-->

Etika & Ilmu - Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu (Diampu: Ermi Suhasti)

Tidak ada komentar

http://www.agusseputra.com/2017/10/filsafat-ilmu-dasar-pengetahuan.html
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, begitu pula sebaliknya. Pada perkembangannya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan, dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya [Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali,2005), hal. XI-XII].
.
Pada dasarnya, ilmu mempunyai dua macam objek, yaiut objek material dan objek formal. Objek material itu sendiri adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, objek material filsafat adalah segala yang ada. Sebagian filosof membagi objek material filsafat menjadi tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif. Objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada.
.
Cakupan objek ilmu terbatas karena hanya mempelajari pada persoalan yang empiris saja, sedangkan cakupan objek filsafat lebih luas karena membahas keduanya, yaitu empiris dan non-empiris. Karena hal tersebut, para filosof menyebut filsafat sebagai induk ilmu. Sebab, dari filsafatlah, ilmu-ilmu modern dan kontemporer dapat berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu dan sekaligus buahnya, yaitu teknologi [Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali,2005), hal. 1-2].
.
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu “Philosophy”, sedangkan filsafat itu sendiri berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “Philosophia”, yang terdiri dari dari dua kata : “philos” (persahabatan, tertarik pada) dan “sophos” (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat dapat diartikan cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Orangnya biasa disebut filosof dan jika dalam bahasa Arab adalah failasuf [Bakhtiar, Amsal., Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 7].
.
Ilmu berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Adapun pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang ( pengetahuan ) itu [Ahmad Warson Munawir, 1984, Al-Munawir; Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, hal. 1036].
.
Ilmu, sains atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam ilmu tertentu.
.

A. Rumusan Masalah

  1. Apakah pengertian dari etika serta objek kajiannya?
  2. Bagaimanakah paradigma tentang keilmuan?
  3. Bagaimanakah Ilmu Pengetahuan dalam perspektif etis?
"Etika & Ilmu - Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu (Diampu: Ermi Suhasti)"

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika

Etika berasal dari kata Yunani ethikos, ehhos yang berarti adat, kebiasaan, atau praktik. Aristoteles menganggap bahwa etika mencangkup ide “karakter” dan “disposisi” (kecondongan). Tujuan kehidupan bagi Aristoteles adalah kebahagiaan atau eudaimona (kesejahteraan, kesentosaan). Etika secara terminologi adalah cabang filsafat yang mempelajari perbuatan atau tingkah laku dan nilai moral manusia. Para filsuf menggolongkan etika menjadi dua yaitu, etika normatif dan mataetika. Erika Normatif berarti sistemyang ditujukkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik dan buruk, benar dan salah. Sedangkan metaetika menganalisis logika perbuatan dalam kaitannya [Ermi Suhasti S, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Prajnya Media, 2012). Hlm.97-98].
.
Etika adalah masalah sifat pribadi yang meliputi apa yang kita sebut “menjadi orang baik”. Jadi etika adalah usaha untuk mengerti tata aturan sosial yang menentukan dan membatasi tingkah laku kita, khususnya tata aturan yang fundamental seperti larangan membunuh, mencuri, kemudian juga perintah untuk menghormati orang tuanya dan menghormati hak-hak orang lain [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 5].
.
Beberapa ahli seperti Wiramiharja pada dasarnya etika meliputi empat pengertian, yaitu sebagai berikut. 
  1. Etika merupakan sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia. 
  2. Etika digunakan pada suatu diantara sistem-sistem khusus tersebut, yaitu “moralitas” yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu. 
  3. Etika adalah sistemmoralitas itu sendiri mengacu pada prinsip-prinsip moral aktual. Etika adalah suatu daerah dalam filsafat yang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain [Drs. A. Susanto, M.Pd. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi Angkasa,2015). Hlm. 166].
"Etika & Ilmu - Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu (Diampu: Ermi Suhasti)"
Sedangkan pengertian etika menurut beberapa para ahli lain sebagai berikut: 
  • Ahmad Yamin, etika diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
  • Seogarda Poerbakwatja, etika adalah sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang bak-buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. 
  • Ki Hajar Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dankeburukan dlam hidup manusia, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran, rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan rasa perasaan sampai menguasai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. 
