- 1. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 94)
“VOC tidak memiliki niat untuk menyelenggarakan tertib hukum di Nusantara. Mereka tak sudi repot-repot menjamin kepastian hukum. Maka terdapatlah tiga golongan, yakni Eropa (Jepang masuk sini), Timur Asing (Tionghoa, Arab, dll), dan Bumiputera. Masing-masing menggunakan hukumnya sendiri-sendiri.”
- 2. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 94-95)
“Pada tahun 1800an, Inggris sering disebut ‘negeri yang mataharinya tak pernah terbenam’ karena saking banyaknya wilayah jajahan di saentero jagad.”
- 3. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 95)
“Pada masa VOC berkuasa, para pembesar bumiputera mendapat perlakuan istimewa (dari VOC) sebab merekalah perantara penguasa dari Belanda dengan rakyat. Dalam kutip mereka dimanfaatkan loyalitasnya.”
- 4. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 96)
“Land-rent atau landrente ialah pemerintah (Thomas Raffles: 1811) sebagai pemilik tanah, sedangkan petani (pribumi) sebagai penyewa (patcher). Pajak tanah berupa uang tunai. Besarnya disesuaikan berdasarkan mutu tanah. Sawah dan tegalan masing-masing dibagi menjadi tiga kelas.”
- 5. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 97)
“Sebelum meninggalkan Asia, Raffles sempat membeli Singapura yang dijadikan sebagai basis utama Inggris di Asia Tenggara (ASEAN).”
- 6. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 97-98)
“Pada tahun 1820 muncul gagasan tanam paksa (cultuurstelsel) dari Van den Bosch sebagai upaya dari Belanda untuk melunasi hutang-hutangnya. Aturannya adalah 1/5 lahan petani harus ditanami tanaman wajib (tanaman yang dibutuhkan di Pasar Eropa) seperti kopi, teh, tebu, kapas dan tembakau, yang bertujuan untuk diekspor. Namun dalam praktiknya bukan 1/5, melainkan 1/3 lahan. Penyebabnya adalah manipulasi yang dilakukan oleh para penguasa pribumi terhadap para petani. Selain itu, setiap petani wajib kerja 60 hari per tahun untuk mengurusi tanaman wajib (ekspor). Faktanya, sistem tanam paksa ini berhasil melunasi utang-utang milik Belanda, terutama VOC. Bahkan Belanda sendiri mendapat laba (batig slot) senilai 832 juta gulden selama 1831-1877.”
- 7. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 98-100)
“Karena memiliki keuntungan yang besar, banyak swasta-swasta atau pengusaha-pengusaha Belanda berusaha untuk menguasai beberapa tanah di Nusantara. Namun dalam aturannya, hanya pemerintahlah yang berhak memiliki tanah di Nusantara. Bukan pebisnis namanya kalau tidak berakal panjang. Mereka tetap berusaha dengan cara melobi otoritas terkait, terutama parlemen. Pada akhirnya mereka berhasil dengan diloloskannya RUU pada 9 April 1970 yang diajukan oleh Menteri Jajahan de Waal. Selanjutnya UU ini dikenal dengan ‘Agrarische Wet’. Agrarische Wet menyatakan bahwa seluruh tanah yang mana seseorang atau pihak lain tak dapat membuktikan hak kepemilikannya, maka tanah tersebut menjadi tanah milik negara atau tanah wilayah negara (lands domein). Untuk selanjutnya klaim ini dikenal sebagai doktrin domain atau domeinverklaring. Selain itu Agrarische Wet juga mengakui hak ulayat masyarakat adat (beschikkingsrecht) namun rawan, sebab bisa diakuisisi oleh negara dengan haknya, yakni hak negara menguasai tanah.”
- 8. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 100)
“Code Napoleon merupakan tulisan pengarang-pengarang Prancis tentang Hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) ditambah unsur hukum kanonik (Katolik) dan kebiasaan setempat. Code Napoleon menjadi inspirasi Burgerlijk Wetbook (KUHPerdata Belanda) karena mereka pernah dijajah Prancis. Kemudian BW diterapkan ke Nusantara dan menjadi inspirasi KUHPerdara Indonesia.”
- 9. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 102)
“Negara ada dua jenis, yakni negara dalam keadaan bergerak (Staat in Beweging) yaitu Pemerintahan (Gouvernment) dan negara dalam keadaan diam (Staat ini Rest) yaitu Negara (Staat). Maka muncul istilah kepala negara dan kepala pemerintah, yang notabene keduanya memiliki tugas yang berbeda dan kedudukan yang berbeda.”
