Apa yang ada di postingan ini adalah gambaran kecil yang penulis dapatkan dari kelas pak Bahiej. Karena kalau untuk detailnya jelas cukup banyak dan memakan waktu, karena banyak sekali analogi-analogi yang pak Bahiej jabarkan dan tentunya sangat istimewa sehingga hanya dikonsumsi secara pribadi hehe. Selamat membaca calon sarjana hukum Indonesia.
PERTEMUAN 1
Materi pertama yang akan dibahas pada pertemuan ini adalah mengenai pengertian dan fungsi dari Hukum Pidana. Sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
- Menentukan perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi
- Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar dapat dikenai sanksi pidana
- Menentukan cara bagaimana sanksi itu dapat dikenakan (Prof. Moeljatno)
- Ilmu hukum pidana: ilmu tentang hukumnya kejahatan.
- Bedakan dengan kriminologi (ilmu tentang kejahatan). Kriminologi adalah faktuelestrafrechtwissenschaft, sementara ilmu hukum pidana adalah normativestrafrechtwissenschaft
Obyek Ilmu Hukum Pidana
Beberapa ahli mengutarakan pengertian tentang obyek ilmu hukum pidana. Berikut adalah pengertian obyek ilmu hukum pidana dari beberapa ahli:
- Hazewinkel Suringa: obyek ilmu hukum pidana adalah berlakunya hukum terutama norma dan sanksi
- Pompe: obyek ilmu hukum pidana adalah keseluruhan hukum tertulis yang berhubungan dengan kelakuan yang dapat dipidana dan sanksi-sanksi.
- Barda Nawawi Arief: obyek ilmu hukum pidana itu abstrak, seperti obyek ilmu hukum, yaitu tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat.
Fungsi Hukum Pidana
Fungsi utama dari hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum orang atau masyarakat atau negara dari perbuatan-perbuatan yang hendak menyerangnya, dengan cara mengancam dengan sanksi berupa pidana (nestapa) bagi orang lain.
Sanksi Pidana (Kepentingan Hukum)
PERTEMUAN 2
Pada pertemuan yang kedua akan dibahas mengenai tujuan hukum pidana, tempat dan sifat hukum pidana.
Tujuan Hukum Pidana dibagi menjadi dua aliran, yakni:
- Aliran klasik dan
- Aliran modern
Pada Aliran Klasik hukum pidana bertujuan melindungi individu dari kekuasaan penguasa yang kemudian menghasilkan kepastian hukum yang mana hasil dari akibat rezim di Perancis yang sewenang-wenang (Revolusi Perancis abad XVIII). Selain itu pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Dan juga berpaham indeterminisme yakni memicu kebebasan manusia dalam berkehendak, sehingga hukum pidana menekankan pada perbuatan (daad-strafrecht).
Pada aliran klasik juga memiliki ciri "single track system", yakni sebuah sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Aliran klasik berpijak pada tiga asas utama yakni: Asas Legalitas; Asas Kesalahan atau Culpabilitas; dan Asas Pembalasan. Beberapa tokoh-tokoh aliran klasik: Cesare Baccaira dan Jeremy Bentham.
Pada Aliran Modern atau Aliran Positif hukum pidana bertujuan melindungi individu atau masyarakat dari kejahatan. Aliran positif mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dengan maksud mempengaruhi pelaku kejahatan secara positif sejauh dapat diperbaiki, misalnya adalah Teori Biologi Kriminal (Lombroso) dan Quetelet (Statistik Kriminal). Pada Aliran Positif hukum pidana berorientasi pada pelaku (dader-strafrecht). Berpijak pada 3 pilar, yakni: Memerangi kejahatan; Memperhatikan ilmu lain; Ultimum remidium.
Perbedaan Aliran Klasik-Modern
Klasik | Modern |
---|---|
Legal Definition of Crime: Kejahatan adalah sebagaimana diatur atau disebut di dalam UU | Natural Crime: Tidak sebatas pada yang diatur di dalam UU, tetapi juga yang dianggap jahat oleh masyarakat. |
Hanya pidana yang mampu membasmi kejahatan. | Pidana saja tidak mampu membuat pelaku menjadi lebih baik |
Manusia berkehendak bebas (indeterminisme-qodariyah), sehingga hukum pidana menitikberatkan pada perbuatan (daad-strafrecht) | Manusia tidak berkehendak bebas (determinisme-jabariyah), sehingga hukum pidana menitikberatkan pada pelaku (dader-strafrecht) |
Pidana mati untuk kejahatan tertentu | Menghapuskan pidana mati |
Dengan metode anekdot | Dengan metode penilitian atas pengalaman |
Definite Sentence: Legislatif menentukan sanksi pidana secara pasti, tidak ada kebebasan hakim | Indeterminate Sentence: Legislatif mencantumkan pidana minimum dan maksimum |
Lalu ada lagi Aliran Neo-Klasik, yakni hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan dan pelaku (daad-dader strafrecht). Manusia mempunyai kehendak bebas (indeterminisme/qodariyah) namun ada faktor-faktor yang dapat meringankan dalam pertanggungjawaban pidana.
