-->

Thread: Cak Nun dan Fir'aun

Tidak ada komentar

Dalam bukunya, Joseph Butler berkata bahwa bukan cinta diri (egoisme) yang paling mencelakakan manusia, melainkan ketidakmampuan manusia untuk menguasai dorongan-dorongan irasionalnya.

Salah satu dorongan irasional adalah nafsu terhadap Surga. Segala perbuatan di dasari keinginan Surga dan takut akan Neraka. Bukan atas dasar logikanya.

Mari kita analogikan begini: 10 adalah hasil dari 1+9. Juga 2+8, 3+7, 4+6, pula 5+5. Selanjutnya mari kita beri contoh kasus.

Ada perempuan yg ban kendaraannya bocor di jalanan. Kita anggap 10 adalah perbuatan "menolong perempuan itu". Namun ada niat yg berbeda dari setiap orang yg ingin menolong perempuan ini.

Mari kita anggap 1+9 adalah orang yg menolong karena niatnya ingin berbuat baik demi Surga.

2+8 adalah org yg menolong krn ingin berkenalan dengan perempuan ini. Dan berharap dekat.

3+7 adalah org yg menolong krn ingin ditolong balik oleh org lain apabila dirinya mengalami kejadian demikian.

4+6 adalah org yg menolong krn si perempuan salah satu anggota keluarganya.

Sedangkan 5+5 org yg menolong karena memang harus demikian perbuatannya. Ia menggunakan rasionalnya dalam memutuskan kebijakannya yg menghasilkan suatu putusan yg ber'etika'.

Kesemuanya adalah perbedaan niat yg menghasilkan 10 (menolong). Terlihat sama saja, yg penting menolong, namun sebenarnya berbeda.

Mari kita gunakan logika matematika dlm memecahkan perkara ini. Untuk yg pertama (1+9) kita skip. Karena keistimewaannya, 1+9 akan dibahas diakhir.

2+8

Premis 1: jika si A menolong, maka yg ditolong adalah seorang perempuan.

Premis 2: yg terkena musibah laki².

Maka konklusinya adalah negasi dari premis 2. A gak akan menolong. Karena bukan perempuan yg terkena musibah.


3+7

Premis 1: A mau menolong orang lain, karena mengharap suatu saat ditolong balik oleh orang lain juga.

Premis 2: A tidak ditolong balik oleh orang lain.

Maka konklusinya adalah si A menjadi kapok menolong orang lain karena tidak sesuai dengan ekspetasinya.


4+6

Premis 1: jika A menolong, maka yg ditolong adalah anggota keluarganya:

Premis 2: yang terkena musibah bukan anggota keluarganya.

Maka konklusinya A tidak menolong karena tidak merasa wajib menolong yg bukan anggota keluarganya.


5+5

Premis 1: A menolong, karena memang seharusnya memang ditolong berdasarkan logikanya.

Premis 2: keputusan logikanya tidak menolong.

Maka konklusinya A tidak menolong. Untuk mendetailkan ini akan sangat panjang karena berkaitan dengan putusan etika. Tapi ia berasional.

Sedangkan 5+5 adalah keputusan beretika yg idealnya masyarakat harus demikian. Sehingga ia memiliki nilai pada dirinya sendiri dan tidak terikat dengan sesuatu yg sifatnya irasional, seperti nafsu dan keinginan terhadap Surga.

Untuk yg satu ini (1+9) tidak menggunakan logika matematika. Karena Surga sendiri bagi sebagian orang, sudah tidak rasional.

Bahkan dalam rukun Iman agama Islam (agama saya), Surga dan Neraka tidak termasuk dalam keenam rukun Iman pokok ajarannya.

Bahkan ada perdebatan mengenai Sunan Kalijaga yg rumornya tidak mempercayai Surga. Namun setelah saya cross cek dgn salah satu buku milik kawan, Sunan Kalijaga mengimani Surga. Tetapi presentase mengimaninya sangat sedikit. Yg paling banyak adalah mengimani Tuhan.

Kenapa demikian? Karena menaruh iman kepada Surga akan mengganggu proses Manunggaling Kawula Gusti. Panjang kalau bahas MKG

Berbuat baiklah karena memang hal itu memang baik. Sedemikian baik. Mengesampingkan keberpihakan, bahkan keuntungan pribadi.

Orang yg bernafsu Surga kecewanya melebihi org yg niat menolongnya karena ingin mendekati perempuan. Atau niat karena ingin ditolong balik oleh orang lain.

Ekspetasi org yg bernafsu Surga sangat tinggi. Sangat² tinggi dari orang tadi yg disebutkan di atas.

Maka dalam alam sadarnya mudah dipengaruhi oleh sesuatu yg imajinatif. Otaknya rentan disusupi ideologi² yg kaku. Karena hidupnya hanya memandang satu arah, Surga. Nietzsche membenci orang² ini. Makanya ia mengatakan jadilah adi manusia. Jangan pecundang yg menuruti perintah.

Sebagaimana kata Joseph Butler dorongan² irasional lah yg paling mencelakakan manusia.

Mari membahas contoh masalah Cak Nun.

Secara pribadi memang saya mengagumi Cak Nun secara pemikiran dan filsafat, namun tidak serta-merta menyatakan bahwa beliau adalah makhluk sempurna.

Tidak juga terlalu meninggikan beliau, karena tempat yg paling tinggi adalah Rasullullah. Sehingga memaklumi manusia seperti beliau mengebu-ngebu dalam berdakwah dan melakukan kesalahan.

Namun banyak pendukung beliau yg kecewa, sangat kecewa. Dan menjadikan rasa suka mereka yg dulu mengidolakan beliau menjadi benci hingga tidak menaruh respek kepada beliau.

Ini seperti mengimani Surga. Ekspetasi yg mereka berikan terlalu tinggi.

Sehingga mereka goyah. Dan keyakinan mereka runtuh. Yg artinya orang² ini bagi Nietzsche adalah orang² pasar. Orang² ini perlu seorang imam untuk penunjuk jalan mereka. Bagaikan nahkoda. Jika kapal membelok sedikit saja, penumpang berhamburan keluar meninggalkan sang imam.

Dan menunjuk imam lain untuk ditumpangi. Menuju kemana? Ya menuju ke Surga impian mereka. Inilah org² sekarang yg justru membahayakan. Karena mereka mengambil suatu keputusan bukan atas dasar kehendaknya sendiri. Melainkan memerlukan imam untuk dijadikan pedoman.

Mereka menyadari mereka terbatas. Tapi sayangnya tidak ada logika dari mereka yg menghendaki keluar dari batas pikiran mereka.

Mereka seperti 1+9, 2+8, 3+7, dan 4+6. Jika tidak sesuai ekspetasi, muncul kecewa, berlebihan, acuh, dan tidak mempedulikan ilmu yg sudah diberikan.

Bukan dari siapanya. Tapi apa. Wkwkw

Demikian tulisan ini ditulis akibat keresahan² akhir² ini yg bagi saya sendiri perlu menulisnya dengan jujur berdasarkan etika (5+5).

Demikian #onemonthonethread. Semoga segera kelar untuk.., berapa pihak ya ini? Wkwk.

Demikian Sabda Reza.

Mengutip kalimat dari @PartaiSocmed :

Cak Nun bukan tokoh yg boleh dimusuhi karena selain massanya banyak beliau juga tidak punya utang apapun pada penguasa. Biarkan saja beliau merdeka menyuarakan pendapatnya sebagai bentuk kecintaannya pada negeri ini.

Sekian, Sabda Reza.

Source: twitter.com

Komentar