Eksperimen
ini bisa dikatakan benar sembilan puluh persen. Terus terang, saya
pernah mengalaminya sendiri. Dan itu pun diperkuat dengan sosial
eksperimen yang dilakukan oleh sebuah channel yang bernama 'History Channel - Brain'.
Dalam video tersebut Anda akan dipertontonkan sekumpulan orang yang
sedang mengantri di sebuah klinik mata. Awalnya sekumpulan orang itu
adalah orang-orang yang sengaja (mungkin dibayar) mengantri. Lalu datang
orang asing ikut mengantri. Ketika ada bunyi bel, orang-orang yang
sengaja mengantri tadi berdiri semua. Orang asing yang baru saja datang
tadi sedikit heran dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang ini. Tentu
saja, karena semua orang yang mengantri disini tiba-tiba berdiri saat
bel berbunyi kecuali dirinya seorang.
.
Bel
kedua berbunyi, lagi-lagi semua orang berdiri terkecuali dirinya
seorang. Ia semakin bingung. Anehnya ia tidak bertanya tentang alasan 'kenapa sih pada berdiri ketika bel berbunyi?'.
Mungkin karena takut salah berbuat sesuatu dan membuat orang lain marah
atau justru malu menanyakannya. Kemudian ketika bel ketiga berbunyi,
tanpa mengetahui alasan yang pasti, orang asing itu ikut berdiri
mengikuti tingkah laku sekumpulan orang tadi. Inilah yang dimaksud
dengan keputusan yang kita ambil bukan karena pilihan kita. Melainkan
sebuah keputusan yang kita buat karena tekanan sosial, karena orang
lain. Jika kita melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh
orang lain, kita merasa nyaman. Tanpa disengaja kita ikut terbawa arus.
Kemudian datang orang asing kedua. Sama dengan sikap orang asing pertama tadi. Ia bingung kenapa orang ini berdiri. Ia bertanya dengan orang asing pertama itu, dan jawabannya adalah hanya karena orang lain tadi melakukan hal itu. Orang asing kedua pun juga ikut mengikuti kebiasaan yang tidak jelas tujuannya itu. Dan itu menular ke orang asing ketiga, keempat, kelima, dan berbagai orang. Tanpa sengaja orang asing pertama menyebarkan kebiasaan tidak jelas. Lihat videonya disini.
.
Bukan
hanya itu saja. Setelah sekumpulan orang yang dengan sengaja mengantri
tadi pergi satu-persatu hingga tinggal orang asing seorang diri disana,
ia tetap melanjutkan kebiasaan tak jelas itu walaupun tidak ada orang
lain yang melihatnya. Seolah-olah kebiasaan itu harus dilakukan. Dan
seolah-olah kebiasaan itu adalah benar.Kemudian datang orang asing kedua. Sama dengan sikap orang asing pertama tadi. Ia bingung kenapa orang ini berdiri. Ia bertanya dengan orang asing pertama itu, dan jawabannya adalah hanya karena orang lain tadi melakukan hal itu. Orang asing kedua pun juga ikut mengikuti kebiasaan yang tidak jelas tujuannya itu. Dan itu menular ke orang asing ketiga, keempat, kelima, dan berbagai orang. Tanpa sengaja orang asing pertama menyebarkan kebiasaan tidak jelas. Lihat videonya disini.
.
Menurut
seorang pakar, Jonah Berger dari Universitas Pennsylvania, kebiasaan
yang dilakukan itu adalah sebuah bagian dari bersosialisasi. Akan tetapi
kebiasaan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh orang
lain tanpa alasan yang pasti juga bisa membangun sebuah kebiasaan buruk.
.
Sejujurnya
untuk melawan tekanan sosial itu cukup sulit. Saya pribadi
mengalaminya. Waktu itu saya dan kawan-kawan berada di Dieng. Kami
sedang mendaki gunung Prau. Setelah turun kami beristirahat di basecamp,
tepatnya Patak Banteng. Hari itu adalah hari Jum'at. Kami menuju ke
masjid terdekat untuk melaksanakan sholat Jum'at.
.
Dari
awal kami memang merasakan perbedaan budaya disini. Mulai dari tutur
kata dan tingkah lakunya. Budaya disini sangat kental sekali. Anak-anak
rambut gimbal yang konon katanya titipan Kyai Kolo Dete juga ikut solat
disana. Di dalam masjid terdapat sekat ditengahnya. Kawan-kawan saya
memilih untuk duduk di belakang sekat tersebut. Namun saya tidak. Saya
bersama dua orang pendaki lain masuk lebih dalam dan mendekati mimbar.
.
Dua
rekaat sudah saya laksanakan. Pendaki tadi ternyata juga sama, mereka
juga melaksanakan sholat dua rekaat. Seperti itulah rasanya memutuskan
sebuah keputusan tanpa dilandasi alasan yang benar-benar jelas.
Memutuskan sebuah keputusan yang hanya dikarenakan ikut-ikutan, takut,
terasingkan, dan tidak nyaman. Untuk melawan memang sulit. Otak kita
serasa digerakkan. Seperti sudah terprogram untuk harus melakukan itu.
Memang sulit sekali untuk memberontak. Saya gagal meniru motto iklan
rokok.