1. Perlindungan terhadap Agama - Pasal 28E ayat (1) UUD 1945
Kebebasan beragama merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari konsep Hak Asasi Manusia tentang kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Pikiran adalah karunia yang paling berharga yang pernah dimiliki oleh manusia yang telah banyak menentukan arah peradabannya. Pikiran merupakan hasil kerja akal dan kekuatan nalar yang akan menentukan sikap baik dan buruk, benar dan salah. Karena itu, kebebasan berpikir merupakan sebagian inti dari kemuliaan manusia yang seharusnya menjadi hak seseorang tanpa ada ikatan dan syarat serta hak untuk mengikuti kecenderungan pikiran dan hatinya dalam beribadah dan berkeyakinan.[1]
Pasal 28E ayat (1) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia menegaskan bahwa “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya .......” kata “setiap orang” menandakan konstitusi menjamin siapa pun orangnya, tanpa membedakan ras, warna kulit, asal daerah, dan status sosial berhak secara bebas untuk memilih dan meyakini agama dan menjalankan kegiatan keagamaannya sesuai apa yang ia yakini.[2]
Ketentuan pasal 28E ayat (1) tersebut kemudian dipertegas dengan ketentuan Pasal 28E ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Ketentuan aturan ini secara lugas menempatkan kebebasan beragama pada tempat yang sejajar dengan hak kebebasan berfikir dan menyatakan fikirannya (pendapat).
Substansi Pasal 28E Ayat (2) UUD NRI 19445 yang menempatkan prinsip kebebasan beragama setara dengan kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat memberikan signal bahwa hak dasar manusia dalam memilih agama dan menjalankan ritual agama adalah hak yang paling mendasar (underogable right) bagi manusia sebagai hasil dari kinerja akal dalam mnentukan dan meyakini agama yang dianut. Oleh karenanya, keberadaan hak ini harus dilindungi oleh negara sebagai jaminan pemenuhan hak dasar manusia itu.
Dasar pemikiran demikian yang kemudian menjadi pijakan dirumuskannya aturan hukum terkait dengan perlindungan penganut agama dan menjalankan peribadatan agama. Suatu hak akan menjadi jelas perlindungannya ketika hak itu diformalkan menjadi aturan hukum yang berlaku bagi masyarakat, karena hanya dengan itulah fungsi negara untuk memberi perlindungan bisa dilakukan. Dalam kontek negara Indonesia yang menyatakan eksistensinya sebagai negara hukum, perlindungan hukum akan bisa dilakukan ketika sesuatu yang diangap berlawanan tersebut diatur oleh hukum.
Selain itu, ketentuan pasal 28E ayat (2) UUD NRI 1945 juga memberikan penegasan tidak hanya agama yang keberadaannya dilindungi oleh negara, tetapi juga aliran kepercayaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat tetap diakui keberadaannya dan diberikan kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengimani aliran kepercayaan yang ia anut tanpa adanya gangguan bahkan paksaan.[3]
Ada ketentuan dalam konstitusi ini yang sangat berpotensi menimbulkan konflik di tengah kehidupan masyarakat. Ketentuan tersebut ialah pembatasan HAM seperti yang tertera pada Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam sutu masyarakat demokratis”. Pasal ini memberikan arti bahwa segala ketentuan menakjubkan yang diberikan oleh konstitusi terkait perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM ternyata tidak secara mutlak diberikan. Terdapat beberapa pembatasan-pembatasan yang berpotensi merenggut hak rakyat dalam memperoleh perlindungan hak asasinya, utamanya terhadap pemenuhan hak atas kebebasan beragama.
Ketentuan ini melahirkan perdebatan sengit terkait pembatasan HAM. Kelompok yang sepakat terhadap pembatasan HAM memandang bahwa dengan adanya pembatasan maka penghormatan terhadap hak orang lain akan tercapai dengan maksimal. Sementara yang menolak pembatasan HAM berpandangan bahwa dengan dilakukannya pembatasan akan berpotensi merenggut dan merampas pelaksanaan dan perlindungan HAM yang secara konstitusional diakui oleh negara.[4]
Terkait dengan dispensasi perkawinan yang diajukan oleh JR bahwa pihak JR menginginkan sebab utama dan satu-satunya pertimbangan untuk melangsungkan dispensasi perkawinan adalah karena kehamilan. Untuk pria dan wanita yang berada dibawah usia perkawinan tidak boleh melangsungkan perkawinan, kecuali bahwa wanita tersebut telah hamil duluan.
Dispensasi perkawinan karena hamil merupakan langkah yang tepat yang telah dilakukan pemerintah. Karena budaya Indonesia belum bisa menerima perempuan hamil sebelum menikah yang notabene identik dengan perzinaan. Padahal mungkin bisa jadi hamil seorang wanita disebabkan oleh kasus pemerkosaan. Jikapun itu hasil dari zina antara laki-laki dan perempuan yang saling suka, dispensasi ini adalah upaya untuk mengurangi dosa zina.
