PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya ditulis UUPPLH) serta Undang-Undang sektoral lainnya faktanya belum berjalan dengan maksimal. Penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan telah diatur di dalam UUPPLH mulai dari sarana penegakan hukum administrasi, sarana penegakan hukum perdata serta sarana penegakan hukum pidana.[1] Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada Pasal 69 ayat 1 huruf (h) melarang seseorang untuk membuka lahan dengan cara dibakar.
Penegakan hukum lingkungan berhubungan erat dengan kemampuan pihak aparatur dan ketaatan warga masyarakat sekitar terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum, yaitu administrasi, pidana, dan perdata. Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai kepatuhan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana penegakan hukum administrasi, kepidanaan, dan keperdataan. Berikut adalah beberapa sarana penegakan hukum lingkungan:
Pertama adalah sarana Penegakan Hukum Administrasi. Di dalam UUPPLH mencakup empat jenis sanksi hukum administrasi sebagaimana termuat didalam Pasal 76 ayat (2) yaitu: Sanksi administrasi terdiri atas: (1) Teguran tertulis; (2) Paksaan pemerintah; (3) Pembekuan izin lingkungan; dan (4) Pencabutan izin lingkungan.
Kedua, sarana penegakan Hukum Perdata. Instrumen hukum perdata dapat digunakan apabila terjadi sengketa lingkungan yang bersumber dari adanya dugaan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Penegakan hukum lingkungan melalui keperdataan dapat ditempuh melalui dua jalur, yakni: (i) jalur pengadilan (in court atau litigasi), dan (ii) diluar jalur pengadilan (outcourt/settlement) atau biasa dikenal dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR).[2]
a. Jalur Pengadilan
Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan diatur dalam Pasal 87 sampai dengan Pasal 92 UUPPLH-2009, yaitu untuk menuntut ganti kerugian dan pemulihan lingkungan. Terdapat beberapa asas yang harus diperhatikan oleh majelis hakim dalam memeriksa penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan sebagaimana yang telah dirumuskan pada Pasal 87 UUPPLH sebagai berikut:
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian kepada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
2. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
b. Jalur di luar Pengadilan
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diatur dalam Pasal 85 menyebutkan:
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai a). Bentuk dan besarnya ganti rugi, b). Tindakan pemulihan akibat pencemaran/perusakan, c). Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran/atau perusakan, dan/atau d). Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup.
Ketentuan penyelesaian sengketa melalui lembaga nonpengadilan yang diatur dalam hukum formal seperti tersebut di atas terlampau prosedural, dan menyulitkan keadaan dan aktivitas LSM dan organisasi lingkungan yang akan menjadi mediator, karena dibebani persyaratan yang teramat ketat dan terkesan mengada-ada. Karena itu, dalam praktik seringkali disimpangi.[3]
Ketiga, sarana penegakan Hukum Pidana. Didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ketentuan pidana lingkungan hidup diatur dalam Pasal 94 sampai dengan Pasal 120. Sedangkan untuk kebakaran hutan ketentuan pidana ada pada Pasal 108 yang menyebutkan: Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Fungsi hukum pidana dinilai oleh pakar sebagai instrumen penegakan hukum paling akhir (ultimum remendium), karena instrumen-instrumen yang lain dinilai dapat sebagai sarana melindungi lingkungan. Berbeda halnya penegakan hukum di negara Tanzania, sanksi pidana justru bisa dijadikan sebagai primum remedium dikarenakan di negara tersebut tidak melengkapi, gagal mempersiapkan laporan AMDAL, atau memanipulasi data serta tidak melengkapi persyaratan administrasi sudah dapat dikenakan sanksi pidana.[4]
Pasal 184:
Setiap orang yang- (A) tidak menyampaikan proyek bertentangan singkat dengan ketentuan bagian 86 (1); (B) gagal untuk mempersiapkan laporan AMDAL yang diperlukan sesuai ketentuan Undang Undang ini; atau (C) curang membuat pernyataan palsu tentang laporan penilaian dampak lingkungan diajukan berdasarkan Undang-Undang ini, melakukan pelanggaran dan bertanggung jawab atas keyakinan untuk dikenakan denda minimal lima ratus ribu shilling, maksimal sepuluh juta shilling atau penjara untuk jangka waktu minimal dua tahun dan maksimal tujuh tahun atau keduanya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan umum pertanggungjawaban pidana korporasi?
