-->

Pengetahuan Tentang Al Fatihah dalam Tafsit Ayat Ahkam Ash Shabuni

Tidak ada komentar

Al Fatihah
Al Fatihah.
Alif dan lam yang terdapat pada lafal 'al-hamd' mengandung arti mencakup semua jenis (yakni semua jenis al hamd atau pujian). Sedangkan artinya ialah "Tidak ada yang berhak memperoleh sanjungan yang sempurna dan pujian yang paripurna yang meliputi, melainkan Allah Rabbul 'Alamin". Dia-lah Tuhan yang bersifat sempurna yang berhak diagungkan, disanjung, dan disucikan.
.
Sedangkan kata 'al-hamd' dengan bentuk ma'rifat (dengan kata sandang 'tentu' yaitu 'al') menunjukkan bahwa pujian bagi Allah Ta'ala merupakan perkara yang kekal dan terus menerus, tidak mengenal baru datang yang berulang-ulang. Ash Shabuni menyarankan kita untuk merenungkan masalah ini. Karena sesungguhnya masalah ini sangat dalam.
.
Faedah menyebut ar-Rahman ar-Rahim sesudah lafal Rabbul Alamin adalah karena lafal 'Rabb' mengandung makna kebesaran, kepemimpinan, dan pemaksaan. Maka barang kali ada orang yang mendengarkan lafal Rabb ini diucapkan atau disebutkan, orang itu beranggapan bahwa Ia Pemaksa yang tidak menyayangi hamba-Nya. Untuk itu dikaitkanlah dengan kata-kata ar-Rahman ar-Rahim untuk menguatkan bahwa ar-Rabb ini Maha Agung lagi Maha Tinggi dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu.
.
Di dalam al-Bahrul Muhith by Abi Hayyan (1: 19), Abu Hayyan berkata: "(Allah) memulai pertama kali dengan sifat ketuhanan (rububiyyah). Maka jika ar-Rabb itu berarti pemimpin, pemilik, dan yang diibadahi, maka sifat itu berarti sifat bagi perbuatan Dzat Yang Disifati. Kemudian dikaitkanlah sifat itu dengan sifat kerahmanan (pengasih) dan kerahiman (penyayang), agar lebih luas harapan hamba dalam memohon ampunan jika ia terpeleset dan kuatlah harapannya jika ia berbuat khilaf."
.
Ibnu Qayim berkata, bahwa kata ar-Rahman dan ar-Rahim ini mengandung makna yang indah, yaitu bahwa kata ar-Rahman itu menunjukkan sifat Allah SWT yang selalu tegak. Sedangkan ar-Rahim menunjukkan hubungannya dengan al-marhum (yang dikasihi). Artinya begini, kata ar-Rahman ini seolah-olah adalah sifat, sedangkan ar-Rahim adalah perbuatan.
.
Lanjut Ibnu Qayim mengatakan bahwa sesungguhnya rahmah itu adalah sifat Dzat-Nya Yang Maha Suci. Sedangkan rahim mengartikan bahwa Ia menyayangi makhluk-Nya dengan sifat rahmah-Nya, yaitu sikap perbuatan-Nya Yang Maha Suci. Sebagaimana dalam firman Allah surah al-Ahzab (33: 43) yang berbunyi:
.
 وكان بالمؤمنين رحيما...
... Dan Ia Maha Penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Dan juga firman Allah dalam surah at-Taubah (9: 117) yang berbunyi:
.
إنه بهم رؤوف رحيم...
... Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.
Dan tidak ada kata-kata 'rahman bihim', maka dari sini engkau tahu, bahwa sesungguhnya kata ar-Rahman itu disifati dengan rahmah itu sendiri. Sedangkan ar-Rahim itulah yang menyayangi dengan sifat rahmah-Nya. "Masalah yang halus dan dalam ini hampir-hampir tidak akan kita jumpai dalam kitab mana pun", kata Ibnu Qayim.
Tafsit Ayat Ahkam Ash Shabuni
Tafsit Ayat Ahkam Ash Shabuni.
