Israel perang sama Palestina, Elie Wiesel cuman diem. Padahal dia sering speak up soal kebebasan termasuk tentang Kamboja, Bosnia, dan Rwanda. "He saw Israel as the haven that must be protected at all costs." Begitu ucap salah satu jurnalis dari Israel yg juga Yahudi.
"Though I and many others believe that Israel will be safer living aside a Palestinian people with rights and dignity, he thought otherwise", Haaretz, Israel. "It would have been wonderful if he had used his voice to urge Israelis and Israel’s supporters to seek a better way of solving the conflict with the Palestinians", tapi mereka (org Yahudi) tidak menyalahkan Wiesel sepenuhnya. Hanya menyayangkan diamnya Wiesel. Begitu juga saya.
Banyak org Yahudi yg terbuka. Memahami bahwa zionis memang penting, karena trauma pemusnahan kaumnya. Tetapi untuk dunia yg maju sbgmana sekarang, zionis tak lagi perlu. 'Eretz Israel' masih bisa dipertahankan dengan cara yg lain. Begitu pemikiran² sebagian org Yahudi. Dalam konteks yg lain, saya justru sepakat dengan ketidaktuhanan Wiesel ketika mendekati pembebasan dari Nazi.
Bagaimana bisa saya mendapatkan rahmat Tuhan, jika sejak usia remaja, usia-usia berlogika, sudah menjadi tahanan Nazi. Saya berimajinasi menjadi Yahudi, yg lahir pada masa Nazi. Di dalam tahanan, di hari pertama dalam kamp Auschwitz, sudah dilihatkan Yahudi yg lain dibakar hidup² di dalam kremator. Tua dan balita. Mereka lah yg dibakar karena dianggap beban dan tidak bisa dimanfaatkan tenaganya. Saya masih bertuhan melihat momen itu.
Di dalam kamp juga dilihatkan ketidakmanusiawian. Juga menjadi korban ketidakmanusiawian. Masih bertuhan dan berdoa. Melihat ayah sendiri disiksa di depan mata tapi tak mampu berbuat apa². Masih bertuhan dan berdoa. Hingga ada suatu momen. Org yg paling baik di dalam kamp, layaknya malaikat. Dihukum gantung di depannya. Badannya mungil. Butuh waktu hingga org itu benar² mati. Tubuhnya tersedak-sedak di bawah tali gantung. Bergerak-gerak menuju ajal. Semua org Yahudi dipaksa melihat momen itu. Seseorang dibelakang bertanya,
"Di mana Tuhan?"
Di dalam hati sy menjawab:
"Dimana Tuhan? Tuhan ada disini, dibunuh di tiang gantungan"
"Hari ini sy berhenti memohon. Tak kuat lagi meratap. Akulah penggugat. Tuhan yg digugat"
Jika sy seorang Yahudi. Jika sy tahanan Nazi. Jika sy berlogika. Ya, sy akan tidak bertuhan semenjak itu. Sy tidak bisa memilih lahir dari rahim siapa. Sy tidak bisa menolak darah Yahudi. Semuanya mutlak tidak bisa diganggu gugat. Setelah lahir, ketidakadilan juga tidak bisa dihindarkan. Hidup dalam keterbatasan ilmu, keterbatasan kebebasan, keterbatasan pikiran, dan keterbatasan iman. Lalu dimana datangnya Rahmat?
"Akulah penggugat, Tuhan yg digugat."
Sepakat dgn ketidakbertuhanan Wiesel bukan berarti mengindikasikan bahwa saya tidak bertuhan. Sebaliknya. Saya bersyukur. Bersyukur dengan kebebasan sekarang. Bebas mengimani, bebas berpikir, dan bebas berkreasi. Hanya saja masih ada kekosongan yg belum saya dapatkan jawabannya.
Source: twitter.com