  • Franz Magiz Suseno mengartikan etika sebigai usaha manusia untuk mempergunakan akal budi daya pikirannya umtuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup apabila ia menjadi baik. Yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melaikan suatu pengertian yang lebih mendaar dan kritis. Socrates mengungkapkan bahwa etika membahas baik-buruk, benar-salah dalam tingkah laku, tindakan manusia, dan menyoroti kewajiban-kewajiban manusia [Drs. A. Susanto, M.Pd. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi Angkasa,2015). Hlm. 167-169].
"Etika & Ilmu - Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu (Diampu: Ermi Suhasti)"
Berdasarkan penjelasan makna etika yang telah dikemukakan diatas, etika dalam ilmu dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 
  • Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebijakan, tentang penilaian dari perbuatan seseorang. 
  • Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Etika dalam hal ini dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan [Drs. A. Susanto, M.Pd. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi Angkasa,2015). Hlm. 167-169].
Hubungan erat antara etika dan adat sosial menimbulkan pertanyaan apakah moralitas adalah adat istiadat masyarakat tertentu, dan apakah etika adalah hukum tertentu. Di satu pihak, jelaslah bahwa etika dan moralitas berkaitan erat sekali dengan hukum dan adat istiadat masyarakat tertentu. Misalkan meludah di sembarang tempat dianggap tidak beretika dalam masyarakat tertentu, tapi bisa tidak bagi masyarakat lainnya. Cara untuk membedakan moral dan norma adalah dengan menekankan prinsip-prinsip tersebut (moral) bukan hanya meliputi masyarakat atau bagian budaya tertentu. Tetapi merupakan hukum yang berlaku bagi semua orang di mana saja [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 5-6].
.
Nitezsche dalam bukunya Genealogie der Moral menyimpulkan bahwa moral yang asli pada manusia mempunyai dasar naluri untuk berkuasa, bukan rasio (untuk berbuat baik). Dari kesimpulan tersebut Nitezsche menolak pengandaian agamis, misalnya: bahwa moral itu dilakukan oleh umat beragama hanya karena ingin di surga, bukan semata-mata karena perbuatan itu baik. Maka menurut Nitezsche pemikiran seperti itu justru merendahkan moral manusia [Frans de Waal, Primat dan Filsuf “merunut asal-usul kesadaran moral”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 5].
.
Dalam filsafat Eropa dan Amerika modern, etika sering disamakan dengan dengan filsafat moral dan filsuf yang belajar etika juga disebut filsuf moral. Para filsuf moral berpendapat bahwa moral itu bersifat universal yang artinya berlaku bagi siapa saja tanpa memandang budaya atau pribadi tertentu. Moralitas bukan keseluruhan etika, tetapi persoalan pokok dalam etika [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 7].
.
Frans de Waal mengutarakan bahwa ada tiga tahap moral sebagaimana menurut teori Kohlberg yang dipadatkan, yaitu: level perasaan moral (moral sentiments), tekanan sosial (sosial pressure) dan keputusan atau penalaran (judgment and reasoning).
.
Pada tahap pertama terdapat kesamaan antara manusia dengan primat (hewan), yaitu dalam berempati, tendensi untuk bekerja sama dan melakukan tindakan timbal balik, rasa keadilan dan kemampuan membangun keseimbangan hubungan dengan yang lain. Pada tahap kedua manusia dan primat masih memiliki kesamaan, terutama ketika hidup berkelompok, yaitu adanya tekanan sosial berupa hadiah dan hukuman (reward and punishment). Pada tahap ketiga inilah yang membedakan antara manusia dengan primat. Manusia memiliki akal yang dapat mempertimbangkan perilaku dan tindakannya [Frans de Waal, Primat dan Filsuf “merunut asal-usul kesadaran moral”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 7].