Ada pendapat lain dari as-Shabban dan al-Jalal yang mengatakan bahwa kedua-duanya ini satu arti, hanya saja ar-Rahim adalah sebagai penguat saja. Pendapat ini dha'if (lemah) dan ditentang oleh Ibnu Jarir at-Thabari. Ia mengatakan bahwa tidak ada satu kata pun dalam Al-Qur'an yang merupakan tambahan tanpa arti yang dituju.
.
Yang paling kuat adalah pendapat Ibnu Qayim, yaitu bahwa sesungguhnya sifat ar-Rahman menunjukkan sifat yang tetap pada Allah yang Maha Suci. Sedangkan ar-Rahim menunjukkan berulang-ulang perbuatan yang berhubungan dengan sifat ini.
.
Firman Allah "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan" itu terjadi iltifat (peralihan) dari kata ganti untuk orang ketiga ke kata ganti orang kedua (minal ghaibah ilal khitab) dengan cara menganekaragaman kalimat, karena hal itu lebih mengena dalam kecenderungan jiwa serta menarik sugesti.
.
Dan iltifat ini salah satu macam metode ilmu Balaghah. Kalau mengikuti kalimat sebelumnya tentu berbunyi "iyyahu na'budu" (kepada-Nya kami menyembah) tetapi kemudian dialihkan dari dhamir ghibah ke dhamir mukhatgab karena untuk maksud menggunakan metode iltifat seperti firman Allah dalam surah al-Insan (76: 21) yang berbunyi:
.
وسقاهم ربهم شرابا طهورا...
... Dan Tuhan memberi mereka minuman yang bersih.
Kemudian di dalam surah al-Insan (76: 22) yang berbunyi:
.
إن هذا كان لكم جزاء وكان سعيكم مشكورا
Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu.
Dan kada-kadang iltifati tu juga dari dhamir khithab ke dhamir ghaibah sebagaimana firman Allah swt dalam surah Yunus (10: 22) yang berbunyi:
.
...هو الذي يسيركم في البر والبحر حتى إذا كنتم في الفلك وجرين بهم بريح طيبة
Dia-lah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan berlayar di laut, sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik.
Dalam ayat diatas mula-mula dengan dua dhamir mukhathab kemudian disusul dengan dhamir ghaibah dengan metode iltifat.
Dhamir mukhathab atau khathab ialah kata ganti orang kedua. Dhamir ghaibah atau ghaib ialah kata ganti untuk orang ketiga. Sedangkan iltifat ialah mengalihkan ghamir ke dhamir yang lain dalam satu rangkaian kalimat.
Di dalam al-Bahrul Muhith (1: 24) Abu Hayyan menjelaskan lebih lanjut: dapatlah dibuat perbandingan, yaitu seperti engkau menyebut seseorang yang memiliki sifat-sifat mulia, dimana engkau memberitakan tentang dia dengan kata ganti orang ketiga, padahal orang tersebut berada di hadapanmu, lalu engkau berkata lebih lanjut: Engkaulah yang kutuju. Disini engkau menggunakan kata ganti untuk orang kedua. Maka hal ini mengandung kelembutan untuk menyampaikan suatu maksud dengan menggunakan dhamir khithab yang berbeda kalau seandainya digunakan dhamir ghaibah dengan kata "dialah yang kutuju".
.
Na'budu dan nasta'in menggunakan kata jama', tidak dengan kata-kata a'budu dan asta'inu. Hal ini mengandung makna yang halus dan dalam, yaitu pengakuan seseorang atas segala kekurangannya di hadapan Yang Maha Agung dan Maha Tinggi, serta pengakuan kekurangannya dalam memohon pertolongan dan hidayah kepada-Nya dengan sendirian, maka seolah-olah ia berkata:
Ya Rabbi, aku seorang insan yang hina lagi rendah, tidaklah patut kiranya aku berdiri dalam kedudukan ini, dalam bermunajat kepada-Mu, seorang diri, tetapi aku menggabungkan diri secara serentak dalam kelompok orang-orang yang bertauhid, lalu aku berdoa kepada-Mu bersama mereka, maka kabulkanlah doaku bersama mereka ini, kami secara serentak, bersama-sama menyembah-Mu dan mohon pertolongan kepada-Mu.