- 10. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 102)
“Berkaitan denga penguasaan dan kepemilikan tanah, kekuasaan negara dibedakan menjadi dua, yaitu kekuasaan untuk memiliki (toeigening occupatie) dan kekuasaan untuk mengurus (beheersing). Kekuasaan inilah yang nantinya menjadi alasan pembenaran pernyataan Hak Milik Negara atas Tanah. Tanah yang berada dalam kekuasaan negara dalam keadaan diam disebut Staatsdomein. Sedangkan tanah yang berada dalam kekuasaan negara dalam keadaan bergerak disebut Landsdomein.”
- 11. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 104-105)
“Dampak diberlakukannya Agrarische Wet mendorong lahirnya kebijakan baru yang dikenal dengan istilah Politik Etis, yang merupakan bentuk untuk memajukan rakyat pribumi (mengurangi penderitaan rakyat pribumi), memperhatikan nasib mereka, dengan program irigasi, reboisasi, transmigrasi, dan pendidikan. Namun dalam praktiknya tetap menderitakan rakyat, bahkan bisa lebih menderita lagi. Karena pada faktanya masih banyak yang tetap mementingkan kepentingan pabrik. Misalnya adanya sewa murah dalam waktu panjang, yakni 75 tahun.”
- 12. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 105)
“Setelah Indonesia merdeka, sebelum negara bergerak ke arah industrialisasi, pemerintah membentuk Panitia Agraria yang bertugas mengatasi masalah pertanahan di Indonesia dan panitia ini pula yang melahirkan UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).”
- 13. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 106)
“Muncul persepsi bahwa UUPA merupakan produk PKI.”
- 14. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 106)
“Sebelum reformasi, Indonesia pernah mengalami krisis moneter, bahkan sebagian besar negara di Asia juga terkena krisis ini. Beberapa pihak menuding bahwa krisis ini disebabkan oleh kebijakan pertanahan yang menciptakan penguasaan tanah berskala besar oleh sejumlah perusahaan dan investor di bidang lain.”
- 15. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 107)
“Hukum adat tidak berada di luar ataupun berhadapan dengan UUPA, melainkan bagian dari UUPA yang tidak tertulis. Hukum adat sebagai dasar hukum UUPA adalah hukum adat yang sudah di saneer, yaitu hukum adat yang hukum aslinya berlaku bagi golongan rakyat pribumi, yang selanjutnya merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasionalis asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.”
- 16. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 110)
“Kolonialisme-Imperialisme, dua unsur yang sangat bertaut dengan Kapitalisme.”
- 17. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 112-113)
“Sistem adalah susunan kesatuan-kesatuan yang masing-masing tidak berdiri sendiri, tetapi berfungsi membentuk satu kesatuan secara keseluruhan. Pada hakikatnya hukum juga merupakan suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Mempunyai ciri umum, yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling terkait (relations), dan kemudian membentuk struktur (structure).”
- 18. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 114)
“Friedman berkata, sistem hukum terdiri atas 3 (tiga) elemen, yakni struktur hukum (structure), substansi hukum (substance), dan budaya hukum (culture).”
- 19. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 116-117)
“Tim perancang UUPA silih berganti karena keadaan politik. Ada Panitia Agraria Yogya (1948), ada Pantia Agraria Jakarta (1951), Panitia Suwahyo (1955), Rancangan Soenarjo (1958), dan Rancangan Soedjarwo (1960). Walaupun berganti-ganti, mereka tetap menjaga kesinambungan sehingga rancangan tak selalu mulai dari titik nol. Mulai dari 1948 hingga 24 September 1960, UUPA lahir memakan waktu 12 tahun.”
- 20. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 121-122)
“UU Pokok Agraria hanya memuat asas-asas pokok peraturan yang mengatur tentang bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sehingga Elza Syarief sependapat dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa UUPA berfungsi sebagai ‘payung’ bagi penyusunan peraturan perundang-undangan tentang tanah lainnya yang bersifat operasional. Namun, dengan adanya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1), tidak lagi tercantum bahwa UUPA adalah payung hukum dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga tidak terlihat adanya pembedaan antara UU sebagai payung dan UU yang bersifat organik, sehingga dengan demikian kedudukan UUPA sebagai UU payung seakan-akan tidak lebih tinggi dengan UU organik lainnya. Kondisi tersebut membawa konsekuensi hukum, yakni pembuatan suatu UU yang bersifat organik tidak lagi harus mengacu atau bertindak berdasarkan UUPA, padahal UUPA dimaksudkan sebagai UU payung yang mengandung amanat pembuatan beberapa UU (ada sebanya 44 UU) sebagai pedoman pelaksanaan UUPA. Berdasarkan hal tersebut sudah waktunya dilakukan perubahan dan penyempurnaan UUPA.”