Tempat dan Sifat Hukum Pidana
- Zaman dahulu, tidak dipisahkan antara hukum publik dan hukum privat.
- Gugatan atau pengaduan atau tuntutan berasal dari pihak yang dirugikan. Negara hadir jika ada gugatan atau pengaduan atau tuntutan dari pihak yang dirugikan. Wo kein Klager ist, ist kein Richter (jika tidak ada aduan, maka tidak ada hakim).
- Saat ini, hukum pidana adalah kepentingan umum atau publik, maka negara hadir dan mewakili individu yang dirugikan dalam penuntutannya (kecuali didalam delik aduan).
- Hukum pidana sebagai hukum publik: negara mewakili individu yang dirugikan dalam menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana.
- Van Bemmelen mengartikan hukum pidana itu sama seperti hukum yang lain, tetapi dari satu segi dia menyimpang dari hukum lain (pedang bermata dua), yaitu penambahan pemberian penderitaan dengan sengaja. Oleh karenanya, hukum pidana itu ultimum remidium (obat terakhir jika hukum yang lain tidak mampu mengatasi masalah).
PERTEMUAN 3
Pada pertemuan ketiga pada kelas Hukum Pidana yang diampu bapak Ahmad Bahiej, beliau menjelaskan mengenai "Sistem Hukum Pidana Indonesia dan Sejarah KUHP".
Hukum Pidana Materiel di Indonesia
- Sumber utama: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan nama asli Wetboek van Strafrecht (WvS)
- Berlaku di Indonesia sejak tahun 1946 (setelah kemerdekaan RI) dengan UU Nomor 1 Tahun 1946.
- Merupakan warisan kolonial Belanda yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918.
- Sumber lain: UU yang dibuat oleh RI (Korupsi, Lalu Lintas, Narkotika, Psikotropika, Terorisme, dll)
Sejarah Pembentukan KUHP bermula dengan adanya:
🔻
Code Penal (Perancis, Napoleon Bonaparte) yang berlaku 1811-1886
🔻
Wetboek van Strafrecht Nederlansch, dibuat: 1881, berlaku: 1886
🔻
Asas Konkordansi
🔻
Wetboek van Strafrecht Nederlansch Indie (WvSNI). Koninklijk Besluit (Titah Raja) No. 33, 15 Oktober 1915, berlaku: 1 Januari 1918
🔻
Wetboek van Strafrecht (WvS) dapat dibaca “KUHP”. UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia
🔻
UU No. 73 tahun 1958 yang memberlakukan UU No. 1 tahun 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia
Sejarah Pemberlakukan Hukum Pidana Belanda di Indonesa
Tahun | Peristiwa | Selisih Waktu |
---|---|---|
1810 | Code Penal diberlakukan di Perancis | 1 Tahun |
1811 | Code Penal diberlakukan di Belanda | 56 Tahun |
1867 | Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda | 6 Tahun |
1873 | Wetboek van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda | 8 Tahun |
1881 | Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda | 5 Tahun |
1886 | Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda | 29 Tahun |
1915 | Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda | 3 Tahun |
1918 | Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia Belanda | 28 Tahun |
1946 | Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia | |
Total 136 Tahun |
Sistematika KUHP
KUHP terdiri dari:
- Buku I "Aturan Umum" terdiri dari Pasal 1-103, Bab I - IX
- Buku II "Kejahatan" terdiri dari Pasal 104 - 488, Bab X - XXXXI
- Buku III "Pelanggaran" terdiri dari Pasal 489 - 569, Bab XXXXI - XXXXXX
Hukum Pidana Khusus yakni aturan Pidana dalam UU di luar KUHP, terdiri dari UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Terorisme, UU HAM, UU KDRT, dan lain-lain.
PERTEMUAN 4
Materi yang dibahas pada pertemuan keempat adalah mengenai "Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia" yakni suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia (Barda Nawawi Arief).
Alasan Perlunya Pembaharuan Hukum Pidana :
- sosiologis
- politis
- praktis
- adaptif
Aspek Pembaharuan Hukum Pidana. Ada tiga aspek yang terdapat pada pembaharuan hukum pidana, yakni secara Struktur atau Perangkat, Substansi atau Materi Hukum Pidana, dan Legal Cultur.
