Orang beragama aja, yg 'katanya' moral compassnya kitab suci, realitanya apakah dia menjadi sosok yg suci, yg ngejauhin hal² maksiat atau ngerugiin org lain? Enggak kan.
Tapi apakah yg salah agamanya? Engga juga.
Lantas moral compas etika itu darimana?
Ambil contoh kasus, Suryadharma Ali, mantan Menteri Agama yg ngelakuin korupsi soal Haji. Berasal dari PPP. Terkenal agamawan, ditambah lulusan UIN Jakarta. Mantan Ketum PPP lagi. Tapi apa? Korupsi. Padahal moral compassnya Quran.
Lagi,
Said Agil Husin. Kasusnya korupsi juga.
Soal haji juga. Malah lulusan Universitas Islam Madinah & lulusan salah satu perguruan tinggi di Mekkah. Nyatanya apa? Korupsi juga.
Romi (Romahurmuzly), yg ga lama kemaren, juga kena Korupsi kasus jual beli jabatan. Asal PPP juga. Pernah jadi Ketum PPP. Org NU. Korupsi juga.
Beragama bukan sebuah indikator dalam menentukan seseorang bermoral apa kagak.
Kalau kata Nietzsche, baik & buruk itu bukan sesuatu yg turun dari langit, yg datang ke manusia. Tapi manusialah yg menentukannya.
Kitab suci sebagai moral compass manusia bukan sesuatu yg salah. Tapi juga bukan sesuatu yg lengkap.
Karena moral bukan sesuatu yg mutlak (jika moral ditulis di dalam kitab suci, maka Moral menjadi sesuatu yg mutlak). Moral bisa berubah.
Dalam bukunya, Romo Suseno bilang:
Golongan relativisme deskriptif (biasanya para antropolog, etnolog, sosiolog) mengatakan bahwa sistem² moral dalam berbagai masyarakat sangat berlainan. Karena masyarakat itu heterogen. Sehingga setiap masyarakat mempunyai norma² yang berlainan. Maka tidak ada kemutlakan moral.
Dalam buku Romo Suseno juga bilang:
Kesadaran moral itu berlaku umum, terbuka terhadap pembenaran atau penyangkalan, dapat dan harus dipertanggungjawabkan dengan argumentasi yang masuk akal (hanya ditemukan benar atau salah).
Artinya dlm menentukan moral, tdk hanya bergantung pada kitab² agama, tp manusia dituntut melihat realita serealis mngkin, senyata mungkin.
Bahkan g cuman bersikap realis, harus taruh sikap kritis juga disana. Kritis berfungsi agar tanggungjawab moral kita tdk mudah ditundukkan.
Maka dari itu agnostik atau atheis harus di apresiasi dalam menentukan moral mereka.
Karena dasar rasionalita kesadaran moral mereka adalah kesadaran bahwa melakukan kewajiban itu sesuatu yang baik. Karena demikian maka melakukan kewajiban adalah masuk akal.
Tidak seperti agamawan, yg banyak tujuan dalam melakukan kewajiban sesuatu yg baik itu. Misalnya berharap dibalas di dunia, atau berharap dibalas di akherat, dapat mengantarkan surga, dan sebagainya.
Aku pernah dicap agnostik sama bapak sendiri karena nulis soal moral yg ideal.
Demikian terkait moral compass dari perspektifku. Baik & buruk, salah & benar, bukan sesuatu yg mutlak, melainkan sesuatu yg subjektif, krn manusia diciptakan berbeda-beda, heterogen.
Tidak cukup hanya diliat dari kitab suci, tapi juga perlu melihat realita dan bersikap kritis.
Jangan kan moral. Tgl 1 syawal aja ga mutlak kapannya. Perlu ijtihad para ulama melalui sidang isbat, dengan melihat bulan pada hari itu, serealis mungkin.
Padahal tata surya itu konstan tapi sifatnya tetap dianggap ga mutlak. Apalagi moral manusia, yg manusianya beragam.