-->

Terkadang Keputusan yang Kita Buat Bukan Pilihan Kita - Sosial Eksperimen

Tidak ada komentar

http://advertisingide.blogspot.co.id/
Eksperimen ini bisa dikatakan benar sembilan puluh persen. Terus terang, saya pernah mengalaminya sendiri. Dan itu pun diperkuat dengan sosial eksperimen yang dilakukan oleh sebuah channel yang bernama 'History Channel - Brain'. Dalam video tersebut Anda akan dipertontonkan sekumpulan orang yang sedang mengantri di sebuah klinik mata. Awalnya sekumpulan orang itu adalah orang-orang yang sengaja (mungkin dibayar) mengantri. Lalu datang orang asing ikut mengantri. Ketika ada bunyi bel, orang-orang yang sengaja mengantri tadi berdiri semua. Orang asing yang baru saja datang tadi sedikit heran dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang ini. Tentu saja, karena semua orang yang mengantri disini tiba-tiba berdiri saat bel berbunyi kecuali dirinya seorang.
.
Bel kedua berbunyi, lagi-lagi semua orang berdiri terkecuali dirinya seorang. Ia semakin bingung. Anehnya ia tidak bertanya tentang alasan 'kenapa sih pada berdiri ketika bel berbunyi?'. Mungkin karena takut salah berbuat sesuatu dan membuat orang lain marah atau justru malu menanyakannya. Kemudian ketika bel ketiga berbunyi, tanpa mengetahui alasan yang pasti, orang asing itu ikut berdiri mengikuti tingkah laku sekumpulan orang tadi. Inilah yang dimaksud dengan keputusan yang kita ambil bukan karena pilihan kita. Melainkan sebuah keputusan yang kita buat karena tekanan sosial, karena orang lain. Jika kita melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh orang lain, kita merasa nyaman. Tanpa disengaja kita ikut terbawa arus.
.
Bukan hanya itu saja. Setelah sekumpulan orang yang dengan sengaja mengantri tadi pergi satu-persatu hingga tinggal orang asing seorang diri disana, ia tetap melanjutkan kebiasaan tak jelas itu walaupun tidak ada orang lain yang melihatnya. Seolah-olah kebiasaan itu harus dilakukan. Dan seolah-olah kebiasaan itu adalah benar.
Kemudian datang orang asing kedua. Sama dengan sikap orang asing pertama tadi. Ia bingung kenapa orang ini berdiri. Ia bertanya dengan orang asing pertama itu, dan jawabannya adalah hanya karena orang lain tadi melakukan hal itu. Orang asing kedua pun juga ikut mengikuti kebiasaan yang tidak jelas tujuannya itu. Dan itu menular ke orang asing ketiga, keempat, kelima, dan berbagai orang. Tanpa sengaja orang asing pertama menyebarkan kebiasaan tidak jelas. Lihat videonya disini.
.
Menurut seorang pakar, Jonah Berger dari Universitas Pennsylvania, kebiasaan yang dilakukan itu adalah sebuah bagian dari bersosialisasi. Akan tetapi kebiasaan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh orang lain tanpa alasan yang pasti juga bisa membangun sebuah kebiasaan buruk.
.
Sejujurnya untuk melawan tekanan sosial itu cukup sulit. Saya pribadi mengalaminya. Waktu itu saya dan kawan-kawan berada di Dieng. Kami sedang mendaki gunung Prau. Setelah turun kami beristirahat di basecamp, tepatnya Patak Banteng. Hari itu adalah hari Jum'at. Kami menuju ke masjid terdekat untuk melaksanakan sholat Jum'at.
.
Dari awal kami memang merasakan perbedaan budaya disini. Mulai dari tutur kata dan tingkah lakunya. Budaya disini sangat kental sekali. Anak-anak rambut gimbal yang konon katanya titipan Kyai Kolo Dete juga ikut solat disana. Di dalam masjid terdapat sekat ditengahnya. Kawan-kawan saya memilih untuk duduk di belakang sekat tersebut. Namun saya tidak. Saya bersama dua orang pendaki lain masuk lebih dalam dan mendekati mimbar.
http://agenrokokabadiberkah.blogspot.co.id/2016/01/harga-rokok.html
Adzan berkumandang. Ketika muadzin menyelesaikan adzannya, tiba-tiba semua orang berdiri lalu berhamburan kedepan untuk mengisi shaf yang masih kosong. Waktu itu saya dan dua pendaki lain masih duduk. Tiba-tiba semua orang disana melakukan takbiratul ihram. Disinilah letak kebingungan saya dan dua pendaki tadi. Yang saya khawatirkan jangan-jangan disini sholat Jum'at duluan baru ceramah. Saya bingung harus bagaimana. Mau bertanya tapi sulit. Karena semua orang dalam keadaan sholat kecuali saya dan dua pendaki tadi. Bertanya ke dua pendaki tadi juga rasanya bukan keputusan yang tepat. Karena mereka sama bingungnya. Saya masih memutuskan untuk duduk saja. Akan tetapi dua pendaki tadi justru ikut berdiri dan juga ikut melaksanakan sholat. Saya semakin bingung harus berbuat apa. Karena merasa terasingkan saya ikut melaksanakan sholat. Niat saya adalah sholat rawatib. Walaupun sebenarnya ada atau tidaknya sholat rawatib sholat Jum'at, saya tidak tahu. Tapi mau bagaimana lagi. Yang saya rasakan waktu itu adalah ketidak-nyamanan kalau hanya saya yang duduk sendirian. Sedangkan semua orang disekitar saya sedang melaksanakan sholat, bahkan anak kecil pun ikut berdiri melaksanakan sholat.
.
Dua rekaat sudah saya laksanakan. Pendaki tadi ternyata juga sama, mereka juga melaksanakan sholat dua rekaat. Seperti itulah rasanya memutuskan sebuah keputusan tanpa dilandasi alasan yang benar-benar jelas. Memutuskan sebuah keputusan yang hanya dikarenakan ikut-ikutan, takut, terasingkan, dan tidak nyaman. Untuk melawan memang sulit. Otak kita serasa digerakkan. Seperti sudah terprogram untuk harus melakukan itu. Memang sulit sekali untuk memberontak. Saya gagal meniru motto iklan rokok.

Komentar