Akan tetapi, menjadikan hamil sebagai satu-satunya pertimbangan dalam melakukan dispensasi perkawinan bukanlah hal yang tepat. Dalam Islam, perkawinan dilarang karena satu hubungan nasab, baik hubungan darah maupun persusuan. Di dalam Islam tidak ada batasan usia untuk menikah. Melainkan menikah itu sangat dianjurkan, yakni untuk mengurangi potensi zina diusia muda. Justru apabila dibatasi malah dapat melanggar norma agama, yakni menghendaki nafsu ketika laki-laki dan perempuan belum sah secara agama sebagai pasangan suami-istri. Bahkan jikapun mereka ingin menikah, mempelai wanita akan dihamil terlebih dahulu karena satu-satunya pertimbangan JR terkait dispensasi perkawinan adalah hamil.
2. Perlindungan terhadap Jiwa (Kepentingan Kepastian Hukum Bagi Pelaku) - Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Kepastian hukum itu harus memiliki kewibawaan yang formal (prosedurnya harus benar) maupun yang materiil (substansinya harus benar) untuk bisa dirasakan kehadirannya, supaya kepastian hukum itu juga mempunyai kinerja yang dapat diamati oleh masyarakat, masyarakat biasanya mempunyai perasaan cukup peka terhadap ketidakadilan. Artinya kepastian hukum itu dinilai melalui dampak keadilan yang (seharusnya) dihasilkannya.[5]
Faktor-faktor terpenting yang merupakan acuan bagi suatu kepastian hukum bagi masyarakat adalah:
a. Norma-norma yang jelas menetapkan apa yang diharuskan dan a. apa yang dilarang. Sebagai perangkat hukum cenderung dapat ditafsirkan berlainan baik di antara para penegak hukum itu sendiri maupun di antara pihak yang dikenai sanksi menurut selera dan keuntungannya sendiri.
b. Transparansi hukum yang menghindarkan masyarakat dari b. kebingungan normatif. Konsistensi dalam tindakan dan ucapan dari para pejabat negara dan penegak hukum adalah bagian yang menentukan dari transparansi hukum. Pertentangan dalam tindakan dan ucapan di antara mereka akan semakin memperdalam ”kebingungan normatif” dikalangan rakyat, karena di negara mana pun juga, rakyat memandang (dan acapkali mengingat) ucapan dan perilaku dari para pejabat negara dan penegak hukum sebagai acuannya.
c. Kesinambungan tertib hukum yang memberi acuan bagi c. perilaku di masa akan datang. Jika seorang pejabat negara pada suatu ketika menyatakan bahwa pemerintah tidak akan melakukan campur tangan dalam proses hukum, namun dalam kenyataannya kemudian pemerintah melakukan campur tangan, dia akan menghasilkan ketidakpercayaan rakyat terhadap kesinambungan tertib hukum.
Disamping ketiga faktor tersebut, penyelesaian ragam kasus khusus melalui keputusan pengadilan yang menegaskan kembali asas-asas keadilan, serta ketaatan individual yang luas terhadap asas-asas hukum yang berlaku umum seperti ”asas praduga tidak bersalah” dan ”asas proses hukum yang adil” juga berperan penting sebagai pemandu kepastian hukum. Penerapan faktor-faktor acuan bagi orientasi kepastian hukum masyarakat maupun penerapan asas atau prinsip hukum yang berlaku umum itu harus dilaksanakan berdasarkan dua asas atau prinsip keadilan, agar tidak mencederai rasa keadilan masyarakat.
Kedua, asas atau prinsip keadilan bagi penerapan hukum itu adalah asas atau prinsip daya–laku hukum yang umum, dan asas atau prinsip kesamaan di hadapan hukum. Prinsip daya laku hukum yang umum sebagai prinsip keadilan keadilan yang pertama mensyaratkan, bahwa suatu norma hukum yang diberlakukan sebagai hukum positif akan menjangkau setiap dan semua orang dalam yurisdiksi hukum tersebut, tanpa kecuali. Prinsip kesamaan di hadapan hukum sebagai prinsip keadilan yang kedua mensyaratkan, bahwa semua dan setiap warga negara berkedudukan sama di hadapan hakim yang harus menerapkan hukum.
