Aku letakkan kacamata di depan layar komputer. Kusandarkan kepalaku pada sandaran kursi sambil memandangi langit-langit kamar. Pusing sekali. Banyak sekali ide yang datang, tapi tak satu pun bisa kuaktualisasikan. "Payah!" Gerutuku.
Rumah dalam keadaan sepi. Semua orang sedang pergi ke kampung halamannya masing-masing. Inilah ketenangan yang aku idamkan. Sayangnya, ketenangan yang aku alami saat ini tak sesuai keinginanku. Suasana sepi meruntuhkan hatiku.
Ketenangan menjadi sesuatu yang menakutkan. Hatiku tiba-tiba berteriak, seakan-akan membenci sepi. Ada apa ini? Apakah orang-orang telah mengubah jiwaku menjadi pembenci sepi. Aku tak memiliki kesimpulan yang tepat terhadap perasaan yang mengganjal ini.
Masih kulihat langit-langit kamar. Putihnya memudar, menjadi samar-samar. Mataku meneteskan air mata. Aku menangis. Aku menangisi jiwaku yang kesepian. Ia dilanda kemuakkan.
Banyak pikiran menghampiriku. Menghardik otakku, dan memukulnya hingga terjatuh dari tempatnya. Caci maki keluar dari si banyak pikiran. "Apa yang sedang kau lakukan, bodoh?!" Tanyanya kepada otak.
"Diam kau sekarang? Apa prioritasmu, bodoh? Jawab! Masih mau ke sana? Ga belajar kau? Kenapa harus ke sana lagi? Bodoh!" Si banyak pikiran tak henti-hentinya mendesak otak dengan berbagai pertanyaan, yang bahkan si otak tak memiliki kesempatan untuk menjawabnya. Saking banyaknya hal yang ingin disampaikan si banyak pikiran.
Aku pejamkan kedua mataku. Tangisan perlahan-lahan berhenti. Di dalam gelapnya bayanganku, aku memfokuskan diri merasuk ke dalam pikiranku. Menghampiri si otak, yang sedang dihabisi si banyak pikiran.
Aku berdesakan dengan si banyak pikiran, menuju si otak. Sesak sekali. Banyak pikiran datang dengan gerombolan yang tak terbayangkan jumlahnya. Mereka memiliki tujuan yang sama, menghabisi si otak. Hingga tak bisa berpikir lagi. Pantas, pusing sekali akhir-akhir ini. Dan hari ini adalah puncaknya.
Aku tarik nafas dalam-dalam. Celotehan si banyak pikiran perlahan-lahan menjadi samar. Mereka tak berhenti memaki otak, namun volumenya mengecil. Si otak juga merasakan hal yang sama. Dia berkaca-kaca, menatapku yang sedang berusaha mendekatinya. Seperti orang yang sedang terbebas dari kutukan iblis, dia lega. Dia tersenyum selebar-lebarnya. Bersuka cita menanti kebebasannya.
Suara si banyak pikiran masih di sana. Walau kecil, tapi eksistensinya masih ada. Aku atur lagi nafasku. Menarik udara ke dalam kepala, hingga tidak ada lagi suara si banyak pikiran. Suara itu kemudian digantikan oleh suara angin.
Dalam fenomena itu, si banyak pikiran terombang-ambing. Eksistensinya dalam bahaya. Mereka memperkokoh posisi mereka. Aku atur nafas lagi, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Hingga kerusuhan terjadi di dalam kepala. Angin terlalu ribut di sana. Angin kesejukan, yang kubawa dari sepinya malam ini, berusaha mencabut si banyak pikiran satu-persatu. Mengeluarkan mereka melalui rongga mulut.
Tidak ada lagi suara sumbang. Tak terdengar lagi caci maki. Kepala kembali tenang. Otak kembali ke tempatnya, dan menari-nari di sana. Ia tahu, banyak hal harus diselesaikan. Tapi keberhasilan ini juga patut dirayakan.
Di dalam kamar putih, di dalam sebuah rumah sunyi, di perumahan, yang seluruh warganya sudah pulang kampung, ada tubuh manusia yang sedang menguasai dirinya.
Tangisan jiwa telah berhenti. Aku buka mataku, tak ada lagi air mata yang keluar. Pandangan kembali jelas. Malah, padanganku mampu menembus langit-langit kamar, menembus awan. Sampai kulihat bintang-bintang di angkasa. Ramai sekali di sana, berkilauan cahaya.
Terima kasih, aku, jiwaku. Kalian berhasil menguasainya. Keadaan berubah setelah itu. Kecuali satu hal, jiwaku yang tetap sepi. Tapi, aku berhasil menikmati kesepianku itu.
Sekali lagi, terima kasih aku.
Sukoharjo, Jawa Tengah
Kamis, 20 April 2023