-->

Tuhan telah Mati, di Kanjuruhan

Tidak ada komentar

Tuhan telah Mati, di Kanjuruhan

Aku sedang suka-sukanya baca buku soal ketidakbertuhanan beberapa tokoh. Ada karyanya Nietzsche. Ada juga tentang kehidupan Elie Wiesel. Ketika baca buku tersebut, aku berusaha bersikap objektif. Segala jenis buku sih, tak soal atheis doang. Jadi sebelum baca, aku taruh moral dan agamaku di suatu tempat. Aku simpan. Dan aku ngebaca tiap kata di buku itu dengan rasional. Sehingga aku bisa berimajinasi dari apa yang aku baca tanpa ada moral dan agama yang ngebatesinnya. Apa yang dialami penulis ketika nulis buku itu bisa tersampaikan. Kadang berimajinasi what if he is me. Aku hidup di buku itu menjadi dia, si penulis. Walaupun secara pasti ga sama persis. Tapi feelnya dapet.

Jika ngebaca bukunya Elie Wiesel, Malam, ada kisah tragisnya. Tentang Wiesel muda yang hidup pada zaman Nazi. Dia dikekang secara fisik dan psikis oleh pasukan Nazi. Maka, hal yang wajar bagiku, andaikan menjadi Wiesel remaja, mempertanyakan keberadaan Tuhan yang dari kecil aku sembah, tapi sekarang ketika aku benar-benar membutuhkan kekuatan-Nya dia tak hadir. Malah, aku (masih menjadi Wiesel) melihat orang-orang disekitarku semakin tersiksa. Padahal tiap malamnya mereka yang disiksa ini selalu melantunkan puji-pujian untuk Tuhan. Lantas, di mana Tuhan?


Jika aku menjadi Elie Wiesel

Ketika membaca Malam karya Wiesel, aku berimajinasi menjadi seperti dirinya. Seorang Yahudi, yang lahir di masa Nazi. Di dalam tahanan, di hari pertama dalam kamp Auschwitz, aku sudah dilihatkan Yahudi lain dibakar hidup-hidup di dalam kremator. Baik tua maupun balita, atau mereka yang dianggap beban dan tak bisa dimanfaatkan tenaganya, akan di bakar di sana. Melihat momen itu, aku masih mempercayai Tuhan. Minta kepada-Nya untuk dikuatkan.

Di dalam kamp, aku dilihatkan ketidakmanusiawian, juga menjadi korban ketidakmanusiawian. Aku masih bertuhan dan berdoa. Bahkan ketika melihat ayahku sendiri disiksa di depan mata, tapi tak mampu berbuat apa-apa, aku masih bertuhan dan berdoa.

Hingga ada suatu peristiwa, orang yang paling baik di dalam kamp layaknya malaikat, dihukum gantung di depanku. Badannya mungil, sehingga membutuhkan waktu yang lama hingga malaikat itu benar-benar mati. Tubuhnya tersedak-sedak di bawah tali gantung. Bergerak-gerak menuju ajal. Semua orang Yahudi dipaksa melihat momen itu.

Seseorang dibelakang bertanya, "Di mana Tuhan?"

Di dalam hati aku menjawab, "Dimana Tuhan? Tuhan ada disini, dibunuh di tiang gantungan."

"Hari ini aku berhenti memohon. Tak kuat lagi meratap. Akulah penggugat. Tuhan yang digugat."

Jika aku seorang Yahudi. Jika aku tahanan Nazi. Jika aku berlogika. Aku pasti juga tidak akan bertuhan semenjak itu, sebagaimana yang dialami Wiesel. Karena aku tidak bisa memilih lahir dari rahim siapa. Dan aku tidak bisa menolak darah Yahudi di dalam tubuhku.

Semuanya mutlak, ga bisa diganggu gugat. Setelah lahir menjadi seorang Yahudi, ketidakadilan tak bisa dihindarkan. Hidup dalam keterbatasan ilmu, keterbatasan kebebasan, keterbatasan pikiran, dan keterbatasan iman. Lalu dimana datangnya Rahmat?

"Akulah penggugat, Tuhan yg digugat"

Sepakat dengan ketidakbertuhanan Wiesel bukan berarti mengindikasikan bahwa aku tidak bertuhan. Sebaliknya, malah aku bersyukur karena memiliki kebebasan hidup seperti sekarang. Bebas mengimani, bebas berpikir, dan bebas berkreasi.

Sekali lagi, bagaimana bisa aku mendapatkan rahmat Tuhan, jika sejak usia remaja, usia-usia pada umumnya mampu berlogika, aku menghadapi keterbatasan dan menjadi tahanan Nazi. Sedihnya menumpuk, dan Tuhan tak memberikan jawaban apa-apa. Justru makin disiksa. Lantas, di mana Tuhan?

***

Sedangkan Nietzsche, tidak mempercayai akan adanya penciptaan jagat. Yang dipercaya Nietzsche, bahwa jagat adalah sesuatu yang berulang dan selalu berkesinambungan. Karena tak percaya akan adanya penciptaan jagat, dia tak percaya akan adanya Tuhan, Sang Pencipta. Mengenai pandangan ini agak susah untukku bersikap objektif. Karena aku belum sampai setinggi itu membahas mengenai ‘Ciptaan’. Sudah berusaha objektif tapi agama mendokbrak, memaksa masuk.

Pada masalah yang berbeda, Nietzsche mengatakan “Tuhan telah Mati”. Kata ‘telah’ memberikan pernyataan bahwa Tuhan itu ada, dulu, sekarang mati. Pernyataannya didasarkan pada tidak berperannya kepercayaan akan Tuhan dalam kehidupan manusia pada umumnya waktu itu. Mudahnya, manusia tanpa sadar yang membuat Tuhan itu mati.

Kalau dikaitkan dengan zaman sekarang, bisa dilihat dari kematian ratusan orang di Kanjuruhan. Dari sektor kecil saja (sesama manusia), mereka tak bisa memberikan eksistensi sesama manusia. Manusia, tanpa pikir panjang, muda membunuh satu sama lain. Lalu bagaimana bisa manusia memberikan eksistensi ke Yang Lebih Besar, yakni Tuhan, Yang Menciptakan mereka.

Pandangan Nietzsche mengenai agama dilihat dari pelaku agamanya bukan dari agama itu sendiri. Jadi atheis bagi Nietzsche ini tidak hanya sebagai sesuatu yang deskriptif, tapi lebih jauh dari itu. Dan tepat pada tanggal yang sama dengan hari ini, Nietzsche lahir. Kata-katanya masih benar, “Tuhan telah mati. Kita (manusia) yang membunuhnya.” Juga pada hari ini, 2 minggu setelah kejadian Kanjuruhan, belum ada kepastian dari pihak berwajib dalam mengusut perkara ini.

Negara ini negara bertuhan, sebagaimana Sila Pertama. Masyarakatnya juga mengutuk ketidakbertuhanan. Tapi tanpa disadari, apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang bertentangan dengan bertuhan. Maka, kata-kata Nietzsche masih benar, “Tuhan telah mati. Kita yang membunuhnya.”


Selamat Ulang Tahun, Nietzsche



Sukoharjo,

15 Oktober 2022

Komentar