"Etika & Ilmu - Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu (Diampu: Ermi Suhasti)"
Para ahli etika telah menunjukkan ciri-ciri khusus moralitas, yaitu:
  • 1. Hukum moral sangat penting
Moral itu sangat penting. Contohnya kewajiban membayar hutang yang jauh lebih penting daripada kepentingan dan persoalan pribadi terkait malu karena hutang tersebut dan terkait kebutuhan uang. Ciri moralitas dari contoh tersebut dapat dilihat pada: Yang penting bukan jumlah uangnya, tetapi prinsipnya (yaitu bahwa hutang wajib dibayar). Kewajiban itu mengesampingkan kepentingan pribadi terlepas dari apakah jumlahnya hanya seribu rupiah atau satu juta rupiah. Maka dikatakan bahwa masalah moral itu adalah masalah yang sangat penting. Begitu juga ungkapan ejekan “dasar tak bermoral” merupakan ejekan yang sangat hina sekali karena sebegitu pentingnya moral [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 7].
.
  • 2. Moralitas terdiri dari hukum-hukum universal
Sebagaimana yang sudah diuraikan diatas bahwa moral itu bersifat universal yang berlaku bagi siapa saja tanpa melihat budaya atau daerahnya. Berbeda dengan norma yang setiap budaya atau daerah memiliki norma yang berbeda-beda satu sama lain.
.
  • 3. Hukum-hukum moral adalah rasional dan obyektif
Moralitas itu rasional, karena moralitas memandang tanpa pamrih dan tidak memihak (netral). Seperti seorang hakim yang digambarkan menutup matanya, yang mengandung makna bahwa setiap keputusan yang hakim putuskan (seharusnya) sesuai dengan fakta dan rasional yang artinya tidak memandang terdakwa adalah orang penting atau saudagar. Sedangkan apa yang dimaksud dengan moralitas yang obyektif ialah bahwa apa yang benar adalah benar dan apa yang salah adalah salah. Bukan bersifat subjektif karena dipengaruhi perasaan suka dan tidak suka (pendapat seseorang). Misalnya: perzinahan itu salah (obyektif) bukan “saya tidak suka perzinahan” (subyektif) [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 8].
.
  • 4. Hukum moral menyangkut orang lain
Moralitas bertentangan dengan keegoisan. Pada hakekatnya moralitas lebih meliputi pertimbangan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri atau individu. Di dalam kitab Taurat terdapat prinsip dasar etika, “Apa yang menyakitkan bagi kamu, jangan lakukan terhadap sesamamu.” Menurut Analects Konfusius, “Jangan lakukan kepada sesama apa yang kamu tidak ingin orang lain perbuat terhadapmu.” Penganut T’ai Shang Kan Yin Pien berkata, “Anggaplah milik sesamamu seperti milikmu sendiri dan anggaplah kehilangan orang lain sebagai kehilanganmu sendiri.” Budha berkata, “Jangan sakiti orang lain dengan apa yang menyakiti dirimu sendiri.” Rasulullah juga pernah berkata, “Jangan berbuat terhadap orang lain sesuatu yang kamu tidak inginkan orang lain perbuat terhadap kamu.” 
.
Dari beberapa versi tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat peringatan yaitu apa yang kamu lakukan kepada orang lain akan terjadi juga pada dirimu. Selain peringatan juga ada himbauan untuk mengasihi bahwa kamu harus memikirkan perasaan orang lain seperti kamu memikirkan perasaanmu sendiri yang berarti kamu menempatkan dirimu di tempat orang lain. Dan inilah hakekat moralitas yaitu selalu mengandaikan adanya kepentingan dan pengertian timbal balik dan kesadaran akan kepentingan orang lain, juga kepentingan diri sendiri [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 8-9].
.
Etika meliputi semua perbuatan pribadi dan sosial yang dapat dimulai dari tata aturan sopan-santun sehari-hari. Sebaliknya, moralitas lebih khusus, merupakan bagian dari hukum etika. Misalkan ada seseorang yang telah ingkar janji. Perbuatan itu merupakan perbuatan yang tidak etis, tidak beretika. Tetapi perbuatan tersebut bukan berarti tidak bermoral [Robert C. Solomon, diterjemahkan R. Andre Karo-karo, Etika Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 6-7].
.
Frans de Waal juga memiliki sebuah teori yang dinamakan “Teori Kulit Luar” (Veneer Theory) yang menggambarkan bahwa moral itu adalah kulit tipis bagian luar yang melindungi bagian dalamnya yang berupa amoral atau imoral. Artinya bahwa manusia secara mendasar bersifat tidak beretika. Contohnya adalah Adam manusia pertama yang telah melakukan sebuah kesalahan sehingga beliau tidak diperbolehkan berada di Surga sehingga Tuhan menurunkannya di Bumi [Frans de Waal, Primat dan Filsuf “merunut asal-usul kesadaran moral”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 11].
