapat bahwa mendirikan penjara-penjara yang kuat dirasa sudah cukup untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan. Menurutnya pidana mati tidak memiliki keuntungan justru memberikan keburukan.
  • Modderman
Modderman menggambarkan bahwa memenjarakan pelaku kejahatan sama seperti mengumpulkan binatang buas pada kebun binatang. Kemungkinan untuk kabur sangat kecil karena terdapat beberapa keamanan. Justru membuat mereka menjadi jinak cukup besar kemungkinannya karena mereka akan terbiasa dengan sesuatu yang baik yang diajarkan oleh pawang mereka. Dan apabila terdapat yang mampu melarikan diri, menurutnya ia akan lebih takut bertemu binatang buas yang melarikan diri daripada penjahat kejahatan yang kabur tetapi sudah diketahui statusnya dan identitasnya sehingga kecil kemungkinan untuk melakukan kejahatan yang sama.
.
Daftar Pustaka:
  • Dr. Andi Hamzah, S.H. & A. Sumangelipu, S.H. | Pidana Mati Di Indonesia 'di masa lalu, kini, dan di masa depan' | Ghalia Indonesia: Jakarta Timur | Febuari 1985 / Mei 1984 |

Komentar