Tak ada hentinya hujan pd malam Natal. Tdk ada rencana apapun. Krn memang aku mnyukai sesuatu yg diluar rencanaku. Dan aku slalu menantikannya. Siapa yg lbh dulu mngajakku u/ menjadi teman ceritanya. Pdhl aku bkn psikolog. Tp bisa jadi aku psikolog ulung.
Memang banyak kawan yg sering menjadikanku "listener" mereka. Orang rumah paham, kalau aku memang suka berpetualang, sering nongkrong. Dan mereka juga tau bahwa aku org yg amanah. Kepercayaan yg mereka berikan, adalah tanggungjawab yg besar juga buatku. I have to take care of it.
Selain menjaga kepercayaan itu, berbakti jg bagian tanggungjawabku. Bukan hanya krn kodratnya sbg seorang anak, berbakti jg sebagai bentuk bayaranku karena jarang di rumah.
Kembali pada malam Natal. Hari itu acara dadakan dimulai. "Kunjungan untuk org baik". Org yg paling baik.
Rencana dibuat jam 14.00 WIB. Diputuskan jam 21.00 WIB. Aku bergegas mandi & segera menuju rumah seorang kawan. Kami akan berkunjung ke rumah keluarga besarnya. Tujuannya untuk berziarah. Benar. Kunjungan itu adalah ziarah. Ziarah untuk org baik. Ziarah untuk org paling baik.
Kami terdiri: aku, 3 kawanku, 1 adik kawanku & 1 ibu kawanku.
Hujan tak berhenti. Sama sekali tak ada jeda. Kami berangkat dgn mobil. Dlm perjalanan malam itu, aku sedang menulis kisah suatu keluarga, yg juga keluarga kawanku yg lain. Aku memasuki mood terharu.
Dlm gelapnya perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Melihat jalanan. Membuatku bernostalgia ketika aku & keluargaku lebaran ke rumah eyang dgn bus provinsi. Aku masih kecil sekali. Masih membutuhkan plastik untuk tempat mualku. Waktu itu keadaan ekonomi keluarga msh berantakan.
Nostalgia yg sedikit itu membuat suasana hatiku menjadi semakin haru. Perjalanan malam selesai pada jam 00.30. Kami sdh sampai di lokasi. Suasananya seperti rumah eyang. Hampir mirip. Bangunan rumah mayoritas dari kayu. Suasana sekitar rumah masih domiman hijau. Ayam dimana-mana.
Benar² sama. Jd rindu eyang, yg skrg sendirian tinggal di sana.
Kopi diseduh. Rokok dinyalakan. Sambil menunggu daya handphone penuh lg, kami (aku & 3 kawan) menikmati malam itu dgn ketenangan. Ketenangan yg memang aku butuhkan setelah realitas membuatku lelah. "Sejuk", batinku.
Menjelang pagi, hujan masih mengguyur bumi. Suasana kampung sngt terasa. Nyaman sekali. Kubuka laptop, ditemani dgn buku yg kubawa. Membaca dlm keadaan seperti ini. Jg menulis dlm keadaan nyaman ini, adlh harapanku di masa tua. Jadi bersemangat menghadapi dunia. Dunia org dewasa.
Dapur sudah tak bersuara, pertanda sarapan telah tiba. Kami duduk melingkar. Hal lumrah di kampung, ketika jam makan, semuanya harus menghentikan aktivitasnya dan berkumpul di ruang tengah untuk makan bersama. Sehingga kedekatan seisi rumah terjaga. Hal yg sudah luruh di rumahku.
Kenyang sekali. Dan nikmat betul masakan dari tuan rumah. Sembari menunggu hujan berhenti, kami nikmati teh di belakang rumah. Aku sudah menutup laptopku. Mendengarkan kawan² mengobrol. Yg keseluruhannya mengenai kenangan² di rumah ini, pula kenangan mengenai almarhum (suwargi).
Hujan paham betul jika kami hendak berziarah. Mereka mengijinkan kami u/ berkunjung. Dalam perjalanan menuju makam, aku mengingat kembali sebuah kalimat dari Quraish Shihab, yang singkatnya mengenai kehidupan org yg sudah meninggal ketika di alam kubur menunggu datangnya kiamat.
Sebelummya. Beberapa bulan yg lalu. Aku pernah dalam keadaan kesepian. Lebih tepatnya memang ingin menyendiri. Karena aku kehilangan makna hidupku. Seakan-akan hidup, tapi tak merasakan nikmatnya sedikitpun. Pasca Madrid juara & liga champion berakhir. Aku menjadi kosong. Hampa.
Apalagi waktu itu masih ngekos. Tiap selesai kerja, balik kosan. Istirahat. Udah. Gitu² muluk. Baca² buku buat nemuin makna hidup.