"Etika & Ilmu - Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu (Diampu: Ermi Suhasti)"

B. Objek Etika

Objek etika adalah pernyataan-pernyataan moral yang merupakan perwujudan dari pandangan-pandangan dan persoalan dalam bidang moral. Pada dasarnya hanya terdapat dua objek moral. Pertama, pernyataan tentang tindakan manusia, dan kedua, tentang manusia itu sendiri atau tentang unsur-unsur kepribadian manusia secara motif-motif, maksud, dan watak. Namun Poedjawiyatna mengungkapkan bahwa yang menjadi obyek etika adalah sebagai berikut:
.
  • 1. Tindakan Manusia.
Manusia dinilai moralnya melalui tindakan, tindakan ini mungkin juga dinilai sebagai baik buruk. Seperti tindakan yang dinilai menurut indah tidaknya, merdu nyanyiannya, danindah gerak geriknya. Penilaian ini disebut penilaian estetis (dari kata “aesthetica” filsafat keindahan). Singkatnya bahwa objek material etika ialah manusia, sedangkan onjek formalnya adalah tindakan manusia yang dilakukannya dengan sengaja.
.
  • 2. Kehendak Bebas.
Kalau tidak ada ketidaksengajaan pada prinsipnya tidak ada baik buruk. Kesengajaan ini meminta adanya pilihan dan pilihan berarti adanya penentuan dari pihak manusia sendiri untuk bertindak atau kemauan. Jadi kehendak diadakan penilaian etis, haruslah ada kehendak bebas yang dapat memilih atau kehendak bebas. Dengan demikian, kehendak bebas sebenarnya tidakada, yang merupakan pendapat beberapa aliran filsafat.
.
  • 3. Determinisme.
Aliran yang mengingkari adanya kehendakbebas dalam filsafat disebut determinisme. Aliran ini dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu pertama, Determinisme Materialisne dan kedua, Determinisme Religius.
.
  • 4. Adanya Kehendak Bebas.
Kehendak bebas dalam arti kemampuan memilih kalau ia melakukan suatu tindakan. Biasanya orang mengatakan bebas itu artinya bebas dari sesuatu. Ada dua kebebasan yaitu kebebasan untuk melakukan tindakan dan kebebasan untuk ini ternyata terdapai pilihan [Ibid, hlm. 174-178].
.
  • 5. Paradigma keilmuan
Membicarakan suatu paradigma keilmuan, hal pertama yang perlu dijelaskan adalah istilah paradigma itu sendiri. Ada banyak definisi mengenai paradigma. Di antara definisi tersebut adalah apa yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah. Menurut Abdullah, paradigma adalah gugusan pemikiran keilmuan, yakni gugusan-gugusan pemikiran yang merupakan akumulasi dari pengetahuan dan teori-teori yang diangkat dari peristiwa dan sejarah perkembangan masyarakat yang terkait, yang telah menjadi suatu bangunan ide, cara pandang, cara berfikir dan cara bertindak dalam melihat suatu fenomena kehidupan.
.
Istilah paradigma menjadi populer setelah Thomas Kuhn menggunakannya dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions pada 1945. Kuhn mengatakan bahwa revolusi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah pergantian paradigma atau pergantian pola pikir, caramemandang, cara mendefinisikan suatu gejala atau suatu persoalan.
.
Revolusi dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah penggantian paradigma lama oleh suatu paradigma baru, yang dipandang dapat menjelaskan lebih banyak gejala, atau dapat memberikan jawaban yang lebih tepat atau lebih menguntungkan atas pertanyaan yang dikemukakan.
. 
Apa itu paradigma? Meskipun Kuhn berbicara panjang lebar mengenai penggantian paradigma, namun ternyata dia sendiri tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksudnya sebagai paradigma. Menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra, paradigma adalah “seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis, membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi”. 
.
