-->

Ekspresi Asli Kuntilanak

Tidak ada komentar

Ekspresi Asli Kuntilanak

Pagi terasa sunyi sebagaimana biasanya. Kuisi waktuku dengan menyelesaikan skripsi. Belum ada satu jam, kurasakan capek ada pada pikiranku. Kucoba ganti aktivitas dengan membaca buku. Tapi belum juga ada satu jam, kantuk menyerang. Keduanya terlalu sulit. Kutengkurapkan raga di atas busa lembut. Mataku terpejam. Nikmatnya pagi, nikmatnya di alam mimpi.

Mimpi itu tentang malam. Aku melewati jalan beraspal. Kecil jalan itu. Seperti jalan desa. Di sekilingnya banyak pohon, hutanlah kanan kiriku. Waktu itu malam, dan tidak terjadi sesuatu. Lupa aku berbuat apa di mimpi itu.

Di malam berikutnya aku berjalan lagi. Di jalan yang sama. Banyak pohon di sekilingnya. Bahkan daun-daun pohon itu mencegah cahaya bulan menyinariku. Aku berjalan kaki sebagaimana ku lakukan di malam pertama. Tapi tiba-tiba ada yang berteriak dari atas. Dia tidak tertawa. Dia berteriak. Dia berpakaian putih. Dia adalah Kuntilanak. Suaranya sangat kencang. Aku bisa merasakan kekuatannya. Kekuatan itu sangat besar.

Ketika menulis ini pun aku dalam keadaan menangis. Entah karena takut, atau karena sedih karena sesuatu yang mungkin sedang dialami Kuntilanak itu. Bahkan ketika aku sudah membuka mata, kekuatannya masih terasa besarnya. Membuatku tidak bisa bergerak dalam tengkurap ini.

Awalnya aku larut dalam teriakannya. Kubiarkan diriku diseret menuju teriakannya. Kubiarkan diriku lemas. Aku seperti sedang ditindih. Berat sekali dan hanya bisa menuruti teriakan itu. Namun, aku 'yang lain' berusaha menguasai raga. Menolak kekuatan itu dengan kekuatanku sendiri. "Bangkitlah," katanya. Tiba-tiba semua kembali normal. Kecuali satu, prasangkaku. Apakah yang demikian itu? Apa tadi yang di mimpi itu? Apakah Kuntilanak itu sedang menceritakan kesedihannya? Kenapa aku menangis?

Jangan mau seperti Kuntilanak
Kuntilanak itu penuh kepalsuan
Dia tertawa, padahal dirinya sedih
Dia menangis, padahal dirinya bahagia

Dia tidak menghormati dirinya sendiri
Menikmati kepalsuannya demi makhluk-makhluk lain
Terkadang dia menangis juga tertawa
Kepalsuan telah menggelapkan hatinya, hingga tak mampu membedakan ekspresi

Upaya itu dilakukan agar makhluk-makhluk lain mengakui eksistensinya
Padahal mayoritas manusia memandangnya dengan rasa takut dan jijik
Jangan mau seperti Kuntilanak.

Tulisan ini ditulis pasca aku ditindih oleh Kuntilanak di dalam mimpi. Dia berteriak kencang, hingga gendang telingaku sakit. Pandanganku kabur, raga bergoyang-goyang, seakan-akan terjadi gempa. Dalam keadaan bangun pun aku masih merasakan kekuatan teriakan itu. Teriakan yang untuk pertama kalinya aku rasakan, teriakan asli dari ekspresinya.


Sukoharjo,

16 November 2022

Komentar