-->

Hubungan Ideal Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Edisi Kedua

Tidak ada komentar

Hubungan Ideal Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Edisi Kedua
Luasnya daerah-daerah Indonesia yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dan tebagi-bagi menjadi atas beberapa provinsi, menandakan adanya hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, untuk mempermudah kinerja Pemerintah Pusat. Maka dalam hal pembagian kekuasaan digunakanlah suatu asas yang disebut asas otonomi sebagaimana Pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Dalam perkembangannya, sejak kemerdekaan hingga tulisan ini ditulis, Indonesia telah menerbitkan 9 undang-undang terkait kewenangan Pemerintah Daerah.

Berikut undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia:
  • a. UU Nomor 1 Tahun 1945
UU ini mengatur tiga jenis daerah di Indonesia, yakni: Karesidenan, Kabupaten, dan kota dengan menggunakan pola Desentralisasi. Akan tetapi dalam prakteknya justru menggunakan pola sentalistik, dan banyak DPRD yang tidak mengetahui tugas dan wewenangnya. Maka dari itu UU ini hanya berlaku selama tiga tahun saja.

  • b. UU Nomor 22 Tahun 1948
UU ini mengatur tiga jenis daerah di Indonesia, yakni: Provinsi, Kabupaten (Kota Besar), dan Desa (Kota Kecil). UU ini lebih detail dalam mengatur pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 yang menyatakan bahwa:
  1. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan DPD
  2. Ketua dan Wakil DPRD dipilih oleh dan dari Anggota DPRD
  3. Kepala Daerah menjabat Ketua dan Anggota DPD
Pada masa ini menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.

  • c. UU Nomor 1 Tahun 1957
Di dalam UU ini pembedaan wilayah diatur dengan tingkatan, misalnya: DPRD Tingkat I (meliputi daerah provinsi), DPRD Tingkat II (meliputi daerah kabupaten atau kotamadya), apabila tidak disebutkan tingkatannya, berarti daerah tersebut adalah daerah swantara atau daerah istimewa.

Ada beberapa karakteristik sistem pemerintahan daerah dalam UU ini. Pertama, otonomi bersifat otonomi riil, yang artinya banyak sedikitnya fungsi atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom didasarkan pada kepentingan dan kemampuan daerah bersangkutan.

Kedua, hubungan daerah dengan pusat atau hubungan antara daerah diatur sedemikian rupa sehingga tetap dalam kerangka NKRI, dan tidak boleh mengakibatkan rusaknya hubungan pusat dengan daerah maupun daerah dengan daerah lainnya.

Ketiga, organisasi pemerintah daerah tetap terdiri atas dua lembaga, yakni DPRD (selaku lembaga eksekutif) dan DPD. Dalam UU ini kepala daerah dipilih dan dapat diberhentikan oleh DPRD. Keempat, dari kesimpulan karakteristik ketiga; kekuasaan, tugas, dan wewenang DPRD dalam UU ini semakin besar dan luas.

  • d. UU Nomor 18 1965
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang kembali mempergunakan UUD 1945 sebagai konstitusi negara, maka peraturan perundang-undangan sebelumnya, yang mendasarkan pada konstitusi yang lama, jelas tidak sesuai lagi. Maka dari itu UU ini dibuat untuk memperbaiki UU sebelumnya terkait Pemerintahan Daerah.

Dalam UU ini pembedaan wilayah juga diatur dengan tingkatan, sebagaimana UU sebelumnya, yakni: Daerah Tingkat I untuk daerah Provinsi dan/atau Kota Raya, Daerah Tingkat II untuk daerah Kabupaten dan/atau kotamadya, Daerah Tingkat II untuk daerah kecamatan dan/atau kotapraja. Ketiga daerah tingkatan ini berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Di dalam UU ini pimpinan DPRD mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan pembagian kekuasaan, dimana antara kepala daerah dan DPRD kedudukannya sederajad. Hampir semua kekuasaan, tugas, dan kewajiban DPRD dilimpahkan kepada kepala daerah.

  • e. UU Nomor 5 Tahun 1974
Ciri-ciri UU ini adalah sebagai berikut.:
  1. Konsentrasi kekuasaan ada di lembaga eksekutif (kepala daerah);
  2. Ditutupnya akses parpol dalam pemerintahan daerah, dihapusnya BPH (Badan Pemerintahan Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam pemerintahan daerah (versi UU Nomor 1 Tahun 1957);
  3. Tidak dilakukannya hak equate (angket) DPRD yang dapat mengganggu keutuhan kepala daerah;
  4. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada presiden;
  5. Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan satu tahun sekali.

  • f. UU Nomor 22 Tahun 1999
Konsep dasar UU ini adalah sebagai berikut:
  1. Membesarnya kewenangan dan tanggung jawab daerah otonom;
  2. Keleluasan daerah untuk mengatur/mengurus kewenangan semua bidang pemerintahan kecuali enam kewenangan;
  3. Kewenangan yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian;
  4. Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa, inisiatif, meningkatnya peran masyarakat dan legislatif.

  • g. UU Nomor 32 Tahun 2004
  1. DPRD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  2. Pemerintahan Daerah terdiri dari Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi, Pemerintahan Kab/Kota terdiri dari Pemerintah dan DPRD Kab/Kota.
  3. Desentralisasi dilaksanakan bersamaan dengan tugas pembantuan.
  4. Otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
  5. Titik berat otonomi pada kabupaten/kota.
  6. Mengatur Pemerintahan Desa (ada pengakuan tentang otonomi desa).g) DPRD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, dan mitra pemerintah daerah.h) Pemilihan Kepala Daerah langsung oleh rakyat.

  • h. UU Nomor 23 Tahun 2014
Dalam UU ini, urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dibedakan atas dua jenis. Dalam Pasal 9 disebutkan:
  1. Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum;
  2. Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat;
  3. Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota;
  4. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah;
  5. Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan pemerintah absolut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 10 ayat 1, terdiri atas politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter, fiskal dan agama. Namun, Pemerintah Pusat dapat melimpahkan kewenangannya kepada instansi vertikal dan wakil pemerintah pusat di daerah yakni gubernur yang berdasarkan asas dekonsentrasi.
Dengan demikian, urusan pemerintah absolut memang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan tak berkaitan dengan pemerintah kota dan kabupaten yang mengedepankan asas desentralisasi serta bukan perwakilan pemerintah pusat. Dilihat dari isinya, undang-undang ini lebih seimbang dalam arti tidak terlalu ke model desentralisasi juga tidak terlalu sentralisasi.


Kesimpulan

Dari paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa secara faktual hubungan pemerintah pusat dan daerah terjadi berfluktiatif sesuai dengan berlakunya aturan atau undang-undang yang mengaturnya. Fluktuasi hubungan itu tidak jauh dari sentralisasi, desentralisasi atau seimbang diantara keduanya. Hal ini tentu disesuaikan dengan kebutuhan pada masa berlakunya undang-undang yang mengaturnya, ketika sentralistik tidak menguntungkan, maka perubahan pada aturan selanjutnya akan lebih desentralisasi, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti kita belum menemukan format aturan yang ideal dan menguntungkan rakyat dalam mengatur kewenangan, antara pemerintah pusat dan daerah. Diperlukan perspektif yang berkepastian hukum dan berkeadilan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang fundamental sehingga pembangunan nasional dapat dipercepat.

Komentar