Sebuah paradigma adalah “seperangkat konsep”, artinya paradigma itu memiliki sejumlah unsur-unsur, tidak hanya satu unsur. Unsur-unsur ini adalah konsep-konsep. Konsep adalah istilah atau kata yang diberi makna tertentu. Oleh karena itu, sebuah paradigma juga merupakan kumpulan makna-makna, kumpulan pengertian-pengertian.
.
Kumpulan konsep-konsep ini merupakan “sebuah kesatuan”, karena konsep-konsep ini “berhubungan secara logis”, yakni secara paradigmatik, sintagmatik, metonimik dan metaforik sehingga dapat dikatakan sebagai “seperangkat konsep“. Selanjutnya, karena makna dan hubungan antar-makna ini adanya dalam pikiran, maka kumpulan konsep yang membentuk kerangka itu disebut juga sebagai “kerangka pemikiran” (theoritical framework) [Toto Suharto, Zainul Abas, Abdullah Faishol, Gunungan Ilmu (Paradigma dan Kerangka Kurikulum IAIN Surakarta), (Yogyakarta: Idea Pres Yogyakarta, 2017), hlm. 35]. 
.
Kemudian paradigma “berfungsi untuk memahami dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalahyang dihadapi“, maksudnya adalah bahwa dalam pikiran manusia, kerangka pemikiran ini digunakan untuk tujuan tertentu, sehingga kerangka pemikiran ini memiliki fungsi, yakni untuk memahami kenyataan, mendefinisikan kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke dalam kategori-kategori, dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya, sehingga terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang kemudian membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang dihadapi.
.
Dengan demikian, ketika Kuhn menyatakan bahwa revolusi ilmu pengetahuan tidak lain adalah perubahan paradigma, perubahan pada mode of thought, pada mode of inquiry, maka inti ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak lain adalah paradigma itu sendiri.
.
Unsur-unsur apa yang dapat membangun sebuah paradigma? Mengikuti jalan pikiran yang telah dibuka oleh Kuhn serta Cuff dan Payne, Ahimsa-Putra mengemukakan bahwa sebuah paradigma, kerangka teori atau pendekatan dalam istilah ilmu sosial-budaya, terdiri atas sejumlah unsur pokok, yakni:
  • Asumsi atau anggapan dasar adalah adalah pandangan-pandangan mengenai suatu hal (bisa benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan sebagainya) yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah diterima kebenarannya.
  • Nilai-nilai, yaitu bahwa setiap kegiatan ilmiah selalu didasarkan pada sejumlah kriteria atau patokan yang digunakan untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, bermanfaat atau tidak. Patokan-patokan inilah yang biasa disebut nilai atau etos.
  • Model adalah perumpamaan, analogi, atau kiasan tentang gejala yang dipelajari. Seringkali model terlihat seperti asumsi dasar. Meskipun demikian, model bukanlah asumsi dasar. Sebagai perumpamaan dari suatu kenyataan, sebuah model bersifat menyederhanakan. Artinya, tidak semua aspek, sifat, atau unsur dari realita dapat tampil dalam sebuah model.
  • Masalah yang diteliti atau yang ingin dijawab merupakan pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawabatau hipotesa yang ingin diuji kebenarannya. Setiap paradigma memiliki masalah-masalahnya sendiri, yang sangat erat kaitannya dengan asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai. Oleh karena itu, rumusan masalah dan hipotesa harus dipikirkan dengan seksama dalam setiap penelitian, karena di baliknya terdapat sejumlah asumsi, dan di dalamnya terdapat konsep-konsep terpenting. Oleh Kuhn unsur ini disebut exemplar.
  • Konsep secara sederhana didefinisikan konsep sebagai istilah-istilah atau kata-kata yang diberi makna tertentu sehingga membuatnya dapat digunakan untuk menganalisis, memahami, menafsirkan dan menjelaskan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang dipelajari.
  • Metode adalah cara, sedang penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi, metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, sedang “metodologi penelitian” adalah ilmu tentang cara-cara mengumpulkan data, termasuk di dalamnya jenis-jenis data. Ada berbagai cara untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian, dan cara mana yang akan digunakan tergantung pada jenis data yang diperlukan. Cara dan kegiatan untuk mengumpulkan data kualitatif tidak akan bias sama dengan kegiatan mengumpulkan data kuantitatif. Atas dasar jenis data yang diperlukan inilah muncul kemudian berbagai metode pengumpulan data.