- 21. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 122-123)
“Sebagai langkah awal untuk memikat investor asing, tahun 1967 diberlakukan UU Penanaman Modal Asing (UU PMA). Untuk merangsang minat calon investor, pemerintah memberlakukan sejumlah regulasi terkait dengan SDA, salah satunya adalah UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan UU Nomor 11 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Ternyata UU tersebut tidak menjadikan UUPA sebagai basisnya, malah tumpah tindih dan inkonsisten satu sama lain.”
- 22. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 124)
“UUPA hanya memuat asas-asas pokok peraturan yang mengatur bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. UUPA berfungsi sebagai payung bagi penyusunan peraturan perundang-undangan tentang tanah lainnya yang bersifat operasional. UUPA hanya merupakan Undang-Undang Pokok. UUPA memerlukan aturan pelaksana atau aturan teknis. Aturan pelaksana UUPA ini harus serasi dan selaras dengan isi yang terkandung di dalam UUPA.”
- 23. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 125-126)
“Menurut W.J.S Poerwadarminto, asas adalah dasar, alas, dan fondamen. Asas dalam bahasa Inggris adalah principle, prinsip, yang berarti: awal, pondasi, primus, sumber atau asal sesuatu, penyebab utama sesuatu, aturan atau dasar bagi tindakan seseorang. Prinsip atau asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai sandaran, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak kita jelaskan. Asas adalah alasan yang dirumuskan secara luas, yang terletak di dasar suatu norma hukum. Aturan legal seringkali lahir dari prinsip-prinsip.”
- 24. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 127)
“Asas-asas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak berpikir tentang hukum dan pembentukan UU dan interpretasi UU tersebut.”
- 25. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 127-131)
“Asas hukum tanah nasional yang berada pada UUPA adalah: (1) asas hukum adat, (2) asas pemisahan horisontal untuk bangunan dan tanah di atasnya, (3) asas nasionalitas subjek atas hak tanah, (4) asas fungsi sosial hak atas tanah, (5) asas pemerataan dan keadilan, (6) asas penggunaan tanah dan pemelihara lingkungan hidup, (7) asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam penggunaan tanah, (8) asas hubungan yang berkarakter publik antara negara dengan tanah.”
- 26. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 127-128)
“([1]) Hukum adat yang menjadi dasar UUPA harus memenuhi syarat berikut: (a) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan asas persatuan bangsa, (b) tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia, (c) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUPA, (d) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, (e) harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
- 27. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 128-129)
“([2]) Asas pemisahan horisontal untuk bangunan dan tanah di atasnya menjelaskan bahwa pemilik tanah tidak otomatis menjadi pemilik benda-benda yang terdapat di atasnya. Kepemilikan tersebut harus diatur secara tegas dalam akta. ([3]) Asas fungsi nasionalitas subjek atas tanah berasal dari hukum adat yang mendahulukan kepentingan anggota masyarakat hukum adat daripada orang luar. Asas ini diatur jelas di dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUPA. ([4]) Asas fungsi sosial hak atas tanah diatur jelas dalam Pasal 6 UUPA. Asas ini menjelaskan bahwa pemilik tanah tidak dibenarkan dapat menggunakan atau tidak menggunakan tanahnya untuk kepentingan pribadi, apalagi menimbulkan kerugian masyarakat, walaupun ia memiliki hak atas tanah tersebut. Justru, pemilik tanah wajib ‘merelakan’ hak atas tanah dicabut demi kepentingan umum.”
- 28. Buku Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan - Elza Syarief (hlm. 130-131)
“([5]) Maksud dari asas pemerataan dan keadilan adalah memberi akses yang memadai bagi rakyat (terutama rakyat tani) guna memperoleh tanah. Itu sebabnya UUPA bersifat populis.”Syarief, Elza. 2012. Menuntaskan Sengketa Tanah: Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).