Artikel ini ditulis guna memenuhi Tugas Ulangan Tengah Semester Mata Kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Uneversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang diampu oleh Bapak Faiq Tobroni. Download disini untuk Microsoft Word. And here for PDF.
PEMAKNAAN STATUS SUAMI SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA (PASAL 31 AYAT 3 UU PERKAWINAN) TERHADAP PERSAMAAN GENDER
TUGAS INDIVIDU
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia
Disusun Oleh :
Muhammad Rezalino Saleh Tabalema
NIM : 16340022
Dosen Pengampu :
Faiq Tobroni, M. H.
ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam Pasal 3 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya (yang selanjutnya akan disingkat menjadi Kovenan Ekosob) menyatakan bahwa: “Negara Pihak (termasuk Indonesia di dalamnya) pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini.” Akan tetapi di dalam Pasal 31 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (yang selanjutnya disingkat menjadi UU Perkawinan) menyatakan bahwa: “Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga”. Hal ini menimbulkan pernyataan bahwa diskriminasi gender di negara Indonesia masih terjadi, bahkan tercantum secara yuridis di dalam Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian gender?
- Apakah pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan memaknai diskriminasi gender?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gender
Di dalam jurnal Mochamad Sodik (Kesetaraan Gender Sebagai Pemenuhan Konstitusi) berkata: “gender ini seringkali dirancukan dengan identitas jenis kelamin, sehingga terjadi salah kaprah yang berujung pada salah paham. Secara substantif, gender mengacu pada sifat dan peran yang dapat diubah, sementara jenis kelamin mengacu pada sifat dan fungsi yang menetap, seperti manusia yang berjenis kelamin perempuan dapat mengandung, melahirkan, dan menyusui, sementara manusia berjenis kelamin laki-laki tidak dapat melakukannya. Jadi sifat dan fungsi yang melekat pada identitas jenis kelamin merupakan kodrat Tuhan.”
“Hal tersebut sangat berbeda dengan soal misalnya pengasuhan anak, pendidikan, dan pekerjaan. Jika ditemukan kenyataan di masyarakat, misalnya pada umumnya perempuan bertugas mengasuh anak, dan laki-laki bekerja mencari nafkah, maka dapat dikatakan bahwa realitas tersebut bukanlah kodrat Tuhan, tetapi konstruksi kebudayaan yang dapat diubah dan dipertukarkan. Oleh karena itu tugas pengasuhan anak dapat dilakukan juga oleh laki-laki, sebagaimana mencari nafkah dapat dilakukan juga oleh perempuan. Di sini konsep kesetaraan dan keadilan gender menemukan relevansinya untuk membaca realitas yang semacam itu, agar tidak terjadi diskriminasi di salah satu pihak, baik laki-laki mupun perempuan.” [1]
B. Makna Pasal 31 Ayat (3) UU Perkawinan
Di dalam Pasal 31 Ayat (3) UU Perkawinan menjelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga sedangkan isteri adalah rumah tangga. Hal ini menimbulkan perdebatan bahwa Indonesia secara yuridis masih melaksanakan perbedaan gender, yakni mengintimidasi perempuan. Di dalam kelas Mata Kuliah Hukum dan HAM, Faiq Tobroni mengatakan bahwa makna dari Ayat ini adalah sebenarnya untuk administrasi negara, dalam hal data untuk Kartu Keluarga, yang mana setiap suami selalu tercantum sebagai kepala keluarga. Kedudukan ini hanya berlaku secara yuridis. Secara de facto diatur di dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi: “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.”
Akan tetapi Habib Shulton Asnawi menyatakan bahwa: “bagaimana mungkin bisa dikatakan seimbang sementara pada ayat berikutnya kedudukan suami sudah dipatok sebagai kepala rumah tangga. Penggunaan kata “kepala”, dalam menjelaskan kedudukan suami mengandung konotasi kekuasaan dan sangat terkesan otoriter sehingga tidak salah kalau masyarakat awam memandang suami identik dengan penguasa diruang lingkup keluarga, termasuk mewajibkan istri melakukan seluruh tugas-tugas dirumah tangga dan melayani seluruh keperluan dan kebutuhan dirinya lahir dan batin.” “Pertanyaanya adalah darimana para perumus undang-undang tersebut mengambil rujukan yang melegitimasi kedudukan suami sebagai kepala kelauarga? Sementara kedudukan istri dinyatakan ibu rumah tangga, mengapa kepada suami tidak dikatakan saja bapak rumah tangga atau bapak keluarga? Sehingga kedudukan keduanya terlihat equel (setara) dan saling melengkapi.” [2]
Pernyataan tersebut didasarkan pada pernyataan beliau yang menyebut bahwa: “penegak hukum di Indonesia masih di dominasi oleh cara berpikir atau paradigma pemahaman dengan perspektif “patriarkhi”. Karena pemahaman yang patriarkhis itu, maka praktik penegakan Pasal-Pasal dalam UUP dalam kenyataannya sungguh-sungguh justru lebih sering menyebabkan tambahan penderitaan pada kaum perempuan yang menjadi korban akibat pelanggengan Pasal-Pasal tersebut. Pada kenyataannya UUP memang telah ditegakkan, namun UUP tersebut seringkali diskriminatif sifatnya, tidak equal dan disertai beragam pratik rekayasa dan manipulatif. Akibatnya, keadilan yang menjadi tujuan akhir hukum seringkali tidak tercapai, karena yang terjadi adalah sematamata tegaknya hukum. Padahal, hukum hanya sekedar instrumen penegakan keadilan. Jika hukum tegak namun tidak ada keadilan, maka tujuan hukum belumlah dapat dikatakan terwujud.” [3]
“Di Indonesia memberlakukan peraturan sangat dipengaruhi oleh parleman dimana pengajuan rancangan peraturan baik atas inisiatif parlemen atau pengajuan dari pemerintah, harus selalu melalui pembicaraan di parlemen dan akhirnya difinalisasi pun oleh parlemen pula. Sehingga parlemenlah yang menjadi wakil dari suara masyarakat yang akan menyetujui atau menolak usulan atas pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Karenanya individu-individu yang menjadi unsur di dalam parlemen akan sangat penting dalam pembentukan suatu peraturan. Misalnya presentasi kaum perempuan sebagai anggota parlemen untuk periode 2003-2008 saja mencapai angka 10%, ilustrasi ini dapat menggambarkan bagaimana signifikansi atau keterlibatan kaum perempuan di parlemen dalam perumusan 30 tahun lebih yang lalu pada saat UUP tahun 1974 dibentuk.”