2. Bagaimana kronologi pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau?
PEMBAHASAN
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Subekti dan R. Tjitrosudibiomenyatakan bahwa yang dimaksud dengan corporatie atau korporasi adalah suatu perseoran yang merupakan badan hukum. Berdasarkan Pasal 116 UUPPLH 2009 dapat dikatakan bahwa tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup (enivormental corporate crime) adalah sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Sanksi pidana dijatuhkan selain kepada korporasi itu, juga kepada mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana, atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau kedua-duanya. Menurut Pasal 117UUPPLH, sanksi pidana denda diperberat dengan sepertiga;
b. Tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, yang bertindak dalam badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain.
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam hukum positif sudah diakui, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan dapat dijatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan korporasi menyangkut tujuan pemidaan yang bersifat integrasif. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Dikatakan adanya pencegahan individual atau khusus, pidana dianggap mempunyai daya untuk mendidik dan memperbaiki. Tujuan pemidaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ini merupakan tujuan semua pemidanaan.[5]
Dalam perkembangan kaedah hukum pidana Indonesia, korporasi dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana atau dapat dikatakan sebagai subjek hukum pidana. Korporasi benar-benar eksis dan menduduki posisi yang penting di dalam masyarakat kita dan berkemampuan untuk menimbulkan kerugian bagi pihak lain dalam masyarakat seperti halnya manusia. Memperlakukan korporasi seperti manusia (natural person) dan membebani pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dibuat oleh korporasi, sejalan dengan asas hukum bahwa siapa pun sama di hadapan hukum (principle of eqality before thelaw). Korporasi-korporasi tersebut, yang dapat memberikan dampak yang besar bagi kehidupan sosial, seharusnya diwajibkan juga untuk menghormati nilai-nilai fundamental dari masyarakat kita yang ditentukan oleh hukum pidana.[6]
Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota- anggota yang ada.
Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan dikorporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan. Baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act) serta membuktikan unsur mensrea (criminal intent atau guilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi.
Setelah korporasi dinyatakan dapat melakukan tindak pidana, permasalahan selanjutnya adalah bagaimana menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi tersebut. Sebab meskipun korporasi dinyatakan dapat melakukan tindak pidana, untuk menjatuhkan sanksi pidana harus dapat ditentukan kesalahannya, dan kesalahan tersebut dapat dipertanggungjawabkan terhadap korporasi tersebut. Apabila kedua syarat ini tidak terpenuhi atau tidak dapat ditentukan, maka korporasi tidak dapat dijatuhi sanksi pidana. Sedangkan terhadap pelaku pembakaran hutan oleh kegiatan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam perkebunan atau kecerobohan manusia, ini dapat dijerat dengan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, juga melanggar Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 4Tahun 2001 serta Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP.[7]
Penyelesaian secara yuridis yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah memberikan sanksi terhadap si pelaku pengusaha/investor yang melakukan penebangan disertai pembakaran hutan. Dengan alasan telah melakukan pencemaran lingkungan hidup, yang dapat digolongkan dalam tindak pidana yaitu: a) Suatu bentuk perbuatan yang dilakukan manusia dan/atau badan yang bertentangan dengan aturan di dalam hukum perundang-undangan yang berlaku; b) Tindak pidana perusakan yang dilakukan subyek hukum sebelumnya telah dirumuskan di dalam undang-undang yang mengandung pidana khusus antara lain ditegaskan bahwa pelakunya dapat dipidana.
Selanjutnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 yang dapat di katagorikan terkait dengan tindak pidana korporasi antara lain dapat dilihat pada: Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3) dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana korporasi. Hal ini mengingat dalam penjelasan Pasal 50 ayat (1) dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum baik secara pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Prasarana perlindungan hutan, misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, aliran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan.
Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadan kebakaran, tandatangan dan alat angkut. Dengan demikian pada Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3), bisa dikatagorikan tindak pidana korporasi, jika setiap orang yang dimaksud dalam pasal tersebut itu menunjuk subjek hukum pelaku adalah badan hukum atau badan usaha seperti dalam penjelasan Pasal 50 ayat (1).
Sedangkan untuk Pasal 50 ayat (4), termasuk tindak pidana biasa. Perkembangan pertanggungjawaban pidana di Indonesia, ternyata yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi. Khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, ternyata terdapat bermacam-macam cara perumusannya yang ditempuh oleh pembuat undang-undang.