  • Metode analisis data pada dasarnya adalah cara-cara untuk memilah-milah, mengelompokkan data, kualitatif maupun kuantitatif, agar kemudian dapat ditetapkanrelasi-relasi tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang lain.
  • Apabila analisis atas data yang tersedia dilakukan dengan baik dan tepat, maka tentu akan ada hasil dari analisis tersebut, yang dapat dikatakan sebagai “kesimpulan”. Hasil analisis ini harus menyatakan relasi-relasi antarvariabel, antarunsur atau antargejala yang diteliti.
  • Representasi atau penyajian adalah karya ilmiah yang memaparkan kerangka pemikiran, analisis dan hasil analisis yang telah dilakukan, yang kemudian menghasilkan kesimpulan atau teori tertentu.
Unsur-unsur paradigma di atas apabila disederhanakan maka akan membentuk Body of Knowledge yang menjadi dasar bangunan epistemologi sebuah paradigma.
.
Ontologi paradigma berbicara tentang hakikat sebuah realitas, yang meliputi asumsi dasar, objek kajian dan konsep dasar. Epistemologi paradigma berbicara bagaimana sesuatu dikaji, dari mana sumber dan bagaimana caranya, sehingga mencakup model kajian, metode kajian dan metode analisis kajian.
.
Sedangkan aksiologi paradigma mempertanyakan untuk apa sebuah kajian dilakukan, nilai apa yang mendasarinya, sehingga meliputi pembicaraan tentang nilai dasar, manfaat hasil kajian, serta bagaimana hasil kajian disajikan.
.
  • 6. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Etis
Ilmu pengetahuan yang berbicara tentang kenyataan disebut ontologi. Mengenai Apakah kenyataan itu dapat diketahui, pelajari oleh epistemologi. Ilmu pengetahuan yang mempelajari perbuatan manusia berdasarkan pengetahuannya atas kenyataan disebut aksiologi.
.
Sebagai ilmu pengetahuan, ontologi, epistemologi, dan aksiologi berusaha untuk menjawab pertanyaan benar atau salah. Sebaliknya, etika mempelajari nilai yang menjadi standar moral bagi kenyataan yang dapat diketahui dan dilakukan menurut penilaian baik atau buruk. Secara umum etika merumuskan prinsip bahwa yang baik harus dilakukan dan yang buruk harus dihindari.
.
Sebagai norma perilaku, etika berbicara tentang apa yang boleh dan harus dilakukan dan apa yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Etika merupakan cabang filsafat karena berbicara tentang kenyataan dari sudut yang bersifat non empiris, yakni menanyakan apa di balik kenyataan, apa yang konkret yang secara faktual dilakukan, melainkan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
.
Sebagai ilmu pengetahuan normatif, etika melampaui hukum-hukum berbicara tentang hukum sebagai kenyataan empiris, yakni aturan-aturan yang ada, sedangkan etika berbicara tentang kenyataan non empiris, yakni apa yang harus ada pada aturan-aturan positif. Jadi, etika disebut hukum moral, sedangkan aturan-aturan yang ada disebut hukum positif. Sebagai hukum moral, etika berlaku absolut, sedangkan hukum berlaku relatif.
.
Ilmu pengetahuan berbicara tentang apa yang secara faktual ada. Sebaliknya, etika berbicara tentang apa yang secara ideal seharusnya dapat dilakukan. Dengan ini, etika memiliki sifat praktis karena berkaitan dengan nilai atau standar moral mengenai apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
.
Dua teori etika yang paling utama adalah etika teologis dan etika deontologis. Dalam etika teologis dikatakan bahwa suatu perbuatan adalah baik jika tujuan kodrati (telos). Setiap hal menurut adanya tertuju pada tujuan sebagai penyempurnaan kodratnya. Semakin sesuatu dalam kenyataan dekat dengan tujuannya semakin baik mengaktualisasikan dirinya.
.