1. Struktur atau Perangkat Hukum Pidana (Legal Structure Reform)
- kepolisian
- kejaksaan
- kehakiman
- advokat
- sipir LP, dan lain-lain
2. Materi Hukum Pidana (Criminal Law Reform)
- hukum pidana materiel
- hukum pidana formil
- hukum pelaksanaan pidana
3. Kultur Hukum (Legal Culture Reform)
- ilmu hukum pidana (criminal science reform)
- perilaku hukum masyarakat
Beberapa Perubahan KUHP (Pembaharuan Hukum Pidana Materiel secara Parsial/Tambal Sulam)
UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana | merubah WvSNI menjadi WvS atau KUHP, perubahan beberapa pasal, krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong |
UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan | menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan (Pasal 10) |
UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi | menambah kejahatan praktek dokter (Pasal 512a) |
UU No. 73/1958 tentang Berlakunya UU No. 1/1946 di Seluruh Wilayah RI | menambah Pasal 52a, 142a, 154a |
UU No. 1/1960 tentang Perubahan KUHP | Pasal 359 diperberat menjadi pidana penjara maks. 5 th atau kurungan maks. 1 th. Pasal 360 (1): penjara maks 5 th atau kurungan maks. 1 th. Pasal 360 (2): penjara maks. 9 bulan atau kurungan maks. 6 bulan atau denda maks. 300 |
UU No. 16 Prp/1960 tentang Beberapa Perubahan dlm KUHP | dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 (1) menjadi Rp. 250,- |
UU No. 18 Prp/1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda | pidana denda dilipatkan 15 X |
UU No. 1/1965 tentang Pencegahan dan atau Penodaan Agama | menambah Pasal 156a |
UU No. 7/1974 tentang Penerbitan Perjudian | Pasal 542 (Buku III) menjadi Pasal 303 bis (Buku II) dan memperberat pidananya |
UU No. 4/1976 tentang Perubahan KUHP dan Kejahatan Penerbangan | memperluas Pasal 3 dan 4 terhadap “pesawat udara”, menambah Pasal 95a, 95b, 95c, menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan |
UU No. 27/1999 Kejahatan terhadap Keamanan Negara | menambah Pasal 107a-f |
UU No. 2/PnPs/1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati | mengganti Pasal 11 menjadi “ditembak mati" |
UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi | mengubah Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435. |
PERTEMUAN 5
Pada pertemuan kelima akan dibahas mengenai "Asas Legalitas dan Asas Temporis Delicti" dengan beberapa contoh yang akan dijabarkan dibawah ini.
Kekuatan berlakunya hukum pidana Indonesia menurut waktu: mempertanyakan kapan hukum pidana Indonesia diberlakukan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang. Menjawab pertanyaan ini, hukum pidana menentukan secara tegas dengan asas yang fundamental, yaitu asas legalitas dan asas temporis delicti.
Asas Legalitas adalah sesorang dapat dipidana jika telah ada aturan atau perundang-undangan pidana yang mengatur bahwa perbuatannya merupakan tindak pidana. Dengan asas legalitas ini maka ketentuan hukum pidana harus ada sebelum perbuatan dilakukan.
Asas Legalitas dalam KUHP
Pasal 1 (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepalingen.
Asas Legalitas dalam Hukum Nasional
Pasal 1 ayat (1) KUHP à UUD Republik Indonesia Serikat menyebut dalam Pasal 14 (2). UUD 1945 menyebut asas legalitas dalam Pasal 28 I (Amandemen II).
Di Luar Negeri terdapat di:
- Pasal 7 Konstitusi Perancis,
- Pasal 103 Konstitusi Jerman,
- Pasal 14 Konstitusi Belgia,
- Pasal 25 Konstitusi Spanyol,
- Pasal 25 Kontitusi Itali,
- Pasal 42 Konstitusi Polandia,
- Pasal 29 Konstitusi Portugal,
- Pasal 16 Konstitusi Belanda.
Masalah Kasus I
Sumanto, pada tahun 2003 di Purbalingga mencuri mayat seorang nenek yang baru saja dikubur dan memakan daging mayat tersebut. “Makan mayat” tidak disebut dalam KUHP sebagai tindak pidana. Namun, Sumanto tetap dipidana 5 tahun karena melanggar larangan dalam Pasal 180, 181, dan 363 KUHP.
