-->

Etika - Tugas Filsafat Ilmu (Ermi Suhasti)

Tidak ada komentar

http://clip-jepang.com/tata-krama-makan/
Kata “etika” berasal dari kata Yunani, yaitu “ethos” yang berarti “sifat” atau “adat”. Etika adalah masalah sifat pribadi yang meliputi apa yang kita sebut “menjadi orang baik”. Jadi etika adalah usaha untuk mengerti tata aturan sosial yang menentukan dan membatasi tingkah laku kita, khususnya tata aturan yang fundamental seperti larangan membunuh, mencuri, kemudian juga perintah untuk menghormati orang tuanya dan menghormati hak-hak orang lain [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 5].
.
Hubungan erat antara etika dan adat sosial menimbulkan pertanyaan apakah moralitas adalah adat istiadat masyarakat tertentu, dan apakah etika adalah hukum tertentu. Di satu pihak, jelaslah bahwa etika dan moralitas berkaitan erat sekali dengan hukum dan adat istiadat masyarakat tertentu. Misalkan meludah di sembarang tempat dianggap tidak beretika dalam masyarakat tertentu, tapi bisa tidak bagi masyarakat lainnya. Cara untuk membedakan moral dan norma adalah dengan menekankan prinsip-prinsip tersebut (moral) bukan hanya meliputi masyarakat atau bagian budaya tertentu. Tetapi merupakan hukum yang berlaku bagi semua orang di mana saja [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 5-6].
.
Etika meliputi semua perbuatan pribadi dan sosial yang dapat dimulai dari tata aturan sopan-santun sehari-hari. Sebaliknya, moralitas lebih khusus, merupakan bagian dari hukum etika. Misalkan ada seseorang yang telah ingkar janji. Perbuatan itu merupakan perbuatan yang tidak etis, tidak beretika. Tetapi perbuatan tersebut bukan berarti tidak bermoral [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 6-7].
.
Dalam filsafat Eropa dan Amerika modern, etika sering disamakan dengan dengan filsafat moral dan filsuf yang belajar etika juga disebut filsuf moral. Para filsuf moral berpendapat bahwa moral itu bersifat universal yang artinya berlaku bagi siapa saja tanpa memandang budaya atau pribadi tertentu. Moralitas bukan keseluruhan etika, tetapi persoalan pokok dalam etika [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 7].
.
Para ahli etika telah menunjukkan ciri-ciri khusus moralitas, yaitu:
  • Hukum moral sangat penting
Moral itu sangat penting. Contohnya kewajiban membayar hutang yang jauh lebih penting daripada kepentingan dan persoalan pribadi terkait malu karena hutang tersebut dan terkait kebutuhan uang. Ciri moralitas dari contoh tersebut dapat dilihat pada: Yang penting bukan jumlah uangnya, tetapi prinsipnya (yaitu bahwa hutang wajib dibayar). Kewajiban itu mengesampingkan kepentingan pribadi terlepas dari apakah jumlahnya hanya seribu rupiah atau satu juta rupiah. Maka dikatakan bahwa masalah moral itu adalah masalah yang sangat penting. Begitu juga ungkapan ejekan “dasar tak bermoral” merupakan ejekan yang sangat hina sekali karena sebegitu pentingnya moral [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 7].
  • Moralitas terdiri dari hukum-hukum universal
Sebagaimana yang sudah diuraikan diatas bahwa moral itu bersifat universal yang berlaku bagi siapa saja tanpa melihat budaya atau daerahnya. Berbeda dengan norma yang setiap budaya atau daerah memiliki norma yang berbeda-beda satu sama lain.
  • Hukum-hukum moral adalah rasional dan obyektif
Moralitas itu rasional, karena moralitas memandang tanpa pamrih dan tidak memihak (netral). Seperti seorang hakim yang digambarkan menutup matanya, yang mengandung makna bahwa setiap keputusan yang hakim putuskan (seharusnya) sesuai dengan fakta dan rasional yang artinya tidak memandang terdakwa adalah orang penting atau saudagar.
.
