-->

Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) - Dr. H. Sulasman & Suparman

Tidak ada komentar

Cover buku 'Sejarah Islam di Asia & Eropa'
Cover buku 'Sejarah Islam di Asia & Eropa'.
Sunan Gunung Djati atau nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah merupakan putra dari Nyi Mas Lara Santang. Artinya Syarif Hidayatullah merupakan cucu dari Prabu Siliwangi. Hal ini karena Nyi Mas Lara Santang merupakan anak dari Prabu Siliwangi dengan Nyi Mas Subang Larang. Maka dapat disimpulkan juga bahwa Walungsungsang merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Jika pendapat dari P. S. Sulendraningrat juga benar, maka Kean Santang juga merupakan paman dari Syarif Hidayatullah.
.
Nyi Mas Lara Santang dinikahkan oleh kakaknya (Walungsungsang) ketika mereka sedang haji. Pria yang menjadi suami Nyi Mas Lara Santang bernama Syarif Abdullah. Syarif Abdullah adalah seorang penguasa Mesir dari klan Al-Ayyubi dari Dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Ali Nurul Alim. Nurul Alim ini mempunyai dua saudara, yaitu: Barkat Zainal Abidin dan Ibrahim Zainal Akbar (ayah dari Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel). Tiga bersaudara itu memiliki ikatan darah dengan Rasulullah saw.
.
Nurul Alim menikah dengan putri penguasa Mesir (wali kota). Maka dari itu anaknya, Syarif Abdullah, menjadi penguasa berkat keluarga ibunya. Syarif Abdullah dan Nyi Mas Lara Santang diberkati dua putra, yaitu: Syarif Hidayatullah yang lahir di Mekkah dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.
.
Waktu muda Syarif Hidayatullah pernah berguru dengan Syekh Tajuddin Al-Kubri di Mekah dan Syekh Athaillah. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cirebon Edisi Brandes diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah pernah belajar kepada Najmuddin Al-Kubra dan Athaillah Al-Iskandari Al-Syadzili di Madinah selama dua tahun.
.
Berdasarkan isi Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) pada halaman 31 baris kelima, sampai dengan halaman 32 baris keempat menjelaskan:
.../ i telasira Sarif Hidayat yuswa
taruna akara ruwang dasa warsa ya dharmestha
muwang hayun dumadi acariyeng agama Rasul
/ mathang ika lunga ta ya ring Mekah//
engke sira maguru ring Seh Tajmuddin al-Kubri
lawasiara ruwang warsa / irika ta
ya ring Seh Ataulahi Sajili ngaranira
kang panutan Imam Sapi'i ika / ri huwus la-
wasira ruwang warsa // I telas ika
Sarip Hidayat lunga umareng kitha Bagda-
Dengke sira maguru tasawup Rasul /
Lawan tamolah ing pondhok (w) wang pasanak rama-
Nira / sampun ika kretawidya tumuli
mulih (a) ring nagarinira //
Terjemahan isi Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) pada halaman 31 baris kelima, sampai dengan halaman 32 baris keempat:
.../ Setelah Sarip Hidayat berusia
remaja, kira-kira dua puluh tahun, ia seorang yang
saleh dan berhasrat menjadi guru agama Islam.
Oleh karena itu ia pergi ke Mekkah.
Di sini ia berguru kepada Seh Tajmuddin al-Kubri,
lamanya dua tahun. Setelah itu ia (berguru)
kepada Seh Ataulahi Sajili namanya,
yang merupakan penganut Imam Sapi'i, lamanya
dua tahun, sehabis itu
Sarip Hidayat pergi menuju kota Baghdad.
Di sini ia berguru tasawuf Rasul
dan tinggal di pondok paman ayahnya. Setelah pelajarannya
selesai, kemudian Ia kembali ke negerinya ...
