-->

Hukum Waris Di Jawa Tengah (Oemarsalim)

Tidak ada komentar

Hukum Waris Di Jawa Tengah (Oemarsalim)
Manusia selaku anggota masyarakat selama masih hidup mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap anggota-anggota lain masyarakat dan terhadap barang-barang yang berada di dalam masyarakat itu. Ada bermacam-macam hubungan hukum antara anggota masyarakat. Sehingga mereka saling mempengaruhi satu sama lain, bisa berupa kenikmatan atau beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak.
.
Apabila seseorang yang menjadi anggota masyrakat pada suatu saat meninggal dunia misalnya karena kecelakaan, atau mungkin terserang penyakit, dan lain-lain, maka apakah yang terjadi dengan perhubungan hukum mereka tadi, yang mungkin erat sekali sifatnya pada waktu si manusia itu masih hidup. Namun demikian walaupun si manusia itu sudah dimakamkan, bukan berarti hubungan hukum ikut terkubur, melainkan perhubungan hukum itu tetap hidup dan bisa digantikan keturunan si manusia yang mati tadi. Mungkin anak-anaknya, ayah dan ibunya, saudara-saudaranya, kakek neneknya, atau yang lainnya.
.
Dari uraian diatas, munculah pengertian tentang “warisan”, yaitu suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat akibat dari meninggalnya seseorang. Atau warisan adalah mengenai masalah-masalah apakah dan bagaimanakah bermacam-macam hak dan kewajiban-kewajiban yang menyangkut kekayaan seseorang pada saat yang bersangkutan meninggal dunia akan berpindah kepada orang lain yang masih hidup [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 1-3].
.
Di Indonesia kondisi kekeluargaan tiap daerah berbeda-beda. Ada tiga golongan kekeluargaan yang ada di Indonesia, yaitu: sifat kebapakan (patrilineal), sifat keibuan (matrilineal), dan parental (sifat kebapak-ibuan). Daerah-daerah yang bersifat kebapakan atau patrilineal adalah daerah tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian, dan Bali. Sedangkan matrilineal atau sifat keibuan berada di daerah Minangkabau. Untuk parental ada daerah Jawa, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Ternate, dan Lombok [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 6-7].
.
Di Jawa kekeluaragaannya bersifat kebapak-ibuan (parental). Sifat ini mempengaruhi hukum adat kewarisan di Jawa. Bentuk harta warisan di adat Jawa adalah barang-barang peninggalan yang sudah dalam keadaan bersih. Keadaan bersih yang dimaksud yaitu sudah dikurangi oleh utang-utang yang dimiliki oleh pewaris. Mr. Ter Haar menulis ini dibukunya, pada umumnya daerah-daerah di Indonesia, terutama di Jawa, ahli waris wajib membayar hutang-hutang yang dimiliki oleh pewaris dengan menggunakan harta warisan yang mereka terima [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 16-17].
.
Di Jawa Tengah, anak yang menjadi ahli warisnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini dikarenakan sifat kekeluargaan di Jawa Tengah adalah kebapak-ibuan (parental). Di hukum Islam juga seperti itu, hanya saja terdapat perbedaan jumlah antara laki-laki dan perempuan. Anak perempuan hanya mendapatkan jatah setengah dari jatah anak laki-laki.
.
Mr. Djodjodiguno dan Mr. Tirtawinata terkait penelitian mereka di Jawa Tengah, bahwa seluruh masyarakat adat di Jawa Tengah kebanyakan menyamaratakan jatah warisan anak laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan jumlah [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 26]. Begitu juga di dalam penelitian yang dilakukan oleh Mr Gondokusumo dan Mr. Emanuels yang melakukan penelitiannya di Magelang pada tahun 1938, yang menyatakan bahwa di daerah Magelang bagian anak perempuan sama dengan bagian anak laki-laki  [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 27].
.
Berbeda dengan adat Bali yang menganut sifat kebapakan atau patrialkal. Di Bali yang sering mendapatkan harta warisan atau yang mendapatkan harta warisan dengan jumlah yang banyak adalah anak laki-laki yang tertua. Akan tetapi ia memiliki kewajiban menghidupi adik-adiknya hingga mereka menikah [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 25].