Ada 3 (tiga) sistem kedudukan korporasi dalam hukum pidana yakni: 1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab; 2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab; 3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggunjawab. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, pertanggujawaban tindak pidana korporasi terdapat pada Pasal 78 angka (14) yang dirumuskan sebagai berikut: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan”. Tanggung jawab korporasi pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, apabila tindak pidana yang dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, yang bertanggujawab adalah pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, Ini maksudnya dapat ditafsirkar bahwa pengurus atas nama pribadi atau sendiri dapat diminta pertanggungjwaban atau pengurus yang melakukan secara bersama-sama bisa diminta pertangggujawaban.[8]
Dengan demikian bukan badan hukum yang bisa diminta pertanggujawaban dalam tindak pidana korporasi ini, hanya pada pengurus dari badan hukum yang bisa diminta pertanggungjwaban. Dengan demikian Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi. Hal ini mengingat dalam penjelasan pasal 50 ayat (1) dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum baik secara pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Tanggung jawab korporasi pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, apabila tindak pidana yang dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, yang bertanggungjawab adalah pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004. secara tersurat tidak ditemukan yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Oleh karena itu, penuntutan dapat menggunakan ketentuan pidana dalam peraturan yang berhubungan dengan lingkungan hidup seperti Ordonansi Ganguan Stb. Nomor 226 yang dirubah dengan Stb. 449 Tahun 1927 dengan konsekuensi ancaman pidana sangat ringan.
Untuk masalah sanksi pidana, bahwa: 1) Badan hukum dapat dikenakan sanksi pidana dalam perkara kerusakan atau pencemaran lingkungan; 2) Delik lingkungan perlu dirumuskan dalam pengertian yang terkandung dalam undang-undang lingkungan hidup guna memudahkan penyelesaian perkara di pengadilan; 3) Ketentuan pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan lingkungan perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan pasal 22 Undang-undang Lingkungan Hidup; 4) Keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu memerlukan kerjasama yang serasi antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Hubungannya dengan sanksi pidana, tindak pidana korporasi pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 pada: Pasal 78. Dari sanksi Pasal 78 angka (14) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, yang dapat dikategorikan dalam sanksi tindak pidana korporasi di bidang kehutanan, sementara yang lain yakni Pasal 78 angaka 1-13 dan 15 termasuk dalam pasal tindak pidana biasa. Pasal 78 angka 14 dirumuskan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Dengan demikian, apabila pelakunya badan hukum atau badan usaha, maka sanksi pidana seperti pasal 50 ayat (1),(2) dan (3), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Ke depan, dalam penegakan hukum untuk kasus-kasus pembakaran hutan, aparat penegak hukum harus lebih tegas dan berani menerapkan pasal-pasal korporasi yang sudah ada pada UU Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.
Maka untuk itu perlu dilakukannya suatu langkah konkrit dalam penyelesaian masalah tersebut, salah satunya ialah berupa tindakan penegakan hukum yang tegas terutama dalam implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh korporasi oleh karena itu aparat penegak hukum yang diharapkan mampu untuk menghukum pelaku pembakaran hutan dan lahan tersebut.[9]
Di dalam penerapan sistem strict liability (pertanggungjawaban keras/absolut/mutlak) dengan pelaku kejahatannya adalah badan hukum, dimana pertanggungjawabannya dalam hal ini tidak didasarkan/disandarkan pada kualitas kesalahan, melainkan titik fokusnya ada pada telah terjadinya perbuatan pidana/kejahatan. Artinya sistem strict liability tidak ada kaitannya dengan konsep kesalahan, tetapi langsung berkaitan dengan perbuatan pidana. Berbeda dengan konsep strict liability, maka di dalam konsep geen straf zonder schuld, bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dipidana. Karena untuk memidana seseorang tergantung pada ada atau tidaknya kesalahan.
Sedangkan pada sistem strict liability badan hukum yang terbukti melakukan perbuatan pidana langsung dipidana. Dalam kaitannya dengan masalah pembakaran hutan, secara tegas dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan, “pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”. Ketentuan dalam Pasal 49 ini adalah merupakan contoh pertanggungjawaban pidana dengan sistem strict liability. Artinya, jika terjadi kebakaran lahan di areal HPH yang dikuasai oleh suatu perusahaan, maka secara otomatis langsung perusahaan atau badan hukum itulah yang harus bertanggung jawab, tanpa harus melihat kesalahan, artinya apakah kebakaran yang terjadi itu dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja/kealpaan, hal ini tidak relevan dibicarakan dalam konteks sistem pertanggungjawaban pidana strict liability.