Berdasarkan isi Babad Cirebon Edisi Brandes (BC-Br) pupuh ketiga-belas Kinanti, bait pertama dan kedua juga menginformasikan hal yang sama:
Sadi Kamil loentaipoen
Njanteri ing Sjech Agoeng Wacil
Ana ing negara Mekah
Ingkang nama Sjech Tajmoe'ddin
Al-Koebri Molana Akbar
Sampoen toetoeg anglebeti
Be'at dzikir lawan soeghoel
Moesafahah lawan talqin
Woes ing sampoerna abe'at
Noeli ika njanteri maning
Maring Sjech agoeng nama
'Ata'oellahi Sadzili
Terjemahan isi Babad Cirebon Edisi Brandes (BC-Br) pupuh ketiga-belas Kinanti, bait pertama dan kedua:
Said Kamil berangkatlah
Belajar di Syekh Agung
Yang ada di Mekkah
Yang bernama Syekh Tajmuddin
Al-Kubri Molana Akbar
Telah masuk
Baiat, zikir, sughul,
Musafahah, talqin
telag sempuran baiat
lalu berguru lagi
kepada Syekh Agung yang bernama
Atau'llahi Sazili.
Setelah cukup akan ilmu yang didapatkannya, Syarif Hidayatullah meminta ijin untuk pergi ke tempat pamannya (Walungsungsang) di Cirebon, yang pada waktu itu menduduki takhta Kerajaan Islam Pakungwati.
.
Dalam perjalanannya, Syarif Hidayatullah berhenti sejenak di Gujarat India selama tiga bulan. Di sana Syarif juga menyiarkan agama Islam dan mempunyai 99 murid, salah satunya adalah Dipati Keling. Setelah itu ia meneruskan perjalanannya bersama Dipati Keling.
.
Ia juga berhenti sejenak di Samudra Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun dan menyiarkan agama Islam bersama saudaranya, Syekh Sayyid Ishak. Di Banten ia berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah atau Ali Rakhmatullah atau Syekh Rahmat atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
.
Sampai di Cirebon, Syarif Hidayatullah juga menyebarkan Islam bersama dengan pamannya (Walungsungsang) dan Syekh Nurjati. Menurut cerita, tempat mereka menyiarkan agama Islam, Pakungwati, merupakan wilayah dari Kerajaan Galuh yang waktu itu rajanya adalah Prabu Siliwangi atau Prabu Jaya Dewata. Prabu Jaya Dewata tidak khawatir dengan kegiatan yang dilakukan oleh anaknya (Walungsungsang) beserta cucunya (Syarif Hidayatullah). Akan tetapi beberapa saat kemudian, saat setelah Islam semakin besar dan menyebar, Prabu Jaya Dewata mulai gelisah. Ia memindahkan Kerajaan Sunda ke Pakuan Pajajaran (Banten). Kerajaan Galuh berubah menjadi Kerajaan Pakuan Pajajaran dan nama Prabu Jaya Dewata berubah menjadi Sri Baduga Maharaja.
.
Selanjutnya menurut cerita, pada tahun 1479 Masehi Syarif Hidayatullah menerima pemerintahan dari pamannya (Walungsungsang) dan membuat pusat pemerintahan di Lemah Wungkuk. Ia kemudian tinggal di Pakungwati. Pakungwati inilah kelak akan menjadi tempat tinggal tetap para sultan Cirebon.
.
Sebelumnya pada tahun 1470 Masehi, ada sebuah naskah yang menceritakan saat ketika Syarif Hidayatullah tiba di Muara Djati kemudian ke desa Sembung-Pasembangan (dekat Giri Amparan Djati), Syarif mengajarkan agama Islam disana, menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Awalnya ia dianggap asing disana karena berasal dari Arab. Akan tetapi lama-kelamaan ia dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat. Setelah itu ia mendapat gelar Syekh Maulana Djati atau Syekh Djati. Syekh Djati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam pula. Sepulang darisana ia dinobatkan oleh uak-nya untuk menjadi kepala nagari dan digelari Susuhan Djati atau Sunan Djati atau Sunan Caruban. Sejak itulah, Caruban Larang mulai dikembangkan menjadi sebuah kesultanan dengan nama Kesultanan Cirebon.
.
Banyak hal yang dilakukan oleh Sunan Gunung Djati pada masa pemerintahannya. Salah satunya adalah membangun. Pada tahun 1480 dibangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun di sebelah barat alun-alun. Pembangunan masjid ini dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Arsiteknya adalah Raden Sepat, mantan arsitek Majapahit. Menurut cerita tradisi Cirebon, masjid ini dibangun dengan melibatkan seluruh wali dan selesai hanya dengan satu malam saja. Banyak orang sekarang yang tidak mengenal nama masjid ini dikarenakan nama masjid Sang Cipta Rasa diubah menjadi masjid Sunan Gunung Djati.
