Pagi sunyi sebagaimana biasanya. Ku isi dengan menyelesaikan skripsi. Belum ada satu jam, sudah lelah dengannya. Gantilah dengan membaca buku. Belum juga ada satu jam, kantuk menyerang. Keduanya terlalu sulit. Kutengkurapkan raga diatas busa lembut. Mataku terpejam. Nikmatnya pagi. Nikmatnya di alam mimpi.
Mimpi itu tentang malam. Aku melewati jalan beraspal. Kecil jalan itu. Seperti jalan desa. Di sekilingnya banyak pohon, hutanlah kanan kiriku. Waktu itu malam, dan tidak terjadi sesuatu. Lupa aku berbuat apa di mimpi itu. Hanya satu yg kuingat. Di malam berikutnya aku berjalan lagi. Di jalan yang sama. Banyak pohon di sekilingnya. Bahkan daun-daun pohon itu menutupi jalan. Mencegah cahaya bulan menyinariku. Aku berjalan seperti kemarin. Tapi tiba-tiba ada yang berteriak dari atas. Dia tidak tertawa. Dia berteriak. Dia berpakaian putih. Dia adalah Kuntilanak. Suaranya sangat kencang. Aku merasakan powernya. Powernya sangat besar sekali.
Ketika menulis ini pun aku dalam keadaan menangis. Entah karena takut, atau karena sedih karena sesuatu yang mungkin sedang dialami Kuntilanak itu. Bahkan ketika aku sudah membuka mata, power itu masih terasa besarnya. Membuatku tidak bisa bergerak dalam tengkurap ini. Sialan, besar sekali kekuatannya.
Awalnya aku larut dalam teriakannya. Kubiarkan diriku diseret menuju teriakannya. Kubiarkan diriku lemas. Aku seperti sedang ditindih. Berat sekali dan hanya bisa menuruti teriakan itu. Namun, aku yang lain berusaha menguasai raga. Menolak kekuatan itu dengan kekuatanku sendiri. "Bangkitlah," katanya. Tiba-tiba semua kembali normal. Kecuali satu, prasangkaku. Apakah yang demikian itu? Apa tadi yang di mimpi itu? Apakah Kuntilanak itu sedang menceritakan kesedihannya? Kenapa aku menangis?
Jangan mau seperti Kuntilanak. Kuntilanak itu penuh kepalsuan. Dia tertawa, padahal dirinya sedih. Dia menangis, padahal dirinya bahagia. Dia tidak menghormati dirinya sendiri. Menikmati kepalsuannya demi makhluk-makhluk lain. Terkadang dia menangis juga tertawa. Kepalsuan telah menggelapkan hatinya hingga tak mampu membedakan ekspresi. Upaya itu dilakukan agar makhluk-makhluk lain mengakui eksistensinya. Padahal mayoritas manusia memandangnya dengan rasa takut dan jijik. Jangan mau seperti Kuntilanak.
Tulisan ini ditulis pasca aku ditindih oleh Kuntilanak di dalam mimpi. Dia berteriak kencang, hingga gendang telinga agak sakit. Pandanganku kabur, raga bergoyang-goyang, seakan sedang gempa. Dalam keadaan bangun pun aku masih merasakan kekuatan teriakan itu. Teriakan yang untuk pertama kalinya aku rasakan teriakan asli dari ekspresinya.