Satu hal perlu diingat oleh aparat penegak hukum, bahwa sebagai sebuah badan hukum maka pertanggungjawaban pidananya bukanlah ditujukan pada pribadi manusia, entah itu Direktur Utamanya atau Wakil Direkturnya, tidak. Melainkan yang bertanggung jawab adalah badan hukum itu sendiri, bukan manusia secara pribadi. Sehingga yang harus didudukan dalam posisi sebagai tersangka bukan manusia (baik Direktur Utamanya atau Wakil Direkturnya), melainkan adalah badan hukum itu sendirilah yang disebut sebagai tersangka.
Namun perlu diketahui, bahwa untuk mendapatkan keterangan dari badan hukum tersebut memang harus diwakili oleh manusia, pengurus dari badan hukum itu. Akan tetapi tidak berarti lalu dia (orang yang mewakili tersebut) diberi status sebagai tersangka, dia sekedar mewakili badan hukum dalam proses pemeriksaan. Dengan memposisikan kedua Direktur PT tersebut di atas sebagai tersangka yang dipandang janggal dan bertentangan dengan konsep pertanggungjawaban pidana badan hukum yang menggunakan sistem strict liability.[10]
B. Kronologi Pembakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, menyatakan 9 Perusahaan di Riau diduga terlibat melakukan tindakan pembakaran hutan dan lahan di daerah Riau. Hal ini menyebabkan asap hingga mengakibatkan tewasnya 3 warga akibat sesak napas dan terbakar saat memadamkan api. Dari sembilan perusahaan, seperti: PT Multi Gambut Industri, PT Udaya Loh Dinawi, PT Adei Plantation, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Mustika Agro Lestari, PT Rakksa Sejati, PT Tunggal Mitra Plantation, PT Langgam Inti Hiberida, dan PT National Sagu Prima, hanya dua perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni atas nama perusahaan PT Adei Plantation dan PT National Sagu Prima.[11] Pembakaran hutan dan lahan merupakan perbuatan yang dilarang karena selain melanggar Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, juga melanggar Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, serta Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP.
Di Provinsi Riau pelaku kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh beberapa perusahan sampai saat ini masih dalam proses penyidikan oleh penyidik Subdit IV Ditreskrimsus Polda Riaudengan mendatangkan ahli yaitu ahli di bidang lingkungan seperti ahli kerusakan tanah, kebakaran hutan, ahli gambut, serta ahli hukum lingkungan. Sifat dan keterangan yang diberikan oleh ahli tersebut yaitu menurut pengetahuannya pada bidang lingkungan hidup. Sehingga dengan keterangannya tersebut dapat memberikan kelengkapan pemeriksaan kepada penyidik dalam mencapai kesuksesan proses penyidikan.
Penindakan kasus kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh penyidik Subdit IV Ditreskrimsus Polda Riau dalam 4 (empat) tahun terakhir menunjukkan peningkatan kasus. Angka penindakan kasus kebakaran hutan dan lahan semakin meningkat pada tahun 2014 menjadi 9 (sembilan) kasus yang ditangani oleh penyidik Subdit IV Ditreskrimsus Polda Riau, selain itu peristiwa kebakaran hutan dan lahan tersebut disertai tindak pidana lainnya seperti illegal logging dan perambahan hutan. Di mana proses pemeriksaan penyidikan kasus kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2014 belum sepenuhnya selesai. Oleh karena itu implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, ada 9 Perusahaan di Riau diduga terlibat melakukan pembakaran hutan dan lahan di Riau. Hal ini menyebabkan adanya asap hingga mengakibatkan tewasnya 3 warga akibat sesak napas dan terbakar saat memadamkan api.[12]
Pada tahun 2014 meminta pertanggungjawaban pidana korporasi pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, Dari 9 Perusahaan itu, seperti PT Multi Gambut Industri, PT Udaya Loh Dinawi, PT Adei Plantation, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Mustika Agro Lestari, PT Rakksa Sejati, PT Tunggal Mitra Plantation, PT Langgam Inti Hiberida, dan PT National Sagu Prima. Namun baru 2 (dua) perusahaan ditetapkan sebagai tersangka atas nama perusahaan PT. Adei Plantation & Industry dan PT National Sagu Prima. Dari 9 perusahaan tersebut baru perusahaan PT. Adei Plantation & Industry sampai ke tingkat Peradilan itupun pada tahun 2013 dan PT. Adei Plantation & Industry dijatuhi sanksi oleh Pengadilan Negeri Pelalawan, bahwa Pengadilan Negeri Pelalawan mengadili;