.
Pembangunan lainnya yang dilakukan Sunan Gunung Djati adalah membangun sebuah gerbang yang dikenal dengan nama Lawang Gada. Beliau juga membangun sebuah gapura yang dikenal dengan nama Lawang Sanga. Selain itu sarana dan prasarana yang dilakukan Sunan Gunung Djati untuk memperluas dan memperkuat masa pemerintahannya ada banyak sekali, seperti: membangun sebuah tembok, membangun jalan untuk transportasi darat, memperbarui Pelabuhan Muarajati, dan lain-lain. Selain dari segi infrastruktur, Sunan Gunung Djati juga membentuk sebuah pasukan Jaya Baya untuk menjaga keamanan Kesultanan Cirebon.
.
Untuk membiayai sarana dan prasarana tersebut, Sunan Gunung Djati menerapkan sebuah pajak, yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan, sehingga tidak membebani rakyat yang saat itu telah terlepas dari kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran.
.
Dalam sistem pemerintahannya Sunan Gunung Djati menggunakan sistem desentralisasi. Pelabuhan mempunyai peranan yang sangat penting dan didukung dengan wilayah pedalaman sebagai alat penunjang yang vital. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, Kerajaan Islam Cirebon terdiri dari: tumenggung sebagai pemimpin tertinggi, penasehat, dan pimpinan tentara atau laskar (yaitu: para adipati dan para pemimpin wilayah yang biasa disebut dengan nama Ki Gedeng).
.
Adapun program-program yang dijalankan Sunan Gunung Djati ialah: satu memprioritaskan penyebaran agama Islam. Kedua dalam bidang ekonomi Kerajaan Islam Cirebon bekerja sama dengan nagari-nagari wilayah Nusantara dan wilayah luar negeri seperti: Cina, Campa, Arab, Malaka, dan India. Kerja sama yang dimaksud ialah kerja sama dalam hal perdagangan. Sedangkan dalam urusan politik mereka bekerja sama dengan Kerajaan Demak karena sama-sama merupakan kerajaan Islam. Selain itu Sunan Gunung Djati dalam menunjuk kepala daerah, beliau memprioritaskan ulama-ulama untuk dijadikan pemimpin.
.
Flashback sebentar. Ada sebuah naskah yang menceritakan Syarif Hidayatullah pada tahun 1479, saat setelah beliau kembali dari Banten, pamannya (Walungsungsang) menobatkan beliau menjadi Tumenggung dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah yang disambut oleh para wali tanah Jawa dengan memberikan gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda. Artinya Syarif Hidayatullah dianggap setara dengan para wali lainnya. Maka secara tidak langsung Syarif Hidayatullah merupakan bagian dari Wali Sanga.
.
Kesimpulan dari kisah ini adalah adanya dua kerajaan Islam di tanah Jawa. Pertama adalah Kerajaan Demak berdiri bersamaan dengan runtuhnya Majapahit pada sekitar tahun 1478 Masehi. Adalah Raden Fatah yang menjadi raja pertama dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah Amiril Mukminin. Kedua adalah Kerajaan Cirebon yang dipimpin oleh Susuhunan Djati sebagai panetep panatagama Rasul. Beliau menjadi raja sekaligus pemimpin agama Islam, hampir mirip seperti khalifah (sebagai pemimpin agama dan sebagai pemimpin pemerintahan).
.
Salana, ahli sejarah, menetapkan berdirinya Kerajaan Cirebon ini pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 12 Puasa 1404 Saka (1482 Masehi). Hal ini mengartikan bahwa kerajaan ini telah berdiri sendiri secara merdeka dan berdaulat. Artinya mereka sudah terlepas dari kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal-hal seperti membayar pajak berupa trasi ke Kerajaan Pakuan Pajajaran selama setiap tahun melalui Adipati Paliman dihentikan. Sejak saat itu Kerajaan Cirebon mulai memperluas dan memperkuat daerahnya.
  • DaftarPustaka|Dr.H.Sulasman,M.Hum.|Suparman,M.Ag.|SejarahIslamdiAsia&Eropa|PustakaSetia|Bandung|CetakanPertama|2013|Hal.356sampai367|

Komentar