“Menurut teori hukum feminis, bahwa teori-teori hukum yang selama ini ditapilkan oleh para pemikir hukum sangat mengkonsentrasikan diri pada jurispudence yang patriarkhi. Teori-teori yang ditampilkan dan dicoba untuk memahami adalah teori hukum yang dikembangkan oleh laki-laki dan tentang bagaimana laki-laki berperan sebagai bagian dari warga negara. Selain hukum yang secara umum dipengaruhi oleh pola pikir patriarkhis, teori hukum feminis pengritik pula peraturan perundang-undangan yang bias gender, tidak terkecuali UUP. Di Indonesia peraturan perundang-undangan dan penerapannya yang merupakan refleksi dari pola pikir patriarkhis, yang juga akan merefleksikan pada bagaimana peraturan perundangan mengatur berbagai permasalahan di dalam masyarakat.” [4]
“Menurut kaum feminis, Diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan masih menjadi bagian dalam kehidupan kaum perempuan di Indonesia. Hukum memang bias gender karena latar belakang pemikiran, pengalaman dan cara pandang pencetusnya yang sebagian besar menggunakan nilai-nila “maskulin” sebagai acuannya. Dalam pembentukan atau perumusan peraturan perundang-undangan maka hal tersebut tidak terlepas dari adanaya unsur politik dalam proses legelasi yang dipengaruhi oleh pola pikir yang dominan. Secara empiris dapat dikatan bahwa hukum dan teori hukum adalah dominan laki-laki. Atau secara ringkas dapat dikatakan bahwa laki-laki yang menulis hukum dan teori hukum. Atau secara ringkas dapat dikatakan bahwa laki-laki yang menulis hukum dan teori hukum. Hal ini tampak dari para mereka para ahli teori hukum yang mengemukakan teorinya, yang memang hampir seluruhnya adalah mereka dari laki-laki. Dengan demikian penulisan dan hasil pemikiran para ahli pemikir hukum yang hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki itu langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi teori-teori yang dihasilkannya. Atau dengan kata lain, teori-teori tersebut dihasilkan melalui kerangka berfikir laki-laki dan berdasarkan dari sudut pandang laki-laki pula. Sehingga wajar saja jika UUP khususnya beberapa Pasal di dalamnya masih cenderung bias gender, yang berdampak terhadap hak-hak dan keadilan kaum perempuan. Oleh karena itu, reformasi hukum atau amandemen UUP adalah sebuah keniscayaan, sebagai upaya perlindungan HAM dan keadilan kaum perempuan.” [5]
Beliau menambahkan: “Upaya perlindungan terhadap kaum perempuan merupakan sebuah keniscayaan. Karena Indonesia adalah negara hukum. Ciri dari konsep negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap HAM. Ide sentral negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia HAM yang bertumpu atas prinsip kebebasan, keadilan dan non diskriminasi. Adanya Undang-undang akan memberikan jaminan perlindungan terhadap asas kebebasan dan keadilan. Hal ini jelas, bahwa negara hukum Indonesia harus tetap melindungi HAM, khususnya adalah hak-hak dan keadilan kaum perempuan.” [6]
KESIMPULAN
Setelah menelaah diatas, maka penulis simpulkan bahwa perlu adanya perubahan untuk UU Perkawinan. Berdasar pada apa yang dikatakan oleh Habib Shulton Asnawi bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih terdapat pada UU Perkawinan (tidak hanya pada Pasal 31 ayat (3) saja). Dikarenakan pembuatan UU Perkawinan masih dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkhis. Dapat dilihat pada tahun 2003 hingga 2008 hanya 10% bagian dari parlemen adalah perempuan. Bagaimana dengan tahun 1974 pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Sodik, Mochamad. “Kesetaraan Gender Sebagai Pemenuhan Konstitusi”. Jurnal Musawa, Volume 11. Nomor 2. Juli 2012.
Shulton Asnawi, Habib. “Tinjauan Kritis Terhadap Hak-Hak Perempuan Dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: Upaya Menegakkan Keadilan Dan Perlindungan HAM Perspektif Filsafat Hukum Islam”. Jurnal Fikri. Volume 1. Nomor 1. Juni 2016.
Footnote
[1] Mochamad Sodik, “Kesetaraan Gender Sebagai Pemenuhan Konstitusi”. Jurnal Musawa, Volume 11, Nomor 2, Juli 2012, hlm. 170.
[2] Habib Shulton Asnawi, “Tinjauan Kritis Terhadap Hak-Hak Perempuan Dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: Upaya Menegakkan Keadilan Dan Perlindungan HAM Perspektif Filsafat Hukum Islam”. Jurnal Fikri, Volume 1, Nomor 1, Juni 2016, hlm. 45.
[3] Id, hlm. 32-33.
[4] Id, hlm. 37.
[5] Id, hlm. 38-39.
[6] Id, hlm. 34.