1) Menyatakan terdakwa PT. Adei Plantation & Industry tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Alternatif ketiga Primair Jaksa Penuntut umum;
2) Membebaskan terdakwa PT. Adei Plantation & Industry dari dakwaan Alternatif Ketiga Primair tersebut;
3) Menyatakan terdakwa PT. Adei Plantation & Industry telah terbukti secara sah dan menyakikan bersalah melakukan tindak pidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”;
4) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan yang diwakili oleh Sdr. Tan Kei Yoong selama 5 (lima) bulan;
5) Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa PT. Adei Plantation & Industry berupa perbaikan akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas 40 ha melalui pemberian kompos, dengan biaya sebesar Rp. 15.141.826.779.325,- (lima belas milyar seratus empat puluh satu juta delapan ratus dua puluh enam ribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan rupiah tiga ratus dua puluh lima sen).[13]
.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pembakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau, meskipun undang-undang kehutanan dan lingkungan dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi di Provinsi Riau ada 9 Perusahaan di Riau diduga terlibat melakukan pembakaran hutan dan lahan di Riau, namun baru 2 (dua) perusahaan ditetapkan sebagai tersangka atas nama perusahaan PT Adei Plantation dan PT National Sagu Prima dan baru perusahaan Adei Plantation & Industry sampai ke tingkat Peradilan itupun pada tahun 2013 dimana PT. Adei Plantation & Industry, dijatuhi sanksi oleh Pengadilan Negeri Pelalawan; Menyatakan terdakwa PT. Adei Plantation & Industry tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Alternatif ketiga Primair Jaksa Penuntut umum; Membebaskan terdakwa PT. Adei Plantation & Industry dari dakwaan Alternatif Ketiga Primair tersebut; Menyatakan terdakwa PT. Adei Plantation & Industry telah terbukti secara sah dan menyakikan bersalah melakukan tindak pidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”; Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan yang diwakili oleh Sdr. Tan Kei Yoong selama 5 (lima) bulan; menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa PT. Adei Plantation & Industry berupa perbaikan akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas 40 ha melalui pemberian kompos, dengan biaya sebesar Rp. 15.141.826.779.325,- (lima belas milyar seratus empat puluh satu juta delapan ratus dua puluh enam ribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan rupiah tiga ratus dua puluh lima sen).
DAFTAR PUSTAKA
Wibawa, Aziz Kurnia. 2016. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pembakaran Hutan Guna Pembukaan Lahan (Perspektif Hukum Indonesia Dan Hukum Islam). Surakarta: Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Erdiansyah. “Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pembakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Riau”.Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Riau Volume 4 Nomor 3 September 2014-Januari 2015.
Pandiangan, Eko Erdiansya. “Penerapan Prinsip Strict Libility Dalam Pertanggungjawaban Korporasi Yang Dianggap Bertanggungjawab Atas Kebakaran Hutan Di Provinsi Riau”.JOM Fakultas Hukum Universitas Riau Volume III Nomor 2 Oktober 2016.
[1]Aziz Kurnia Wibawa, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pembakaran Hutan Guna Pembukaan Lahan (Perspektif Hukum Indonesia Dan Hukum Islam), (Surakarta: Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta: 2016), hlm. 1.
[2]Ibid., hlm. 6-7.
[3]Ibid., hlm. 7-8.
[4]Ibid., hlm. 8-9.
[5]Eko Erdiansya Pandiangan, “Penerapan Prinsip Strict Libility Dalam Pertanggungjawaban Korporasi Yang Dianggap Bertanggungjawab Atas Kebakaran Hutan Di Provinsi Riau”, JOM Fakultas Hukum Universitas Riau Volume III Nomor 2 Oktober 2016, hlm. 7.
[6]Erdiansyah, “Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pembakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Riau”, Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Riau Volume 4 Nomor 3 September 2014-Januari 2015, hlm. 140.
[7]Ibid., hlm. 148-149.
[8] Ibid., hlm. 150-151.
[9] Ibid., hlm. 152-153.
[10] Ibid., hlm. 154-155.
[11]Ibid., hlm. 139.
[12]Ibid., hlm. 147.
[13] Ibid., hlm. 155.