Waktu itu emg ngehindar dari temen² dan keluarga. Bener² ingin mendalami kesepian. Dan mencoba merangkul kesepianku yg paling dalam di jiwa ini.
Agar aku mengerti, betapa menyedihkan dan sakitnya sukmaku yg satu ini, si kesepian ini. Yg tak mau berbaur dengan sukma²ku yg lain.
Semakin dalam aku menjelajah kesepian, semakin aku takut mendekatinya. Kenapa justru aku yg ditarik olehnya. Pdhl rencanaku adalah mengajaknya.
Kenapa malah aku tersangkut dalam pedihnya.
Tiap malam aku menangis kepada Tuhan. Kenapa kesepian ini sulit dimengerti. Kenapa aku hidup. Akhir yg seperti apa yg akan kualami. Surgakah bagiku. Atau neraka. Aku telah kehilangan makna. Ya Tuhan, Aku kesepian. Hidupku sepi.
Tujuanku merangkul sepi agar aku bisa menjalani hidup dengan makna lagi. Tapi kenapa semakin aku mengetahui, semakin lunak perasaanku. Semakin tak berdaya. Hatiku mudah sedih. Berbanding terbalik dengan harapanku setelah mengenal sepi. Ternyata sehitam dan sedalam itu sepi.
Aku berhenti. Aku berhenti mengenal sepi. Aku menghadap ke Tuhan lagi. Mengeluhkan kesepian. Apakah ini juga yg dirasakan oleh orang² yg lebih menghendaki mati daripada hidup dalam sepi (baca: bunuh diri).
Bukankah ini juga aneh. Tdk ada sebuah teori yg valid, yg mengatakan bahwa setelah mati, menghendaki keramaian. Dasar apa org mati menghendaki ramai, nyatanya ketika ia hidup, tak dimanfaatkannya keramaian yg ada dihidupnya untuk kehidupannya setelah mati. Agak sulit dipahami ya.
Dalam sembahku kepada Tuhan. Aku masih mempertanyakan sepi. Jika sekarang aku kesepian, bukankah di alam kubur akan jauh lebih sepi?
"Ya Tuhan, dengan cara apa agar aku bisa meramaikan kuburku. Apalah arti kehidupan ini, kalau bukan Engkau menghendakiku hidup, maka aku hidup. Engkau menghendakiku bahagia, maka aku bahagia. Dgn cara-Mu. Dgn takdir-Mu. Maafkan atas kelancanganku yg meratapi sepiku dan lupa bahwa Engkau di sini bersamaku."
Dalam tangisan itu aku membayangkan diriku mati. Tinggal di liang kubur sendiri. Sepi. Hanya cacing² tanah di sana.
Lalu muncul tafsir Quraish Shihab mengenai hidup setelah kematian. Yg telah meninggal bisa melihat keluarganya. Dimanapun keluarga itu berada.
Maka dalam perjalanan itu, aku meyakini, suwargi sedang melihat kami semua. Menuju meeting point, tempat jasadnya berada.
Di makam, aku mengimajinasikan bahwa suwargi sedang berada diatas makamnya. Ia bisa mendengar kami. Aku terus berusaha khusyuk untuk memvisualkan imajinasi itu menjadi seperti nyata. Kami berdoa.
Wah, dalam menulis ini aku berkaca-kaca. Seakan-akan beliau ada di sudut kamarku.
Di makam aku merasakan ekspresiku bercampur aduk. Rasanya seperti baru kemarin kami masih bermain badminton bersama. Kami berpasangan mampu mengalahkan anak² Univet yg bermain di lapangan sebelah. Rasanya ingin menangis. Ya, aku adalah org yg mudah terhanyut keadaan.
Burung berkicau kencang di sekitar makam. Imajinasiku terpecah. Visualku hilang. Aku mengerti. Sepertinya, org yg sudah pergi tak begitu suka untuk ditangisi. Doa sudah lebih cukup. Maka aku paham, kenapa ketika kakek meninggal, beliau tak ingin perempuan ikut datang menguburnya.
Namun hal normal bagi yg ditinggal itu menangis. Karena mereka (sebenarnya) bukan menangisi si meninggal. Tapi mereka menangisi diri mereka sendiri (tanpa mereka sadari). Maka menangislah. Bersedihlah dlm duka cita itu. Jgn sampai kesedihan itu masih tertinggal & berlarut-larut.
Setelah dari makam, kami berpamitan pulang. Dalam perjalanan, hujan kembali membasahi bumi. Semua org tidur kecuali kawanku yg menyetir. Sambil menemaninya, aku menuliskan kisah ini dgn segera sebelum cerita ini hanyut digantikan oleh kisah lain. Pada hari natal, lahir jiwa baru.
Source: twitter.com