-->

Pembaruan Hukum Pidana Indonesia - Ratno Lukito

Tidak ada komentar

Pembaruan Hukum Pidana Indonesia - Ratno Lukito
Pembaruan Hukum Pidana Indonesia.
Di dalam hukum pidana terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan. Sifat publik hukum pidana menyatakan bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Artinya hukum pidana Indonesia berlaku ke seluruh wilayah Indonesia hingga pelosok-pelosoknya.
.
Dalam nilai-nilai kemanusiaan, hukum pidana seringkali digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, di sisi lainnya hukum pidana justru memberikan sanksi bagi manusia yang melanggarnya. Hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
.

Persoalan Kekuarangan dan Ketidaksempurnaan KUHP Dalam Hukum Positif di Indonesia

Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945. Maka selayaknya hukum pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Akan tetapi pemikiran ini tidak sesuai sebagaimana kenyataannya. Sebagai bekas jajahan Belanda, Indonesia tidak bisa move on dari pemberlakuan hukum pidana kolonial Belanda. Hal ini menimbulkan problem tersendiri bagi Indonesia. Problematika KUHP antara lain adalah sebagai berikut:
.

1.

Sebagaimana pernyataan diatas bahwa Indonesia masih mempergunakan hukum pidana kolonial hingga sekarang mengandung arti dari segi politis bahwa Indonesia yang notabene sudah merdeka sejak 59 tahun lalu (sejak tulisan ini ditulis) tidak bisa melepaskan diri dari penjajahan.
.

2.

Wetboek van Strafrecht atau KUHP telah berlaku di Indonesia sejak 1918, sudah berumur 87 tahun (hingga tulisan ini dibuat, jika sekarang masih berarti sudah lebih dari itu). Jika umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda pada tahun 1881, maka KUHP telah berumur 124 tahun (hingga tulisan ini dibuat, jika sekarang masih berarti sudah lebih dari itu). Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap sudah tua dan usang. Walaupun Indonesia sudah beberapa kali mengubahnya, akan tetapi perubahan itu tidak sampai kepada masalah substansial. Sedangkan di Belanda sendiri, KUHP-nya sudah mengalami perkembangan yang jauh.
.

3.

Wetboek van Strafrecht merupakan wujud asli hukum pidana Indonesia sebagaimana UU Nomor 1 tahun 1946 menyebutnya KUHP. Artinya KUHP yang asli berbahasa Belanda, Indonesia hanya mengubah bahasanya bukan isinya. Terjemahan itu pun diterjemahkan oleh pakar hukum yang berbeda-beda, seperti: Andi Hamzah, Mulyanto, Sunarto Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda.
.

4.

KUHP warisan Belanda sendiri bersumber dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan istilah The Romano-Germanic Family, yang menurutnya dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, dan individual right). Hal ini tidak sesuai dengan Indonesia yang menjujung tinggi nilai-nilai sosial.
.

5.

Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu:
  • Pidana. Di dalam KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju pada tujuan dan pola yang sama. Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku sehingga tidak memberikan keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk pelaku tindak pidana.
  • Tindak Pidana. KUHP bersifat posifitis, artinya aturan hukumnya tertulis dan harus dicantumkan di dalam undang-undang (asas legalitas formil). Dengan demikian tidak ada hukuman atau sanksi pada suatu tindak pidana jika tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Akan tetapi KUHP juga menganut Daadstrafrecht, yaitu hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan (namun sekarang sudah ditinggalkan). Dan sekarang banyak tindak pidana baru yang muncul di era modern yang belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
  • Pertanggungjawaban Pidana. Salah satu masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana adalah asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak tercantum secara tegas di dalam KUHP (hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting atau MvT, sebagai penjelas WvS). Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1). Masalah lainnya adalah pemidanaan anak dibawah 16 tahun yang diatur di dalam KUHP Pasal 45-47. Pasal-pasal tersebut tidak mengatur secara rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak.
.

Nilai-Nilai Pembaharuan KUHP di Masa yang Akan Datang

Perancang UU mengintroduksi beberapa konsep baru di dalam Buku 1 (isinya berkaitan dengan asas-asas hukum pidana, seperti: asas legalitas, culpabilitas atau kesalahan, pertanggungjawaban pidana, dan lain sebagainya) antara lain, pertanggungjawaban pidana perusahaan (corporate criminal responsibility), asas 'vicarious liability', dan hukum adat.
.
Masuknya ketentuan hukum adat dapat mengesampingkan asas legalitas (yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1), sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi:
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Artinya terdapat tindak pidana lain yang tak tertulis yang berlaku si setiap orang di Indonesia yang tidak dapat diperkirakan ketentuannya (unpredictable). Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) terhadap hukum pidana. Ketentuan ini dapat dipersalahgunakan oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat.
.
Ada hal lain yang bertentangan, yaitu masih dipertahankannya hukuman mati (capital punishment) sebagai pidana terberat. Padahal dalam Amandemen kedua UUD menegaskan jaminan konstitusional terhadap hak atas hidup (right of life). Bahkan UUD menyebutkan hak ini sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun, dan dengan alasan apa pun (non derogable rights).
.
Pembaharuan lain ialah pada Buku II, dimana sudah terdapat pengklasifikasian atau pengkategorian tindak pidana. Misalnya tindak pidana makar yang diklasifikasikan ke dalam 'tindak pidana terhadap keamanan negara' (crime against State). Dan ada pula jenis-jenis pidana baru, yaitu:
  1. Tindak pidana terhadap ideologi negara
  2. Tindak pidana terorisme
  3. Tindak pidana penyelenggaraan hak asasi manusia yang berat
  4. Tindak pidana penyiksaan
  5. Tindak pidana kesusilaan dan pornografi
  6. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
  7. Tindak pidana perdagangan manusia
  8. Tindak pidana oleh pers
  9. Tindak pidana lingkungan
  10. Tindak pidana terhadap peradilan
.

Kesimpulan

Problematika KUHP Indonesia antara lain: KUHP yang merupakan warisan dari kolonial Belanda, KUHP dianggap telah usang dan tua, wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht lalu menjadi KUHP (berdasakan UU No. 1 tahun 1946), KUHP asli berbahasa Belanda, jiwa KUHP (liberal, individu) dan jiwa Indonesia (sosial) bertentangan, KUHP tidak menyediakan pedoman untuk hakim dan penegak hukum, KUHP bersifat positifis.
.
Pembaharuan yang dilakukan adalah: masuknya hukum adat dan hal-hal lainnya ke dalam Book I, di dalam Book II terdapat pengklasifikasian atau pengkategorian tindak pidana, dan terdapat tindak pidana baru.
  • Referensi|PrintOutRatnoLukito|IlmuHukum|UinSunanKalijaga|

Komentar