Etika deontologi muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran etika teologis yang dinilai terlalu insiatif sehingga menghilangkan kehendak bebas manusia untuk mempertimbangkan sendiri perbuatannya. Etika teologi dinilai bersifat ontologis karena mempreskripsikan begitu saja tujuan seakan-akan sesuatu yang bisa diperoleh tanpa pertimbangan dan pilihan bebas.
.
Dari dua sumber etika utama ini dan berkembang banyak aliran etika dengan etika marxian, etika kantian, dan etika habermas yangmerupakan sintesis dari kedua teori etika yang dianggap relevan dalam tinjauan mengenai dimensi etis ilmu pengetahuan, yaitu:
.
  • 1. Etika marxian
Marx menilai bahwa ajaran moral yang selama ini berlaku mengajarkan kerendahan hati, sikap pasrah, berbuat baik, dan lain-lain yang dikaitkan dengan ajaran agama untuk membungkam sikap kritis dan mengendalikan perubahan sosial yang adil. Agama dengan isi ajaran moral didalamnya dinilai merupakan candu yang menidurkan masyarakat dalam ilusi mengenai kehidupan akhirat dan lupa mengurusi kenyataan sosial yang buruk dan tidak adil.
.
  • 2. Marxisme
Marxisme merupakan sebuah paham yang menjadikan pemikiran Marx sebagai pijakan Analisis terhadap realitas sosial. Kaum marxis mengambil salah satu atau beberapa aspek dari pemikiran utama marx dan mengembangkan sebagai cara pandang marsis terhadap realitas sosial yang dihadapi.
.
Cara pandang Marx lalu dibedakan menurut penekanannya praksis sebagai kritik ideologi. Tahap awal yang disebut Marx muda, kesadaran praksis dirumuskan sebagai pemikiran tentang humanisme revolusioner, yakni kritik atas dominasi masyarakat atas individu melalui sistem politik kelas penguasa yang menentukan hukum, ekonomi, dan agama.
.
Pada tahap berikutnya yang disebut Marx tua, kesadaran praksis dimaknai sebagai pemikiran mengenai liberalisme radikal yang harus terwujud melalui kerja. Konsep Marx tentang kerja sebagai Proses penciptaan manusia sebagai diri yang otentik. Politik dan agama menciptakan manusia sebagai diri yang palsu karena itu harus dirubah.
.
Pada tahap lanjutan adalah pemikiran kaum marxis tentang marxisme yang sebagian memanfaatkan pemikiran Marx sebagai titik tolak sekaligus mengkritik pemikiran Marx sebagai reformasi yang dikehendaki oleh cita-cita marxisme dalam situasi konkret. Gerakan ini disebut Neo marxisme dalam berbagai bentuknya menekankan emansipasi sebagai cita rasa otentik pemikiran Marx mengenai perubahan sosial yang memungkinkan terciptanya keadilan.
.
  • 3. Etika kantian
Etika kantian dirumuskan dari pengalaman bahwa apa yang kita kehendaki tidak diperbuat orang lain terhadap kita hendaknya tidak kita lakukan terhadap orang lain. Hal ini menyatakan bahwa kehendak bebas tidak bersifat artifisial, tetapi objektif karena mengambil prinsip kesamaan sebagai dasar rasional untuk memperlakukannya sebagai hukum (kewajiban) moral.
.
Bagi Kant, hukum moral, karena didasarkan pada pengalaman objektif, refleksikan prinsip kesamaan yang secara rasional dapat dibenarkan oleh siapapun, berlaku universal. Semua hukum yang lain harus diturunkan dari hukum moral, yakni bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu menjadi hukum universal.
.
Menurut Kant, ilmu pengetahuan merupakan pertanyaan mengenai apa yang dapat diketahui manusia: was kann ich wissen? Dalam ranah ilmu pengetahuan, kita berbicara mengenai pengalaman bahwa hanya pengalaman dapat diketahui dan dibuktikan.
.
Karena itu, ilmu pengetahuan berada dalam lingkup perintah hipotesis, jika syarat-syarat pengetahuan terpenuhi, maka realitas dapat dipahami secara rasional. Syarat itu adalah pengalaman indrawi ditangkap dan disusun oleh akal budi melalui kategori-kategori menjadi pengetahuan rasional.
.