Sedangkan apa yang dimaksud dengan moralitas yang obyektif ialah bahwa apa yang benar adalah benar dan apa yang salah adalah salah. Bukan bersifat subjektif karena dipengaruhi perasaan suka dan tidak suka (pendapat seseorang). Misalnya: perzinahan itu salah (obyektif) bukan “saya tidak suka perzinahan” (subyektif) [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 8].
  • Hukum moral menyangkut orang lain
Moralitas bertentangan dengan keegoisan. Pada hakekatnya moralitas lebih meliputi pertimbangan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri atau individu. Di dalam kitab Taurat terdapat prinsip dasar etika, “Apa yang menyakitkan bagi kamu, jangan lakukan terhadap sesamamu.” Menurut Analects Konfusius, “Jangan lakukan kepada sesama apa yang kamu tidak ingin orang lain perbuat terhadapmu.”
.
Penganut T’ai Shang Kan Yin Pien berkata, “Anggaplah milik sesamamu seperti milikmu sendiri dan anggaplah kehilangan orang lain sebagai kehilanganmu sendiri.” Budha berkata, “Jangan sakiti orang lain dengan apa yang menyakiti dirimu sendiri.” Rasulullah juga pernah berkata, “Jangan berbuat terhadap orang lain sesuatu yang kamu tidak inginkan orang lain perbuat terhadap kamu.”
.
Dari beberapa versi tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat peringatan yaitu apa yang kamu lakukan kepada orang lain akan terjadi juga pada dirimu. Selain peringatan juga ada himbauan untuk mengasihi bahwa kamu harus memikirkan perasaan orang lain seperti kamu memikirkan perasaanmu sendiri yang berarti kamu menempatkan dirimu di tempat orang lain. Dan inilah hakekat moralitas yaitu selalu mengandaikan adanya kepentingan dan pengertian timbal balik dan kesadaran akan kepentingan orang lain, juga kepentingan diri sendiri [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 8-9].
Nitezsche dalam bukunya Genealogie der Moral menyimpulkan bahwa moral yang asli pada manusia mempunyai dasar naluri untuk berkuasa, bukan rasio (untuk berbuat baik). Dari kesimpulan tersebut Nitezsche menolak pengandaian agamis, misalnya: bahwa moral itu dilakukan oleh umat beragama hanya karena ingin di surga, bukan semata-mata karena perbuatan itu baik. Maka menurut Nitezsche pemikiran seperti itu justru merendahkan moral manusia [Frans de Waal, Primat dan Filsuf “merunut asal-usul kesadaran moral”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 5].
.
Frans de Waal mengutarakan bahwa ada tiga tahap moral sebagaimana menurut teori Kohlberg yang dipadatkan, yaitu: level perasaan moral (moral sentiments), tekanan sosial (sosial pressure) dan keputusan atau penalaran (judgment and reasoning).
.
Pada tahap pertama terdapat kesamaan antara manusia dengan primat (hewan), yaitu dalam berempati, tendensi untuk bekerja sama dan melakukan tindakan timbal balik, rasa keadilan dan kemampuan membangun keseimbangan hubungan dengan yang lain.
.
Pada tahap kedua manusia dan primat masih memiliki kesamaan, terutama ketika hidup berkelompok, yaitu adanya tekanan sosial berupa hadiah dan hukuman (reward and punishment). Pada tahap ketiga inilah yang membedakan antara manusia dengan primat. Manusia memiliki akal yang dapat memperimbangkan perilaku dan tindakannya [Frans de Waal, Primat dan Filsuf “merunut asal-usul kesadaran moral”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 8].
.
Frans de Waal juga memiliki sebuah teori yang dinamakan “Teori Kulit Luar” (Veneer Theory) yang menggambarkan bahwa moral itu adalah kulit tipis bagian luar yang melindungi bagian dalamnya yang berupa amoral atau imoral. Artinya bahwa manusia secara mendasar bersifat tidak beretika. Contohnya adalah Adam manusia pertama yang telah melakukan sebuah kesalahan sehingga beliau tidak diperbolehkan berada di Surga sehingga Tuhan menurunkannya di Bumi [Frans de Waal, Primat dan Filsuf “merunut asal-usul kesadaran moral”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 11].

Komentar