Sedangkan didahulukannya maf'ul (obyek penderita) atas fi'ilnya "iyyaka" mendahului "na'budu" dan "nasta'inu" mempunyai faedah membatas dan mentakhshish (mengkhususkan) sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah (2: 40) yang berbunyi:
.
وإياي فارهبون...
... hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut.
Di dalam Irsyadul 'Aqlis Salim, Abu Su'ud (1: 156), Ibnu Abbas r.a menjelaskan bahwa maknanya adalah hanya Engkau-lah yang kami sembah, dan kami tidak menyembah selain-Mu.
.
Di dalam al-Jami' Li Ahkamil Qur'an (1: 145) al-Qurthubi menjelaskan: Jika ditanyakan, mengapa maf'ulnya (iyyaka) didahulukan atas fi'ilnya (na'budu)? Jawabannya adalah karena dianggap penting. Dan orang-orang Arab terbiasa mendahulukan yang terpenting. Misal ada seseorang yang mencaci temannya, tetapi yang dicaci tidak peka atau tidak memperhatikannya, lalu berkatalah si pencaci itu "iyyaka a'ni" (engkaulah yang kumaksud). Kemudian temannya menjawab, "wa'anka a'ridh" (dan daripadamu-lah aku berpaling).
.
Diatas kedua-duanya mendahulukan apa yang dianggap penting. Disamping itu, juga agar tidak mendahulukan menyebut 'abd dan 'ibadah (hamba dan ibadah) atas al-ma'bud (Dzat yang diibadahi), maka tidak dibenarkan diucapkan 'na'buduka wa nasta'inuka' (aku menyembah-Mu dan mohon pertolongan kepada-Mu), dan sebenarnya lafal al-Qur'an itulah yang harus diikuti.
.
Sedangkan diulangnya kata 'iyyaka' adalah agar tidak menimbulkan salah duga, seperti "iyyaka na'budu wa nasta'inu ghairaka" (hanya Engkau-lah yang kami sembah dan kami mohon pertolongan kepada selain-Mu).
.
Allah menisbatkan pemberian nikmat atas Diri-Nya (an'amta 'alaihim) tetap murka tidak Ia nisbatkan atas Diri-Nya. Ia tidak berfirman "ghadhabta 'alaihim wa adhaltahum" (dan bukan orang-orang yang telah Engkau murkai dan Engkau sesatkan). Hal ini demi memberi pelajaran kesopanan (sikap hamba) terhadap Allah azza wa jalla, sehingga tidak menisbatkan hal keburukan kepada-Nya meskipun pada hakekatnya merupakan taqdir-Nya sebagaimana ucapan orang, "al-khairu bi yadik was-syarru laisa ilaik" (kebaikan seluruhnya di tangan-Mu, sedangkan keburukan tidak).
.
Sebagiaman firman Allah yang mengisahkan tentang Ibrahim dalam surah As-Syu'ara (26: 78-80), "(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dia-lah yang menunjuki aku; dan Dia-lah yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkan daku."
.
Nabi Ibrahim tidak mengatakan, "dan apabila Allah membuat aku sakit", demi menjaga kesopanan. Dan sebagaimana firman Allah yang mengisahkan tentang ucapan jin-jin mukmin dalam surah al-Jin (72: 10), "Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui, apakah keburukan yang dikehendaki orang-orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka." Mereka tidak mengatakan, "keburukannlah yang dikehendaki Allah?" Renungkanlah karena masalah ini sangat halus kata Ash Shabuni.
.
Source:
  • | Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni | Diterjemahkan oleh: Mu'ammal Hamidy & Drs. Imron A. Manan | Surabaya: PT Bina Ilmu | Cetakan Pertama: 1983 | Halaman. 5-10 |
  • Gambar cover

Komentar