  • 4. Etika habermasian
Habermas mengembangkan etika kantian di atas dalam konteks yang baru untuk menjawab kritik hegelianisme terhadap filsafat subjek dan keinginan marxisme untuk mengakhiri patologi modernisme yang dinilai sebagai dialektika negatif dari proyek pencerahan. Berusaha untuk menguraikan kembali manusia sebagai subjek mikro yang terkooptasi oleh subjek makro dalam negara hegelian dan menyusun kembali puing-puing sejarah mengenai manusia sebagai subyek terkotak-kotak dalam kelas sosial kaum Marxian.
.
Sebagaimana para pendahulunya habermas memanfaatkan psikoanalisis untuk menjelaskan ilmu pengetahuan dari sudut kebebasan subjek sebagai pelaku. Kendati demikian, psikoanalisis untuk memahami kebebasan ilmu pengetahuan sebagai refleksi dan emansipasi tidak dikembangkan secara maksimal ke tahap refleksi diri.
.
Tips pengetahuan rekonstruktif, habermas menjelaskan refleksi diri sebagai sebuah proses interaktif sedemikian rupa sehingga apa yang diperoleh sebagai pengetahuan merupakan penemuan insigth yang termotivasi oleh alasan rasional yang dipahami secara kurang lebih sama bagi pihak-pihak yang terlibat dalam aksi tindak tutur.
.
Pemikiran habermas mengenai ilmu pengetahuan rekonstruktif merupakan penerapan gagasannya mengenai komunikasi yang harus dipahami sebagai metodologi ilmu pengetahuan dan bukan sebagai teori ilmu pengetahuan. Tujuannya adalah memudahkan penerapan paradigma komunikasi dalam penelitian ilmiah sehingga para pelaku harus dihargai sebagai subjek yang mampu berbicara dan bertindak, membicarakan dan menyepakati apa yang secara rasional dapat diterima sebagai kebenaran ilmiah dalam konteks sosial yang aktual.
.
Pemikiran habermas mengenai paradigma komunikasi sebagai metodologi ilmu pengetahuan rekonstruktif dapat digunakan dalam perumusan prinsip-prinsip moral yang penting sebagai etika ilmu pengetahuan [T.M. soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta Selatan: PT. Kompas Media Nusantara, 2015), hlm. 291].
"Etika & Ilmu - Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu (Diampu: Ermi Suhasti)"

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari materi yang telah dibahas diatas, penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan. Tetapi merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas atau perwujudan dalam bentuk perilaku yang baik (akhlak mulia).
.
Namun demikian etika sangat berperan penting terutama dalam penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari yang memerlukan dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
.
Etika berbicara tentang apa yang boleh dan harus dilakukan dan apa yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Etika merupakan cabang filsafat karena berbicara tentang kenyataan dari sudut yang bersifat non empiris, yakni menanyakan apa di balik kenyataan, apa yang konkret yang secara faktual dilakukan, melainkan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
.
Sedangkan ilmu pengetahuan berbicara tentang apa yang secara faktual ada. Sebaliknya, etika berbicara tentang apa yang secara ideal seharusnya dapat dilakukan. Dengan ini, etika memiliki sifat praktis karena berkaitan dengan nilai atau standar moral mengenai apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
"Etika & Ilmu - Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu (Diampu: Ermi Suhasti)"

DAFTAR PUSTAKA

  • Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali. 2005
  • Solomon, Robert C. Etika Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. 1987
  • de Waal, Frans. Primat dan Filsuf “menurut asal-usul kesadaran moral”. Yogyakarta: Kanisius. 2011
  • Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos. 1997
  • Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir; Kamus Arab – Indonesia. Yogyakarta. 1984
  • Suhasti S, Ermi. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Prajnya Media. 2012
  • Drs. A. Susanto, M.Pd. Filsafat Ilmu:Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Angkasa. 2015
  • Suharto, Toto. Abas, Zainul. Faishol, Abdullah. Gunungan Ilmu (Paradigma dan Kerangka Kurikulum IAIN Surakarta). Yogyakarta: Idea Pres Yogyakarta. 2017
  • Poespowardojo, T.M. soerjanto. Seran, Alexander. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta Selatan: PT. Kompas Media Nusantara. 2015

Komentar