Seorang dokter ahli kandungan dapat memastikan kalau pasien bayi tabung yang ditanganinya akan melahirkan bayi berjenis kelamin laki-laki, berdasarkan rekayasa genetika (zygot yang telah berkromosom XY). Selama proses intensif In Vitro Fertilization (IVF), suami istri tersebut telah banyak menanda-tangani berbagai macam persetujuan perihal tindakan dan prosedural medis. Tetapi pada saat kelahiran, ternyata berjenis kelamin perempuan. Pasangan tersebut kecewa.
Yang menjadi pertanyaan:
- Apakah perkara ini bisa dimediasikan..? Bilamana bisa, menurut anda apa solusinya..?
- Apakah dokter tersebut bisa diperkarakan karena telah berani menjanjikan, meskipun menurut prosedural medis telah disetujui pasien dan secara laboratorium sudah bisa fix laki-laki..? Jelaskan..!
Jawab:
Dalam dunia medis modern, teknologi In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung memungkinkan terjadinya kehamilan melalui proses pembuahan di luar tubuh, kemudian embrio ditanamkan ke rahim ibu. Dengan kemajuan genetika, dokter bahkan dapat mengetahui kromosom embrio (XY = laki-laki, XX = perempuan). Namun, jika hasil kelahiran berbeda dari yang dijanjikan, muncul pertanyaan hukum dan etika.
1. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR)
Apakah perkara ini bisa dimediasikan?
Ya, bisa dimediasikan. Mediasi merupakan bagian dari ADR (Alternative Dispute Resolution) yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam kasus ini, mediasi menjadi pilihan karena menyangkut hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien, serta adanya unsur emosional dan etika, bukan semata-mata persoalan hukum pidana atau perdata murni.
Solusi yang dapat diambil melalui mediasi:
Dokter dapat memberikan klarifikasi ilmiah bahwa hasil kromosom pada tahap embrio bisa mengalami anomali atau perubahan genetik spontan setelah implantasi, meskipun hal ini sangat jarang.
Pihak klinik dapat menawarkan kompensasi etis atau administratif, seperti pengembalian sebagian biaya atau layanan lanjutan (jika disepakati bersama).
Kedua belah pihak dapat menyepakati perdamaian tertulis untuk menghindari proses hukum panjang yang bisa mencoreng reputasi kedua pihak.
Mediasi menekankan pada musyawarah mufakat dengan pendekatan win-win solution, bukan mencari pihak yang kalah.
2. Tinjauan dari Aspek Hukum Kesehatan
Apakah dokter dapat diperkarakan?
Secara hukum, dokter tidak otomatis dapat diperkarakan, kecuali dapat dibuktikan bahwa ia menjanjikan hasil tertentu (janji pasti) di luar batas kemampuan ilmu kedokteran. Hal ini diatur dalam: Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menyebutkan bahwa setiap tindakan medis harus mendapat persetujuan tindakan medis (informed consent).
Jika dalam informed consent disebutkan bahwa hasil medis tidak dapat dijamin 100%, maka secara hukum dokter tidak dapat dianggap lalai atau menjanjikan sesuatu yang pasti.
Namun, jika ada unsur penipuan atau misrepresentasi, misalnya dokter secara sadar memberikan janji pasti bahwa bayi akan berjenis kelamin tertentu, maka pasien dapat menggugat secara perdata atas dasar: Wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata), jika dianggap melanggar perjanjian, atau Perbuatan melawan hukum (PMH) (Pasal 1365 KUHPerdata), jika janji tersebut menimbulkan kerugian.
Dalam praktiknya, pembuktian bahwa dokter “menjanjikan hasil” secara pasti sangat sulit, sebab pernyataan dokter biasanya bersifat prediktif dan berbasis kemungkinan ilmiah, bukan jaminan absolut.
Kesimpulan
- Sengketa seperti ini lebih tepat diselesaikan melalui mediasi agar hubungan baik tetap terjaga dan tidak berujung pada tuntutan panjang.
- Dokter tidak dapat diperkarakan hanya karena hasil berbeda, selama tidak ada janji pasti atau kelalaian medis yang terbukti.
- Prinsip utama dalam hukum kesehatan adalah informed consent dan tidak ada jaminan hasil mutlak dalam tindakan medis.
Referensi:
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
- PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
- KUH Perdata Pasal 1243 dan 1365.
*Thumbnail postingan ini bersumber dari: www.halodoc.com, yang kemudian diedit oleh Reza.