Masalah Kasus II
Pada tahun 1978, di Sumatera Utara, seorang pria yang sudah berkeluarga bernama Martua Raja Sidabutar (perkerjaan kontraktor) berpacaran dengan seorang gadis di bawah umur bernama Katarina Boru Siahaan. Selama masa pacaran, Martua berjanji (ada bukti surat) akan segera mengawini Katarina. Tertarik pada janji ini, Katarina akhirnya bersedia menyerahkan kegadisannya kepada Martua. Setelah merenggut kegadisan Katarina, Martua melanggar janji ini. Pihak Katarina kemudian melapor ke polisi. Kasus ini diproses secara pidana, sampai akhirnya diadili di PN Medan.
Jaksa menuntut terdakwa melanggar pasal-pasal berikut secara kumulatif:
- Pasal 293 KUHP jo Pasal 5 ayat (3) UU Drt 1951 (perbuatan cabul dengan anak di bawah umur)
- Pasal 378 KUHP (penipuan)
- Pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan)
Putusan PN Medan No. 571/KS/1980/PN Mdn, tanggal 5 Maret 1980 menyatakan bahwa terdakwa Martua terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan cabul dengan perempuan yang bukan isterinya (Pasal 293 KUHP). Terdakwa dihukum 3 bulan penjara, tetapi tidak akan dijalankan dengan masa percobaan 6 bulan.
Jaksa kemudian melakukan banding. PT Medan, dengan Putusan Nomor 144/Pid/1983/PT Mdn, yang saat itu diketuai Bismar Siregar, memidana Martua karena penipuan barang berdasar Pasal 378 KUHP. Martua dipidana 3 tahun.
Menurut PT Medan, kasus tidak memenuhi unsur tindak pidana Pasal 293 “barang” dalam bahasa Tapanuli (=borang) berarti juga kemaluan. Terdakwa melakukan banding ke Mahkamah Agung (MA). MA dengan Putusan Reg. No. 1480/Pid/1985 membatalkan Putusan PT Medan dan menyetujui Putusan PN Medan. MA menganggap PT Medan telah melakukan analogi.
Masalah Kasus III
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
UU Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan UU Nomor 15 Tahun 2003 untuk Kasus Bom Bali 12 Oktober 2002.
Prinsip Asas Legalitas (Machteld Boot)
Nullum crimen, noela poena, sine lege praevia: tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa ada undang-undang sebelumnya ➤ tidak boleh berlaku surut.
Nullum crimen, noela poena, sine lege scripta: tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa ada undang-undang tertulis ➤ tidak boleh tidak tertulis.
Nullum crimen, noela poena, sine lege certa: tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa ada undang-undang yang jelas ➤ tidak boleh multi tafsir
Nullum crimen, noela poena, sine lege stricta: tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa ada undang-undang yang ketat ➤ tidak boleh analogi.
Asas Temporis Delicti
- Tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu.
- Jika terjadi perubahan perundang-undangan pidana setelah tindak pidana itu dilakukan maka dipakai ketentuan yang paling meringankan terdakwa. ➤ hanya berlaku bagi terdakwa?
- Lihat perkembangannya dalam RUU KUHP Pasal 3
PERTEMUAN 6
Pertemuan keenam yang mana juga bagian akhir dari postingan ini. Untuk pertemuan ketujuh dan selanjutnya akan ada di postingan berikutnya. Pada pertemuan ini akan dibahas mengenai "Sejarah, Konsekuensi, dan Perkembangan Asas Legalitas".
Sejarah Asas Legalitas
Zaman Romawi sampai zaman Louis XVI di Perancis, kesalahan seseorang ditentukan oleh raja. Hal ini menimbulkan reaksi dari beberapa tokoh terkemuka seperti: Montesqueau dengan "L’esprit des Lois" (1748) dan J.J. Rousseau dengan "Du Contract Social" (1762). Pada akhirnya menghasilkan sebuah perubahan yang disebut dengan Revolusi Perancis (1789-1799) "Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789)". Kemudian dilanjutkan oleh Napoleon Bonaparte (Pasal 4 Code Penal, 1810)
Anselm von Feuerbach Lehrbuch des peinlichen Recht (1801) “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali”
Konsekuensi Asas Legalitas
Tindak pidana harus disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, konsekuensinya:
- Yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat dipidana (muncul masalah kasus I)
- Larangan analogi (muncul masalah kasus II)
UU itu harus ada sebelum terjadi tindak pidana, konsekuensinya aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif), (muncul masalah kasus III)
Perbuatan yang dianggap “jahat” menurut hukum adat atau agama tetapi tidak ada dalam KUHP:
- Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951
- Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Prof. Barda Nawawi Arief "asas legalitas materiel". Lihat perkembangannya dalam RUU KUHP 2013 à Pasal 1 dan 2