.
Jika memiliki anak angkat, sebagaimana pada putusan Pengadilan Negeri Purworejo dalam putusannya pada tanggal 25 Agustus 1937, menetapkan, bahwa barang pencaharian dan barang gono-gini jatuh pada janda dan anak angkatnya apabila yang meninggal dunia tidak mempunyai keturunan sendiri [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 29]. Secara tidak langsung putusan ini juga menjadi dasar atau acuan hukum adat kewarisan di Jawa. Namun apabila pewaris memiliki keturunannya sendiri maka anak angkat tadi terhalangi oleh anak kandung dan tidak mendapatkan apa-apa, kecuali si pewaris memberikan wasiat.
.
Sedangkan di dalam hukum Islam tidak mengenal anak angkat, karena hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak. Di Minangkabau juga sama, tidak mengenal anak angkat karena adanya sifat keibuan (matrilineal) [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 28].
.
Seorang istri yang ditinggal mati suaminya, jika mereka mempunyai anak, maka si istri mendapatkan harta warisan sejumlah seperdelapan dari seluruh harta warisan. Apabila tidak memiliki anak, si istri mendapatkan seperempat harta warisan. Itu di dalam hukum agama Islam [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 32]. Di dalam KUHP (Perdata) suami atau istri terdapat di golongan pertama. Mr. Gondokusumo dan Mr. Emanuals sebagaimana dalam penelitian mereka di Magelang pada tahun 1938 menyimpulkan bahwa istri yang ditinggal mati suaminya merupakan ahli waris [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 36].
.
Hal ini berbeda dengan sistem kewarisan di Batak dan di Bali yang sifat kekeluargaannya adalah kebapakan atau patrialkal. Disana memiliki anggapan yang kuat seakan-akan istri dibeli oleh keluarga suami. Maka ada anggapan istri menjadi bagian harta warisan, sehingga istri dari pewaris akan menjadi istri saudara laki-laki pewaris [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 31]. Mudahnya istri di daerah Batak dan Bali tidak dianggap menjadi ahli waris melainkan harta warisan. Bukan sebuah subjek, melainkan sebuah objek.
.
Apabila ada lebih dari seorang ahli waris, dalam hukum adat, pembagian harta warisan memandang ujud barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Misalnya, si A mendapatkan sebidang sawah, si B mendapatkan sebidang tanah atau pekarangan, si C mendapatkan keris atau barang antik lainnya, si D mendapatkan perhiasan, dan lain sebagainya.
.
Contoh di Jawa yakni anak lelaki sulung mendapatkan sebidang sawah. Namun ia tidak memiliki tenaga untuk menggarap sawah tersebut. Bila anak sulung itu tidak sanggup menggarapnya, maka anak lelaki yang kedua yang mendapat giliran untuk diberi hak menggarap sawah tersebut [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 50-51].
.
Namun ada juga peraturan-peraturan desa yang membatasi kepemilikan atau kepenguasaan terhadap suatu tanah. Misalnya si A mendapatkan tanah dari mertuanya. Kemudian ayah si A meninggal dunia, dan meninggalkan sebidang sawah juga. Di sini si A tidak berhak memiliki dua tanah. Ia harus mengalah (untuk diberikan kepada adiknya atau orang lain). Kebiasaan ini biasannya terdapat di wilayah Cirebon dan sekitarnya [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 51-52].
.
Atas uraian pembagian harta warisan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembagian harta warisan di lingkungan hukum adat pada hakekatnya berasaskan atas kerukunan diantara para ahli waris. Artinya mereka tidak semata-mata memperhitungkan secara ilmu pasti dalam membagi harta warisan itu terkait nilai harga dari benda-benda tertentu yang dibagikan kepada mereka masing-masing, asal mereka masing-masing mendapatkan bagian yang sesuai dan pantas saja. Menurut Oemarsalim, tersimpul rasa keadilan [Oemarsalim, S.H., Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 54-53].

Komentar