Aparatur negara ketika menjalankan tugasnya membutuhkan suatu kewenangan untuk menjadi dasar dalam mengambil tindakan sebagaimana tugasnya, yakni memberikan manfaat bagi masyarakat. Kewenangan tersebut bersumber pada peraturan-peraturan perundang-undangan. Namun seringkali ada suatu tindakan yang harus diambil oleh aparatur negara namun tindakan tersebut belum diatur oleh peraturan perundang-undangan atau bisa disebut dengan ‘kekosongan hukum’. Apabila terjadi kekosongan hukum maka aparatur atau pejabat negara diperbolehkan untuk mengambil diskresi atau kebijakan agar roda pemerintahan tetap berjalan efektif sehingga dapat memberikan kemanfaatan kepada masyarakat.
Secara yuridis formal dalam Pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa “Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnansi pemerintahan.” Secara teori hukum administrasi negara, kebijakan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: diskresi formal dan diskresi riil. Diskresi formal berada dalam suatu sistem hukum sedangkan diskresi riil adalah suatu keputusan yang diambil diluar dari sistem hukum yang ada. Artinya aparatur pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan harus sesuai dengan peraturan hukum jika kebijakan yang akan diambil telah diatur didalam perundang-undangan (diskresi formal). Apabila tidak ada hukum yang mengaturnya maka aparatur pemerintah dapat mengambil kebijakan diluar perundang-undangan (diskresi riil). Kedua bentuk kebijakan yang diambil tersebut bukan merupakan ranah hukum pidana melainkan ranah hukum administrasi negara.
Kebijakan atau diskresi merupakan upaya yang dilakukan oleh aparatur negara guna melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, mengatasi stagnansi pemerintah dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Akan tetapi ada syarat yang harus dipenuhi ketika diskresi itu diambil. Apabila aparatur Negara dalam pengambilankebijakannya telah sesuai dengan syarat pengambilan kebijakan namun terjadi kesalahan administrasi yang tidak merugikan keuangan negara maka dilakukan penyempurnaan administrasi, apabila kesalahan administrasinya tersebut mengakibatkan kerugian negara maka dilakukan penyempurnaan administrasi dan pengembalian atas kerugian keuangan negara. Selanjutnya jika pengambilan kebijakan/diskresi yang dilakukan oleh aparatur pemerintah tidak sesuai dengan syarat pengambilan kebijakan/diskresi maka tindakan tersebut merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang akan tetapi tindakan penyalahgunaan wewenang dimaksud tidak dapat langsung dibawa ke ranah hukum pidana, melainkan penyelesaian untuk membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 21 UU Adminitrasi Pemerintahan.
Pada dasarnya kebijakan/diskresi sepenuhnya merupakan wilayah hukum administrasi negara bukan ranah hukum pidana. Namun kebijakan dapat menjadi ranah hukum pidana apabila ada penyalahgunaan wewenang/menyalahgunakan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Dengan dikenalnya penyalahgunaan wewenang dalam hukum pidana (tindak pidana korupsi) timbul suatu grey area karena penyalahgunaan wewenang juga dikenal dalam hukum administrasi negara. Dengan adanya grey area ini kemudian menimbulkan kekhawatiran para apartur pemerintah untuk mengambil kebijakan karena takut dikriminalisasi.
Agar tidak lagi menimbulkan kekhwatiran apartur pemerintah dikriminalisasi maka perlu dirumuskan penyalahgunaan wewenang yang masuk dalam ranah hukum adminsitasi negara dan penyalahgunaan wewenang yang masuk dalam ranah hukum pidana.
Pengertian penyalahgunaan wewenang baik dari sudut pandang hukum pidana maupun hukum adminitrasi negara sama yakni terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Tetapi dalam konteks pengambilan kebijakan ini sanksi dari penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparatur pemerintah harus dipisahkan. Apabila penyalahgunaan wewenang tersebut disertai dengan unsur kejahatan seperti melakukan manipulasi, kecurangan atau penyembunyian kenyataan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara maka hal tersebut merupakan ranah hukum pidana yakni tindak pidana korupsi dan dapat dikenakan sanksi pidana. Sedangkan apabila penyalahgunaan wewenang akibat dari penambilan kebijakan yang tidak sesuai dengan UU Administrasi Pemerintahan tetapi tidak diserati dengan unsur kejahatan maka hal tersebut merupakan ranah hukum administrasi negara yang sanksinya juga merupakan sanksi administrasi seperti: teguran lisan, teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat hingga peberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.
Pengambilan kebijakan/diskresi yang tidak sesuai dengan UU Administrasi Pemerintahan dapat dogolongkan sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan wewenang tersebut bisa dikategorikan kedalam 2 bentuk yaitu penyalahgunaan wewenang dalam konteks administrasi negara dan dalam konteks hukum pidana. Penyalahgunaan wewenang yang masuk kedalam konteks hukum pidana apabila ada unsur kejahatan tanpa ada unsur kejatahatan maka hal tersebut masuk kedalam ranah hukum administrasi negara yang tidak memiliki sanksi pidana melainkan sanksi administrasi.
Perbedaan konteks penyalahgunaan wewenang ini harus dapat dipahami oleh aparat penegak hukum agar dapat melakukan penegakan hukum secara proporsional artinya tidak melakukan kriminalisasi terhadap penyalahgunaan wewenang yang masuk kedalam wilayah hukum administrasi negara dan disisi lain dapat terus memerangi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparatur negara yang mengambil kebijakan dengan itikad buruk merugikan keuangan negara dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri/orang lain maupun korporasi[1].
[1] http://www.humphreydjemat.com/post.php?id=2121