-->

Tugas Ujian Tengah Semester Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Tidak ada komentar

Tugas Ujian Tengah Semester Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Dibawah ini adalah salah satu soal ujian tengah semester mata kuliah hukum acara konstitusi yang dikerjakan oleh penulis pada waktu masa kuliah dulu di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mata kuliah tersebut diampu oleh dosen hebat, bapak Hifdzil Alim. Adanya postingan blog ini adalah untuk melihat potensi penulis waktu kuliah dulu. Sebagai acuan apakah penulis sekarang dengan dulu mengalami penurunan dalam berpikir atau justru ada kemajuan. Apabila penulis tidak lengkap, atau justru memiliki jawaban yang menyeleweng, mohon koreksinya pada kolom komentar. Terima kasih atas waktunya berkunjung pada blog ini. Semoga bermanfaat untuk kita semua, amin.

1. Argumentasi fundamental Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshal terkait judicial review:

John Marshal menyebutkan bahwa dasar yang ia pakai ada tiga, yakni Pertama, hakim bersumpah menjunjung tinggi konstitusi, sehingga jika ada pertauran yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan tersebut. Kedua, Konstitusi adalah the supreme law of land sehingga harus ada peluang pengujian terhadap peraturan yang ada dibawahnya agar isi konstitusi itu tidak dilanggar. Ketiga, hakim tidak boleh menolak perkara sehingga kalau ada yang mengajukan permintaan judicial review, permintaan tersebut haruslah dipenuhi.

2. Penggunaan bentuk “permohonan” atas pengujian undang-undang terhadap UUD 1945:

Dikatakan “permohonan” karena tidak ada sengketa dengan pihak lain, tidak ada pihak yang ditarik sebagai lawan. Berbeda dengan gugatan dimana hakim mengeluarkan sebuah putusan, di dalam permohonan hakim mengeluarkan suatu penetapan. Pengertian lebih lanjutnya diatur di dalam Pasal 1 angka 3 UU MK. UU MK memilih istilah “permohonan” akan tetapi sesungguhnya ada pihak yang berkepentingan untuk berada dalam posisi termohon. Mungkin hal ini karena kuatnya nuansa kepentingan umum yang terlibat dalam perselisihan.

3. Relasi asas mendengarkan para pihak secara seimbang dengan asas hakim aktif-pasif:

Hakim dalam memimpin persidangan memang wajib mendengarkan kedua-belah pihak. Artinya dalam persidangan dimulai, hakim belum memutuskan siapa yang salah dan siapa yang benar. Artinya disini hakim bisa jadi bersifat pasif, karena hanya melakukan proses tanya jawab kepada kedua belah pihak. Seandainya hakim berlaku aktif, dimana hakim turut serta dalam pemeriksaan, bisa jadi hakim sudah memiliki kesimpulan tentang hasil akhirnya. Pendapat-pendapat yang diucapkan oleh para pihak bisa jadi hanya formalitas dan hakim bisa menjadi buta (tidak seimbang dalam mendengarkan).

4. Korelasi antara posisi Warga Negara dengan asas point d’interet point d’action dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945:

Pendapat ini berdasar pada Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 4, Desember 2018 yang ditulis oleh I Gede Yusa, Komang Pradnyana Sudibya, Nyoman Mas Aryani, dan Bagus Hermanto pada karya ilmiah mereka yang berjudul “Gagasan Pemberian Legal Standing Bagi Warga Negara Asing dalam Constitusional Review”.

Tidak semua orang dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja tidak cukup menjadi dasar. Perlu adanya kedudukan hukum (legal standing). Itu adalah inti isi peraturan dari Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Ada beberapa contoh negara yang memperbolehkan pengujian undang-undang dilakukan oleh Warga Negara Asing, yakni Jerman, Republik Ceko, dan Mongolia. Di Jerman menyatakan bahwa hak-hak dasar tidak hanya dimiliki oleh Warga Negara asli Jerman saja, melainkan orang-orang asing yang berada di Jerman juga memiliki hak dasar dan berhak mengajukan permohonan apabila hak-hak dasarnya dirugikan atas berlakunya undang-undang.

Menurut saya pribadi, jika mengacu pada hierarki peraturan perundang-undangan, UUD 1945 berada di urutan teratas, yang artinya segala undang-undang harus berdasar pada UUD 1945. Di dalam UUD 1945 berisi banyak sekali Hak Asasi Manusia di dalamnya. Maka dalam Pasal 51 tidak hanya bersifat nasional, melainkan juga universal (Internasional). Artinya berikan legal standing kepada Warga Negara Asing, karena mereka juga memiliki hak dasar yang bisa juga dirugikan akibat dari adanya undang-undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam pemberian legal standing ini warga negara asing diberikan batasan-batasan. Kasus-kasus seperti apa yang diperbolehkan warga negara asing untuk mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Misal terkait Hak Asasi Manusia dan sebagainya.

Komentar