Meskipun demikian, perlu dicatat, bahwa kesamaan di depan hukum tidaklah sama dengan jaminan bahwa hukum itu sendiri adalah juga suatu hukum yang adil, seperti diungkapkan oleh Hart, ”... the law might be unjust while treating all alike”. Konstatasi dari Hart memang pahit, tetapi paling sedikit orang merasa telah diperlakukan sama dalam ketidakadilan. Jika semua orang mengalami perlakuan yang sama tidak adilnya, maka tidak ada juga ketidakadilan yang perlu dipersoalkan.[6]
Prinsip kesamaan di hadapan hukum merupakan prinsip yang konstitutif bagi terciptanya keadilan dalam semua sistem hukum. Meskipun demikian, berbagai sistem hukum tampaknya menempatkan prinsip kesamaan itu dalam konteks yang berbeda-beda. Sekalipun dasar pemikirannya adalah bahwa setiap orang dilahirkan dengan ”basic liberties of citizens” yang sama. Jika Magnis-Suseno meletakkan tanggung jawab untuk mengatasi ketidakadilan sosial pada negara yang secara empiris diselenggarakan oleh pemerintah. Rawls, meletakkan tanggung jawab itu langsung pada masyarakat sendiri.
Gagasan dari Rawls tampaknya sangat relevan untuk banyak negara, termasuk juga Indonesia yang berikrar melalui UUD 1945 untuk menegakkan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) serta keadilan sosial (sociale of justice). Dalam negara hukum Indonesia, di mana kekuasaan memerintah diselenggarakan berdasarkan hukum dan bukannya berdasarkan kekuasaan, kesinambungan sikap dan konsistensi dalam tindakan dari lembaga-lembaga itu amat penting dan menentukan kadar kepastian hukum, dan tujuan akhir dari hukum adalah keadilan, dan kepastian hukum yang berlarut-larut mengabaikan keadilan dan pada akhirnya akan menggoyang stabilitas pemerintahan negara hukum.[7]
Tidak adil rasanya apabila perkawinan dibawah usia harus berdasarkan kehamilan sebelum menikah (melakukan perzinaan). Padahal fungsi menikah sendiri tidak hanya untuk melangsungkan keturunan, melainkan mengurangi potensi zina berkelanjutan. Bagi laki-laki dan perempuan yang masih dibawah umur berhak melakukan perkawinan sebagaimana pada Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan di dasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai.
3. Perlindungan terhadap Akal (Kebebasan Kehendak dan Keyakinan) - Pasal 28E ayat (2) UUD 1945
Pasal 28E ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Ketentuan aturan ini secara lugas menempatkan kebebasan beragama pada tempat yang sejajar dengan hak kebebasan berfikir dan menyatakan fikirannya (pendapat).
Dispensasi perkawin berhak diberikan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah matang secara lahir dan batin atau sudah aqil baligh. Karena aqil baligh setiap pemuda dan pemudi berbeda-beda. Tidak selalu sama usianya, bisa datang diusia muda atau kecil dan bisa diusia yang sudah dewasa. Maka dalam memutuskan dispensasi perkawinan, hakim berhak mempertimbangkan kematangan lahir dan batin kedua mempelai.
4. Perlindungan terhadap Harta (Kepentingan Kesejahteraan Hidup) - Pasal 28H ayat (1) UUD 1945
Dispensasi perkawinan juga berhak diberikan kepada laki-laki dan perempuan yang dalam usia muda sudah mampu menghasilkan uang yang hampir sama dengan orang dewasa. Hakim juga perlu mempertimbangkan persoalan ini dalam perkara dispensasi perkawinan.
5. Perlindungan terhadap Keturunan - Pasal 28B ayat (1) UUD 1945
Kehamilan bisa terjadi tidak hanya karena perbuatan zina. Ada kasus pemerkosaan. Menggugurkan kandungan adalah perbuatan dosa besar, walaupun hamilnya bukan atas kehendak dirinya. Hakim perlu mempertimbangkan hal ini apabila ada seorang pria yang usianya dibawah umur untuk menikah si wanita tersebut.
[1] Muwaffiq Jufri, “Perbandingan Pengaturan Hak Kebebasan Beragama antara Indonesia dengan Majapahit”. Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 2, Juni 2017, hlm. 397.
[2] Muwaffiq Jufri, “Perbandingan Pengaturan Hak Kebebasan Beragama antara Indonesia dengan Majapahit”. Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 2, Juni 2017, hlm. 400.
[3] Muwaffiq Jufri, “Perbandingan Pengaturan Hak Kebebasan Beragama antara Indonesia dengan Majapahit”. Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 2, Juni 2017, hlm. 401.
[4] Muwaffiq Jufri, “Perbandingan Pengaturan Hak Kebebasan Beragama antara Indonesia dengan Majapahit”. Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 2, Juni 2017, hlm. 403.
[5] Abdul Latif, “Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil”. Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari 2010, hlm. 53.
[6] Abdul Latif, “Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil”. Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari 2010, hlm. 55-56.
[7] Abdul Latif, “Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil”. Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari 2010, hlm. 56-57.